web analytics

Restorasi Setengah Hati (Dr. Elviriadi)

Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau

TIDAK  ada angin tak ada asap, tiba tiba Presiden Jokowi membuat keputusan penting  terkait  lahan gambut;  ia membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) di awal Januari lalu. Walaupun “gebrakan” Presiden Jokowi dalam hal komitmen pelestarian lingkungan tidak terbilang baru, namun publik terlanjur apatis. Pasalnya, belum apa-apa, badan yang diketuai oleh Nazir Foead sang adik kelas Jokowi di Universitas Gadjah Mada ini dinilai publik  “main mata” dengan korporasi. Dalam sambutannya di istana negara, ia mengatakan bahwa korporasi tidak perlu cemas dengan kehadiran badan restorasi gambut. Padahal publik baru saja kecewa berat dengan kasus gugatan ganti rugi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kasus pembakaran lahan di Pengadilan Negeri  Palembang justru memenangkan korporasi. Para netizen pun dibuat berang dengan statemen hakim.

“membakar hutan tidak merusak lingkungan, toh bisa ditanam kembali..”.
Komitmen Presiden Jokowi terhadap perbaikan lingkungan hidup, sesungguhnya sudah dimulai dengan menyatukan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan dalam satu pintu; Kemen LHK. Dalam berbagai seminar, penulis sering mengilustrasi penyatuan dua Kementerian itu sebagai upaya pemerintah  mendamaikan “kambing” dengan “buaya”.  Karena kebijakan perizinan yang diberikan oleh kementerian kehutanan selama ini sehingga menimbulkan gejolak politik dan hukum rimba. Sebut saja, kasus yang menyeret sejumlah pejabat mulai dari 2 gubernur, 3 kepala dinas kehutan, dan 3 bupati dari Bumi  Lancang Kuning “hijrah”  ke penjara. Belum terhitung konflik lahan korporasi dengan masyarakat, kerusakan lingkungan, limbah, deforestasi, kriminalisasi pejuang desa dan kepala suku asli, dan pemiskinan penduduk pribumi sekitar hutan.

Neolib
Di atas perih derita biota dan manusia itu, wajar masyarakat meragukan komitmen pemerintah pusat dalam menyelamatkan ekosistem gambut dan sumberdaya alam Indonesia pada umumnya. Sebelumnya, pemerintah telah membuat berbagai regulasi seperti PP 71/2014 yang menetapkan bahwa kadar ketergenangan air muka tanah areal gambut setinggi 0,4 meter,  Keppres 32 tahun 1990 tentang kedalaman gambut lebih dari 3 meter tidak boleh dieksplorasi; Perpres No62/2013 tentang Badan REDD+ serta berbagai perundangan yang ada sudah sangat kuat untuk mencegah kerusakan gambut dan kabut asap tahunan. Tetapi semua instrumen hukum itu lumpuh bagai macan ompong bila berhadapan dengan pihak swasta sehingga publik menilai niat pemerintah hanya setengah hati.

Mengapa pemerintah dipandang demikian? Pada hemat penulis, ideologi pembangunan neoliberal masih diyakini pemerintah dewasa ini sebagai cara ampuh dalam pembangunan indonesia. Pokok pokok pendirian neoliberal meliputi: pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya dengan memberikan otoritas mengatur diri sendiri, untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhannya, seperti areal konsesi Hutan Tanaman Industri dan sawit, Otorita Batam, NAFTA, MEA, dan sebagainya. Kedua, penghapusan konsep “kesejahteraan bersama” dan kepemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat adat di Riau. Paham kesejahteraan bersama dan kepemilikan komunal tersebut dianggap akan menghalangi pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah biarkan pengelolaan sumber daya alam diserahkan pada “ahli”nya, dan bukan kepada masyarakat “tradisional”. Padahal masyarakat pribumi di seluruh indonesia telah ada sebelum NKRI berdiri, dan mereka punya konsep unggul pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang tradisional yang dikenal dengan nama kearifan lokal.

Ambigu
Sikap ambigu bin setengah hati pemerintah terlihat ketika kebijakan pro lingkungan berhadapan dengan investasi. Ketika Presiden mengampanyekan penyelamatan ekosistem gambut, pada saat bersamaaan Menteri Perekonomian mengumumkan pemangkasan lama penambahan izin Hak Guna Usaha (HGU) di lahan gambut dari 23 hari menjadi 3 hari. Kenyataan ini diperparahkan pula dengan tetap berjalannya operasional perusahaan pasca dibekukan dan dicabut izin oleh Menteri LHK Siti Nurbaya awal januari 2016.

Seharusnya jika ingin memulihkan gambut, Badan Restorasi Gambut tidak boleh ambigu, dengan memberi sinyal tidak mencampuri urusan ekosistem gambut di areal korporasi. Sampaikan pernyataan tegas dan jernih, tentang problemtika gambut yang sesungguh-sungguhnya. Nyatakan secara jujur siapa aktor intelektual yang bermain gambut, dan tegakkan hukum yang seadil-adilnya. Buatlah audit komprehensif dari 100 persen gambut di Indonesia, di dalam dan luar area konsesi perusahaan, kemudian diagnosa penyakitnya.

Apakah negara berada di bawah bayang-bayang perusahaan? Ya, inilah pandangan neoliberal yang mempertaruhkan nyawa rakyat dengan logika pertumbuhan ekonomi dan penumpukan modal. Saya kira, pemerintahan Jokowi  dan seluruh stakeholders kekuasaan harus mulai jujur dan ksatria dari sekarang, jika ingin benar-benar memulihkan lingkungan hidup.  Kalau kepura-puraan jua yang dipertahankan dan dipertuhankan melalui  berbagai “agenda setengah hati”, maka tunggulah kehancuran kemanusiaan dan peradaban. Dan kami orang Riau tak sudi jadi “manusia salai” yang selalu dikhianati.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin (25/01/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id