web analytics

Fiqh Ibadah Prioritas (Syamsuddin Muir)

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau

 

Awalnya, ada mahasiswa di sebuah  universitas di Pekanbaru mengadu, bahwa dia tak bisa melanjutkan kuliahnya, karena tidak ada dana. Dia sudah memohon bantuan kepada pihak-pihak tertentu. Tapi, hingga saat tulisan ini dibuat, dia belum juga mendapatkan bantuan. Padahal, dia hanya perlu Rp3 juta untuk dana penelitian skripsinya.

Itu salah satu masalah yang sering muncul di tengah masyarakat kita, karena faktor kemiskinan. Bahkan, di Riau, menurut data Bappenas 2014, jumlah penduduk miskin mencapai 498.281. Dan data dari Disdikbud tahun 2015,  ada 153 ribu anak usia SMA dan SMK sederajat tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

Di pihak lain, kita melihat banyak orang kaya di Riau dengan kehidupan mewah, rumah mewah, kendaraan mewah, dan lainnya. Mereka juga bolak-balik mengerjakan ibadah haji dan umrah. Mereka juga kerap melakukan wisata religi ke luar kota dan ke luar negeri.

Apakah agama Islam ini hanya mengutamakan umatnya mengerjakan ibadah pribadi dengan mengesampingkan kedudukan ibadah sosial?

Konsep Ibadah
Dalam bukunya Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, Dr Qutub Musthafa Sanu mengatakan, ibadah ialah taat kepada Allah SWT dengan mengikuti syariat-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah Nabi.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi pula dalam bukunya al-Ibadah Fi al-Islam menjelaskan bahwa ibadah yang disyariatkan itu mesti memenuhi dua unsur utama. Pertama, sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Kedua, pelaksanaan ibadah itu keluar dari hati yang tulus mencintai Allah SWT.

Lalu, Syaikh al-Qaradhawi mengutip pernyataan Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Risalah al-Ubudiyah bahwa ibadah itu mencakup semua aktivitas yang dicintai dan diridhai Allah SWT. Baik berupa perkataan atau perbuatan, zahir atau batin. Seperti salat, zakat, puasa, haji, bersikap jujur, melaksanakan amanah, berbuat baik kepada orang tua, silaturrahim, menepati  janji, menolong anak yatim dan orang miskin, dan berbuat baik kepada hewan, dan berbagai amalan lainnya.

Terus, Syaikh al-Qaradhawi menegaskan bahwa ibadah dalam Islam itu meliputi semua kehidupan manusia. Bahkan, membentuk sebuah negara, dan membina konsep hubungan antar negara juga masuk dalam bagian ibadah.

Memang benar, semua amal sosial yang bermanfaat di tengan masyarakat itu masuk dalam bingkai ibadah. Seperti, mendamaikan dua orang yang bertengkar itu ibadah (HR Abu Dawud). Melihat orang sakit juga ibadah (HR al-Tarmizi). Membantu orang miskin juga ibadah (HR Ahmad). Mengamankan jalan dari hal yang bisa mencelakakan pengguna jalan juga ibadah (HR Muslim). Amar makruf dan nahi mungkar juga ibadah (HR al-Baihaqy).

Mencari rezeki halal buat diri, keluarga, dan kedua orang tua juga ibadah, dan juga dianggap jihad di jalan Allah SWT (HR al-Thabrani).

Bahkan, memenuhi kebutuhan biologis secara halal antara suami dan istri juga ibadah dan mendapatkan pahala. Sebagaimana melalukannya secara haram (zina) adalah doa besar (HR Muslim).

Semua pekerjaan duniawi yang dilakukan manusia menjadi ibadah. Petani bekerja di ladangnya itu ibadah. Pekerja berbuat di pabrik juga ibadah. Pedagang berusaha di tokonya juga ibadah. Pegawai bekerja di kantornya juga ibadah, dan lain sebagainya.

Namun, semua aktivitas itu bisa jadi ibadah dengan syarat: Pertama, pekerjaan itu jenis pekerjaan yang dibolehkan dalam Islam, bukan pekerjaan terlarang. Kedua, dimulai dengan niat (tujuan) baik. Ketiga, melakukan pekerjaan dengan profesional (HR al-Baihaqy).
Keempat, komitmen dengan syariat Islam dengan tidak bersikap zalim atau berkhianat. Kelima, pekerjaan itu tidak membuatnya lalai mengerjakan kewajiban agama (QS: al-Nur:37).
Ibadah Prioritas

Istilah Fiqh al-aulawiyat (Fiqh Prioritas) ialah pengetahuan terhadap hukum syariat yang mesti didahulukan dari hukum lain, sesuai dengan derajatnya, dan sesuai pula dengan tuntutan kondisi.

Dalam konteks ini, ibadah prioritas itu ialah mendahulukan mengerjakan ibadah tertentu dari ibadah yang lain, atau mendahulukan amalan wajib daripada amalan sunat. Maka, boleh saja meninggalkan amalan sunat, tapi tidak boleh mengabaikan amalan wajib.

Umpamanya, prioritas amal itu ada pada amal yang banyak memberikan manfaat kepada umat. Amal itu lebih diutamakan, dan lebih besar pahalanya. Seperti berjihad untuk kepentingan umat Islam lebih diutamakan  daripada hanya menghabiskan umur melaksanakan ritual ibadah. Makanya Rasulullah SAW mengatakan, orang yang berjuang di jalan Allah SWT itu lebih mulia daripada orang yang salat di rumahnya selama 70 tahun (HR al-Tarmizi).

Misalnya lagi, kemuliaan ilmu itu lebih tinggi daripada kemuliaan ibadah (HR al-Thabrany dan al-Hakim). Hingga, Allah SWT, para malaikat, penghuni langit dan bumi, semut di lubang tanah, ikan hiu di lautan, semuanya berdoa buat guru yang mengajari kebaikan kepada manusia (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Makanya ulama fiqh mengatakan, orang yang sibuk beribadah tidak berhak menerima harta zakat. Tapi orang yang sibuk menuntut ilmu bisa menerima harta zakat. Karena, orang yang sibuk ibadah hanya berbuat untuk dirinya pribadi. Dan orang yang sibuk menuntut ilmu itu untuk kepentingan umat.

Jadi, termasuk perbuatan keliru orang yang tahajjud sepanjang malam, lalu besoknya dia di kantor atau di pabrik mengantuk dan tak tidak bisa bekerja dengan baik. Padahal bekerja secara profesional itu suatu kewajiban. Dan tidak becus dalam kerja itu suatu pengkhianatan terhadap umat. Dan gaji yang diambil di awal bulan itu bisa dianggap memakan harta secara tidak sah.

Suatu kenyataan lagi, sebagian orang berulang kali mengerjakan haji sunat dan umrah sunat. Bahkan ada tiap bulan berangkat mengerjakan umrah sunat. Sementara di sebagian tempat ada umat Islam mati kelaparan. Banyak umat Islam tidak punya rumah tempat berteduh. Banyak juga umat Islam yang sakit, tak ada dana berobat. Banyak juga pelajar dan mahasiswa memerlukan dana sekolah dan kuliah. Banyak anak yatim memerlukan uluran tangan para orang kaya. Banyak juga orang tua jompo dan janda hidup susah tanpa dana hidup, dan lainnya.

Padahal ritual ibadah yang mereka lakukan itu sunat, sementara membantu orang dalam kesusahan itu wajib. Itu namanya, mengamalkan ibadah sunat dengan meninggalkan ibadah wajib.

Lebih jelasnya bisa dilihat dalam buku Fi Fiqh al-Aulawiyat Dirasah Jadidah Fi Dhau’ al-Quran Wa al-Sunnah oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi.

Teladan Prioritas
Umat Islam generasi awal sudah memberikan teladan  terbaik dalam menerapkan pengamalan ibadah prioritas. Bahkan lebih dari itu, generasi Islam terbaik itu lebih mendahulukan kepentingan orang lain (al-itsar) daripada kepentingan dirinya.

Kisahnya, seorang wanita memberikan kepada Rasulullah SAW pakaian baru yang bagus. Rasulullah SAW juga memakainya. Tapi, ada pula sahabat Rasulullah SAW menginginkan pakaian baru Rasulullah SAW itu. Dengan senang hati, Rasulullah SAW memberikan pakaian barunya itu kepada sahabatnya itu (HR al-Bukhari).

Teladan lagi, sebelum wafatnya, Saidah Aisyah sudah menetapkan bahwa kuburannya nanti di samping Rasulullah SAW yang berdampingan dengan ayahnya Saidina Abu Bakar Shiddiq. Tapi, ketika Umar bin Khattab dalam keadaan kritis setelah dianiaya oleh Abu Lu’luah, Umar memohon kepada Saidah Aisyah agar mengizinkannya dikuburkan di samping Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Akhirnya dengan hati ikhlas, Saidah Aisyah mengizinkannya.

Teladan juga, ketika barang dagangan Abd al-Rahman bin Auf dari Suriah memasuki Kota Madinah, penduduk Madinah berduyun menyaksikan 700 ekor unta membawa barang dagangan Abd al-Rahman bin Auf. Lalu Saidah Aisyah keluar menyaksikannya, dan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengucapkan bahwa Abd al-Rahman bin Auf masuk surga dengan cara merangkak. Mendengar ucapan itu, Abd al-Rahman bin Auf langsung saja menyedekahkan semua barang dagangannya itu kepada para fakir miskin yang ada di Kota Madinah.

Lebih lengkapnya, bisa dilihat dalam buku Mausu’ah al-Akhlaq wa al-Zuhd wa al-Raqa’iq oleh Yasir Abd al-Rahman.

Kaya Bakhil
Muhammad al-Wakily dalam bukunya Fiqh al-Aulawiyat Dirasah Fi al-Dhawabith menegaskan, amal sosial itu lebih utama daripada amal pribadi. Berdasar kepada hadits Nabi yang menjelaskan bahwa Allah SWT akan memberikan kemudahan di dunia dan di akhirat kepada orang yang membantu kesusahan seseorang saat di dunia (HR Muslim).
Terakhir, Rasulullah SAW mengingatkan umatnya, tidak terjadi kemiskinan di tengah masyarakat, melainkan disebabkan sikap bakhil para orang kaya. Dan Allah SWT akan menyiksa para orang kaya bakhil itu dengan siksaan yang sangat pedih (HR al-Thabrani). Pikirkanlah.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat (25/03/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id