web analytics

Muda yang Tergadai (Prof. Dr. Samsul Nizar)

Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam UIN Suska Riau

DUNIA pendidikan negeri ini terkoyak. Yakni munculnya “kampus abal-abal”. Anehnya, persoalan tersebut justru awalnya terkuak di sekitar pusat kekuasaan, yaitu di Jakarta. Namun setelah diteliti bukan hanya di jakarta, tapi menyebar ke daerah seperti jaring laba-laba.

“Kampus Abal-abal” menjalar bagaikan kebakaran di lahan gambut. Buktinya demikian banyak lembaga pendidikan tinggi di negeri ini menyandang predikat “kampus abal-abal”. Anehnya, eksistensi lembaga seperti ini telah beroperasi sedemikian lama dan menghasilkan ribuan lulusan yang telah menggunakan ijazah dari lembaga seperti ini untuk bekerja di berbagai instansi. Artinya, penggunaan ijazah kampus abal-abal telah mengalami verifikasi administrasi dan dinyatakan legal. Dengan demikian, berarti proses verifikasi administrasi kepegawaian di negeri ini memiliki kelemahan dan tidak maksimal.

Setelah terkuaknya  mafia “kampus abal-abal”, pemerintah sepertinya tersentak dari tidur yang panjang. Munculnya lembaga pendidikan abal-abal ini menyisakan persoalan yang menyesakkan dada dunia pendidikan di negeri ini, antara lain: pertama, bagaimana dampak hukum dan nasib sedemikian banyak lulusan memenuhi persyaratan dan lembaga pendidikan berpredikat “kampus abal-abal” tersebut? Padahal, mereka telah banyak tersebar di berbagai instansi dan mengisi di sejumlah lapangan pekerjaan, bahkan sangat mungkin telah ada yang masuk kejajaran legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Bagaimana status ijazah yang digunakan sebagai persyaratan memasuki lapangan kerja.

Kedua, bagaimana nasib mahasiswa yang saat ini masih aktif berstatus sebagai mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi bermasalah dan berpredikat  “kampus abal-abal” pasca penonaktifan lembaga pendidikan tersebut? Jumlah mereka tentunya tidak sedikit, bahkan mungkin bisa menembus angka puluhan ribu orang. Dalam hal ini, pemerintah perlu melindungi nasib mereka yang telah menjadi korban “kampus abal-abal”. Negara perlu mencari solusi yang bijak karena mereka adalah anak bangsa negeri ini.

Ketiga, pasca dinonaktifkannya lebih kurang 240-an lembaga pendidikan tinggi yang tidak memenuhi persyaratan dan lembaga pendidikan yang berpredikat “kampus abal-abal”, dapat dipastikan terjadi persoalan psikologis yang luar biasa terhadap para alumni dan mahasiswa yang masih aktif disebabkan lembaga pendidikan dimana mereka menuntut ilmu terindikasi sebagai lembaga pendidikan “bermasalah” oleh negara. Persoalan psikologis yang menimpa anak bangsa yang demikian perlu dipikirkan oleh pemerintah untuk mengantisipasi  agar tidak terjadi persoalan yang tidak diinginkan. Persoalan lembaga pendidikan yang berpredikat “kampus abal-abal” telah menyebabkan generasi muda negeri ini tergadai. Mereka bukan hanya tergadai kepribadiannya, akan tetapi juga tergadai masa depannya. Padahal, mereka semua adalah anak bangsa, generasi penerus negeri ini. Bagaimana mungkin mereka akan bangkit dengan sumpah pemuda untuk menyambut estafet pembangunan bangsa, tatkala lembaga yang menjadi media membangun karakter bangsa dan kualitas sumber daya manusia Indonesia ternyata telah menghancurkan kualitas masa depan generasi penerus.

Agaknya, bila Bung Karno hadir melihat kondisi generasi  yang menjadi korban praktik lembaga pendidikan yang berpredikat “kampus abal-abal”, pasti founding father akan menangis. Padahal, Bung Karno berharap agar generasi Indonesia tampil cemerlang, bukan hanya untuk membangun negeri ini, akan tetapi mampu mewarnai dunia dengan kualitas intelektual dan kepribadian  yang dimilikinya. Bung Karno pernah berkata, “berikan padaku 10 pemuda, maka aku akan mampu mengubah dunia”. Lalu, bagaimana mungkin tujuan yang dicita-citakan Sang Proklamator terwujud, tatkala generasi penerus justru berada pada masa depan yang suram.

Pemuda perlu Ketakahan

Dalam batasan ideal, seyogyanya lembaga pendidikan menjadi machine lahirnya generasi penerus yang berkualitas paripurna. Dengan lahirnya generasi berkualitas paripurna, akan digantungkan harapan untuk mengubah dunia dan mewarnainya dengan kemakmuran yang berkeadilan. Namun, apakah lembaga pendidikan saat ini belum mampu menjadi mediator lahirnya generasi penerus berkualitas paripurna? Sebuah pertanyaan yang patut dijawab dengan jawaban retorika yang dibalut dengan asumsi politis yang sarat kepentingan. Untuk itu, generasi muda perlu bijak melihat tokoh yang memiliki ketakahan (keteladanan), di tengah banyaknya tokoh yang tak memiliki ketakahan.

Paling tidak, ada tiga sikap yang perlu dimiliki oleh generasi muda yang lahir dari proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, yaitu: pertama, generasi muda perlu bijak dalam memilah dan memilih karakter yang dipertontonkan oleh oknum di lembaga pendidikan dimana ia menuntut ilmu. Bila karakter yang dilihat merupakan karakter penuh ketauladanan, maka ia perlu untuk mencontoh dan menjadikannya sebagai acuan untuk membangun negeri. Bila karakter yang dilihat merupakan karakter yang tercela, maka ia perlu mengambil sebagai suatu perilaku yang patut ditinggalkan dan tak diteruskan bagi membangun peradaban bangsa pada masa akan datang. Dengan sikap ini, generasi penerus akan tampil menjadi pemutus virus negatif yang dimunculkan dan dipraktikkan oleh generasi hari ini agar tidak bisa hisup apatahlagi berkembang biak.

Kedua, generasi muda perlu memiliki semangat untuk berubah melalui proses yang mendidik dan elegan. Generasi muda perlu melakukan proses alamiah yang ilmiah, bukan proses instan yang penuh racun dan pelanggaran. Generasi muda yang bijak, di tengah-tengah prilaku yang tidak dilakukan oleh generasi saat ini. Generasi muda perlu memiliki karakter bangsa yang kokoh dengan harga diri yang bernilai tinggi dan tak bisa diperjualbelikan. Sebab, bila harga diri generasi muda hancur, maka harga dirinya tak lebih seharga lembaran materi yang diterima.

Ketiga, generasi muda perlu memiliki mimpi masa depan sesuai masanya dan tidak menjadikan apa yang dilakukan oleh generasi hari ini sebagai tujuannya. Sebab, hari ini bukan untuk generasi penerus, akan tetapi hari ini menjadi indikator bangunan masa depan generasi yang akan datang. Untuk itu, generasi muda perlu memiliki rekonstruksi masa depan yang akan dibangun, sebagaimana semangat para pemuda era tahun 1928 yang penuh mimpi. Dengan mimpi tersebut, akan muncul semangat untuk meraih agar mimpi dapat digapai dan digenggam dengan penuh warna kebermaknaan. Sebab, perkembangan dunia ini lahir karena para pemuda tempo dulu memiliki mimpi untuk masa depannya dengan bangunan mimpi yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya.

Untuk itu, pemuda perlu memiliki semangat untuk mengubah “budaya negatif” saat ini, sekaligus mematikannya melalui upaya amputasi. Sebab, berbagai penyakit yang ditampilkan hari ini telah menggrogoti bangunan karakter generasi penerus. Penyakit ini begitu sulit untuk disembuhkan, bahkan mustahil bisa disembuhkan karena begitu kronis dan menggurita dalam kekuatan kroni, kecuali hanya melalui upaya amputasi.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu, 28 Oktober 2015

redaksi@uin-suska.ac.id