web analytics

Pustakawan Menghadapi MEA (Muhammad Tawwaf )

Pustakawan di UIN Suska Riau

JUDUL tulisan di atas adalah sebuah inspirasi dari bacaan sebuah opini di salah salah satu tulisan yang ada di media cetak. Judul tulisan opininya “Kesiapan Bangsa Indonesai Menghadapi MEA”. Setelah membaca tulisan tersebut, saya terinsipirasi untuk mencoba menulis kembali atau lebih kerennya ” Mengadopsi”  pikiran-pikiran penulis Opini tersbut, namun arahnya lebih kepada profesi saya sebagai pustakawan.

Istilah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) atau Asean Free Trade Area (AFTA) bukan hal yang baru. Mungkin tidak kurang dua bulan lagi kita bangsa Indonesia suka atau tidak suka siap atau tidak siap Negara ini akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah komitmen bersama dan sebuah komunitas ekonomi baru akan memasuki  MEA. Wempy mengatakan aset paling berharga yang dimiliki bangsa Indonesia dalam menghadapi MEA 2015 adalah sumber daya manusia. Ketika isu MEA dibahas di dalam berbagai forum selalu mengangkat MEA secara umum dengan melupakan aspek modal sosial dan budaya.

Pustakawan dalam hal ini adalah sebagai aspek sosial dan budaya sudah semestinya mengantisipasi diri dari gempuran masuknya tenaga kerja di beberapa tempat atau perusahaan di Indonesia. Boleh jadi di lembaga pendidikan dan instansi yang memiliki perpustakaan akan tergantikan oleh pustakawan dari negara ASEAN lain yang memiliki kemampuan dan kompetensi pustakawan yang lebih andal dan lebih profesional.

Tentu saja siap atau tidak siap pustakawan harus memacu diri sehingga tidak menjadi pononton di rumah sendiri atau tergusur dari lembaganya. Kompetensi pustakawan Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN tidak bisa dipungkiri bahwa mereka lebih baik dari pustakawan Indonesia. Berdasarkan pengalaman penulis yang sudah berkunjung ke empat perpustakaan negara ASEAN (Malaysia, Vietnam, Singapura dan Thailand), lima negara daratan Eropa (Belanda, Prancis, Swis, Jerman dan Belgia), Hong Kong, Jepang, Timur Tengah dan North Amerika tepatnya Kanada dari berbagai forum pertemuan yang dihadiri, hanya sebagian kecil pustakawan Indonesia yang mampu berpartisipasi dalam kegiatan kepustakawan Asean (Asean Librarianship) apalagi tingkat dunia seperti  World Library and Information Congress, IFLA General Conference and Assembly yang diadakan setiap tahun di berbagai negara di dunia.

Singapura saja yang hanya berpenduduk jauh lebih kecil dibanding negara-negara lain di Asia dan tidak memiliki sumber daya alam seperti gas bumi, minyak, dan lainnya tapi mereka jauh lebih maju karena Singapura memiliki sumber daya manusia yang andal serta ekonomi yang lebih baik. Singapura terpilih dan sukses dalam penyelenggaran Konferensi Tingkat Dunia World Library and Information Congress, 79th IFLA General Conference and Assembly. 17-23 Agustus 2103 Singapura, bahkan selama penyelenggaran WLIC oleh IFLA hanya Singapura yang mampu memberikan sponsorship khusus negara-negara berkembang untuk mengikuti kegiatan yang sangat mahal tersebut. Alhamdulillah penulis adalah salah satu peserta dari Indonesia yang memperoleh bantuan tersebut setelah melewati asesmen dan persyaratan terpenuhi.

Mungkin di segi ekonomi beberapa negara Asia belum siap menghadapi MEA, namun mereka mempersiapkan aspek lain salah satunya sumber daya manusia dalam hal ini kompetensi pustakawan. Oleh sebab itu kompetensi pustakawan harus ditingkatkan melalui edukasi dan pendidikan baik formal maupun non formal untuk menyambut MEA yang tinggal dua bulan lagi.

Pengamat sosial Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Nursyiwan Effendi yang ditulis oleh Ikhwan Wahyudi dalam sebuah tulisan mengatakan bahwa Indonesia, menurut dia memiliki kesamaan budaya dengan negara-negara Asean seperti kekayaan budaya dan keramahan masyarakatnya. Ada banyak sumber daya manusia dari negara Asean belajar bahasa Indonesia di negeri yang berpopulasi terbesar di Asia Tenggara sekitar 235 juta jiwa (Indonesia), Filipina berada pada urutan kedua dengan jumlah penduduk sekitar 107 juta jiwa dan Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki penduduk paling sedikit hanya sekitar 400 ribu jiwa mereka belajar bahasa Indonesia dengan tujuan apabila mereka ingin bekerja di Indonesia dengan mudah beradaptasi di lingkungan kerjanya. Dalam hal ini salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia (pustakwan) adalah mempelajari bahasa masyarakat anggota ASEAN.

Bahasa Inggris yang merupakan salah bahasa dunia yang diakui oleh PBB merupakan bahasa komunikasi yang wajib dimiliki oleh pustakawan. Ada beberapa pustakawan dapat mengikuti berbagai macam kegiatan di forum internasional seperti; short course, training, international events seperti seminar atau konferensi tanpa harus bisa berbahasa inggris, namun hal itu kebanyakan program yang sudah dibuat oleh lembaganya, sehingga pustakawan tinggal mengikuti saja (kalaupun ada seleksi terkesan hanya formalitas saja) atau faktor lain tapi bukan kemampuan berbahasa.

Sedikit sekali pustakawan yang bisa memperoleh kesempatan mengikuti kegiatan-kegiatan forum-forum kepustakawanan di atas yang disebabkan faktor bahasa dan kemampuan untuk mencari sendiri informasi di website (information literacy) tidak dimiliki oleh pustakawan di samping memang faktor lain dana. Padahal ada begitu banyak tawaran bantuan (sponsorhip) untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Pentingnya Sertifikasi 
Menghadapi MEA yang sudah di depan mata, tentu menjadi tantangan tersendiri baik oleh negara- negara di Asean maupun para profesional di bidang kepustakawanan. Arus masuknya tenaga kerja asing tidak mungkin dapat dibendung lagi. Hal ini akan menjadikan jasa tenaga kerja di Indonesia akan memiliki persaingan yang berat dengan masuknya tenaga kerja asing yang tentu memiliki kompetensi dan berkualitas serta  kemahiran berbahasa Inggris di samping kompetensi profesi pustakawan harus profesional.

Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dalam hal sertifikasi profesi masih sangat rendah. Misalnya saja di sektor pariwisata. Di Filipina, saat ini sudah ada 600 ribu tenaga kerja bersertifikat ASEAN untuk pariwisata. Sementara Indonesia baru BNSP memberikan sertifikat parawisata perdana di Denpasar sebanyak 400 orang.

Sama halnya dengan parawisarta, BNSP pada sertifikasi profesi pustakawan saat ini sudah berlangsung, lembaga sertifikasi profesi perpustakaan nasional baik yang dilaksanakan di Jakarta maupun di beberapa daerah (termasuk Riau) yang memiliki tempat uji kompetensi sebagai perpanjangan dari LSP pada 3 tahun terakhir sudah memberikan sertifikat Kompeten dari BNSP sesuai dengan klaster yang dipilih (pengembangan koleksi, layanan, pengolahan dan perawatan)

Melalui sertifikasi profesi pustakawan, hal menjadi bukti atau pengakuan terhadap kemampuan mereka. Dengan sertifikat kompetensi yang sudah diperoleh oleh pustakwan melalui asesmen dan dinyatakan kompeten, mereka dapat memilih keahlian sesuai dengan klaster yang dipilih.

Dengan demikian sertifikasi dapat menjadi sarana untuk meningkatkan jenjang karier dan memacu diri agar lebih profesional dan mencapai hasil pekerjaan yang berkualitas dan dapat dipertanggung-jawabkan. Dengan memiliki sertifikat kompetensi, para pustakawan akan memiliki kepercayaan tinggi dalam melakukan penawaran posisi jabatan atau pekerjaan dengan pihak pengguna. Berbekal sertifikat kompetensi, para pustakawan juga tidak akan canggung berkomunikasi dengan rekan seprofesi.

Demikian halnya dengan lembaganya (perpustakaan), melalui sertifikasi pustakawan dapat menjadi indikator seleksi penerimaan pegawai (rekrutmen), sehingga dalam penerimaan tersebut tidak hanya mengandalkan ijazah saja.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Sabtu, 14 November 2015

redaksi@uin-suska.ac.id