web analytics

Akhlak terhadap Lingkungan (Dr. Husni Thamrin)

ALASAN pembangunan, maka alam ini pun habis dijarah oleh manusia. Alasan keperluan hidup manusia, membuat lingkungan di muka bumi semakin hari semakin tidak nyaman untuk dihuni. Tanda-tanda ke arah itu sudah sangat jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam ada di mana-mana. Saat ini asap mengancam  kita. Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, , muncul pertanyaan, apakah ibadah kita yang akan kita jalani bermanfaat bagi kelestarian alam, mampu membendung dari perilaku  buruk yang merusak bumi ini? Atau seperti ibadah rutinitas yang tidak bermakna?

Salah satu penyebab serius anomoli sosial dan kerusakan lingkungan adalah keserakahan manusia. Manusia banyak melakukan eksploitasi sumber daya alam seperti air, udara, hutan, danau, laut, mineral tambang emas, perak, nikel, batu bara diambil tanpa batas. Nah, melalui ajaran Islam sebenarnya kita ingatkan bahwa perilaku  berkelebihan tidak hanya merusak lingkungan dan anomoli sosial tetapi menjauhi diri kita dari Allah SWT. Syariat Islam mengajarkan kita agar tidak bersifat serakah (tamak) dan mengeksploitasi  alam yang berlebihan, Muslim yang beriman adalah mampu menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang serakah, individualis, tamak, rakus, merusak sesama manusia serta merusak  alam dan lingkungan.

Banyaknya kerusakan alam dan bencana yang terjadi seperti kebakaran hutan, banjir, pemanasan global, tanah longsor dan bencana  ekologis lainnya, merupakan akibat dari keserakahan manusia yang berlebihan.

Dalam kearifan lokal Melayu yang bersendi syara’, disebutkan bahwa ketika manusia tidak mengendalikan diri dengan ajaran agama, tidak dipandu dengan adat, dan tidak mempunyai tradisi yang baik, maka dia akan mendatangkan bencana  dalam kehidupan. Kemudian, kerusakan itu akan berbalik mengancam manusia itu sendiri. Ini yang akan mempercepat kehancuran atau kiamat kecil, meskipun kiamat yang sebenarnya adalah rahasia Allah semata. Keadaan ini sudah dibidai oleh orang patut Melayu : “Apabila rusak alam sekitar. Sempi tidak dapat berlegar. Goyah tidak dapat bersandar. Panas tidak dapat mengekas. Hujan tidak dapat berjalan. Teduh tidak dapat berkayuh. Apabila alam sudah binasa. Bala turun celaka tiba. Hidup melarat terlunta-lunta. Pergi kelaut malang menimpa. Pergi ke darat miskin dan papa. Pergi ke laut ditelan ombak. Pergi ke darat kepala tersundak. Hidup susah kepala pun sesak. Periuk terjerang nasi tak masak. Apabila alam menjadi punah. Hidup dan mati takkan semenggah. Siang dan malam ditimpa musibah. Pikiran kusut hati gelebah. Apabila rusak alam lingkungan. Disitulah puncak segala kemalangan. Musibah datang berganti-gantian. Celaka melanda tak berkesudahan. Hidup sengsara binasalah badan. Cacat dan cela jadi langganan. Hidup dan mati jadi sesalan. Apabila alam porak poranda, di situ tumbuh  silang sengketa. Aib datang malu menimpa”.

Dalam pandangan kearifan ekologis orang Melayu  bahwa ajaran agama dipahami dan dihayati oleh manusia sebagai sebuah cara hidup,  dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Selalu ingin mencari dan membangun harmoni di antara manusia, alam , masyarakat yang bersifat eco religius dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spritual  menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus juga dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan ecocosmis. Ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam Alquran : “Allah yang telah menciptakan tujuh langit berlapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu tang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang. Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang”. (QS al-Mulk:3).

Pengaruh langsungnya makna ayat ini adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling tersembunyi di lubuk hatinya, harus ditempatkan dalam konteks yang skaral, dalam spritualitas, konsep ini membangun konstruksi eco-religius. Maka, baik secara individual maupun kelompok, perilaku dan sikap batin manusia harus murni, bersih, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia , maupun terhadap alam. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan perilaku yang merugikan, menjadi prinsip akhlak yang selalu dipatuhi dan dijaga dengan berbagai kegiatan  ibadah dan dengan nilai-nilai kesalehan sosial seperti sedekah, zakat, infak dan kepekaan terhadap manusia dan lingkungan. Dalam konteks ini ibadah tidak hanya hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia, tetapi juga hubungan harmonis manusia terhadap lingkungan dan alam semesta ini sejalan dengan ajaran Alquran:  “Dan janganlah kamu berbuat  kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum  kedatangan rahmat-Nya hingga apabila angin itu telah membawa angin mendung, kami halau ke suatu daerah tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh dengan seizin Allah. Dan tanah yang tidak subur, tanam-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran kami, bagi orang-orang yang bersyukur.(Al-A’raf: 56-58).

Dalam hal ini, konsep akhlak  adalah tuntutan inheren manusia dan lingkungan alam semesta. Akhlak ini tidak hanya menyangkut perilaku manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan dirinya dan juga dengan alam dan dengan Allah SWT. Makna ibadah dalam konteks ini ada keyakinan eco-religius, bahwa sikap batin dan perilaku yang salah, terhadap merusak hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan  akan mendatangkan malapetaka dan bencana baik bagi diri sendiri maupun  tanggung jawab manusia kepada Allah sebagai khalifah di muka bumi. Dalam konteks itu dapat dipahami bahwa semua bencana alam banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan di laut, diserang hama dan taun semuanya dianggap sebagai bersumber dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap alam dan kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Ini sejalan dengan Firman Allah dalam Alquran: “Telah nampak kerusakan di dart dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sbagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Katakanlah : adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang terdahulu. Kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Ar-Rum: 41-42).

Perlu ada rekonstruksi dan revitalisasi dalam bentuk kesalehan ritual dan sosial dalam melihat makna ibadah  dalam konteks lingkungan hidup yang tidak akan membawa bencana baik untuk sesama yang dirugikan maupun untuk alam yang telah dieksploitasi. Dengan kata lain, perilaku berakhlak, baik terhadap sesama manusia, maupun terhadap alam, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan , dari akhlakul karimah tersebut yang menghargai dan tunduk kepada ketentuan sunnatullah. Di sinilah ajaran Islam dapat menjaga keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungan hidup.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 4 September 2015

redaksi@uin-suska.ac.id