web analytics

Kurban Perspektif Peternakan (Restu Misrianti)

Dosen Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau

SETIAP Hari Raya Idul Adha permintaan akan hewan ternak terus meningkat. Dalam surat Al Hajj ayat 34 disebutkan bahwa yang disyariatkan untuk disembelih pada Idul Kurban adalah hewan ternak. Tidak semua hewan yang ada di muka bumi ini disebut sebagai ternak. Dalam dunia peternakan, yang disebut dengan ternak adalah hewan liar yang telah dijinakkan, dipelihara oleh manusia dan memberi manfaat untuk manusia tersebut. Beberapa hewan ternak yang dianjurkan untuk dikurbankan antara lain sapi, unta, domba, dan kambing. Lalu bagaimana dengan kambing hutan, yang sejatinya  berasal dari  subspesies yang sama dengan kambing ternak. Allah tidak menganjurkan kambing hutan dijadikan sebagai hewan kurban karena bukan hewan yang diternakkan, meskipun beberapa ulama berpendapat bahwa kambing hutan halal untuk dimakan.

Ketika kita berkurban, tentunya kita menginginkan ternak yang kita kurbankan memiliki kualitas daging terbaik untuk dikonsumsi manusia. Kualitas daging dipengaruhi oleh dua hal yaitu pada waktu ternak masih hidup dan setelah dipotong. Nuerenberg pada 2005 melakukan penelitian untuk membandingkan kualitas daging antara sapi jantan yang dikandangkan (indoor) dengan  sapi jantan yang dipelihara dengan sistem pasture (padang penggembalaan). Setelah sapi dipotong dan dianalisis kualitas dagingnya ternyata menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi kelompok pertama (sistem indoor) menghasilkan marbling lebih tinggi, warna daging lebih cerah, dan kualitas daging yang lebih empuk dibandingkan kelompok kedua yang dipelihara di pasture atau dipadang penggembalaan. Hal yang serupa juga tentunya akan kita temui pada hewan ternak yang dipelihara oleh peternak dan hewan liar  (kambing hutan). Tentunya kambing yang diternakkan (dipelihara) akan menghasilkan kualitas daging yang lebih baik dibanding kambing hutan yang hidup liar.

Islam pun mensyaratkan bahwa ternak yang dikurbankan harus bebas dari aib seperti (cacat) yang mencegah keabsahannya. Misalnya buta, sakit, pincang dan sangat kurus. Persayaratan ini juga digunakan ketika kita memilih ternak bibit atau benih yang unggul.  Berdasarkan pedoman good breeding practice yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Pertanian syarat pertama ternak bibit yang unggul yaitu  bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal.

Selain faktor kesehatan, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa jangan menyembelih hewan kurban kecuali musinnah (cukup umur). Pada ternak sapi, musinnah dicapai pada umur dua tahun lebih, sedangkan pada ternak kambing musinnah dicapai pada umur 1 tahun. Penelitian Kalsum (1998)  membandingkan kualitas daging kambing pada berbagai tingkat umur potong menunjukkan bahwa kambing dengan umur potong satu tahun ternyata menghasilkan rataan nilai keempukan daging paling tinggi. Daging kambing umur satu tahun lebih empuk dibandingkan dengan daging kambing yang lebih tua, disebabkan karena perbedaan ukuran serat dan berkas otot.

Menurut Twelve (2008) apabila hewan bertambah tua maka terjadi perubahan struktur jaringan ikat daging menjadi lebih keras. Pemotongan ternak muda (kurang dari satu tahun) juga tidak disarankan dalam pelaksanaan Idul Adha. Ditinjau dari ilmu peternakan, hal ini disebabkan karena ternak muda tersebut masih mampu mengonversi atau mengubah pakan secara efisien menjadi penambahan bobot daging, sehingga tidak efektif jika harus dipotong dalam masa pertumbuhan tersebut.

Pelaksanaan ibadah kurban juga menjamin jumlah populasi ternak yang dikurbankan tidak akan punah. Hal ini terlihat pada syarat bahwa ternak yang dikurbankan diutamakan adalah ternak jantan. Jika ternak yang dikurbankan adalah ternak betina, tentunya akan mempengaruhi perkembangan populasi ternak karena fungsi bereproduksi atau berkembang biak sejatinya ada pada ternak betina. Dalam usaha pembibitan, memelihara pejantan dalam jumlah yang banyak dalam satu peternakan dianggap tidaklah efektif. Adanya teknologi kawin suntik (inseminasi buatan) juga semakin meminimalisir keperluan akan pejantan, pejantan yang digunakan biasanya berasal dari Balai Inseminasi Buatan yang sudah teruji keunggulannya. Sehingga memotong ternak jantan pada saat Hari Raya Idul Adha tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan  populasi ternak.

Selain hikmah dari ternak yang dikurbankan, Idul Adha juga memberikan makna bagi para peternak. Idul kurban bisa menjadi motivasi bagi para peternak lokal kita untuk menghasilkan ternak yang memiliki performa terbaik, bentuk fisik sempurna dan dengan persentase daging yang tinggi. Pemerintah juga menargetkan permintaan ternak untuk ibadah kurban dipenuhi dari ternak lokal. Tidaklah sulit untuk mewujudkan target tersebut mengingat kekayaan rumpun ternak lokal di Indonesia, mulai dari sapi bali di Provinsi Bali, sapi pesisir di Sumatera Barat, dan juga sapi kuantan di Provinsi Riau. Harga ternak lokal yang cenderung terjangkau menjadikan ternak lokal sebagai ternak primadona dalam ibadah berkurban dan peternak lokal menjadi pelaku utama dalam menyediakan ternak yang akan dikurbankan. Sehingga pelaksanaan ibadah kurban diharapkan juga menjadi momentum untuk memakmurkan para peternak kecil yang memelihara ternak lokal.

Selamat merayakan Idul Kurban. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari ajaran sempurna Idul Kurban.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 25 September 2015

redaksi@uin-suska.ac.id