web analytics

Merajut Budaya Demokrasi di Sekolah (Yanti)

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

Sekolah merupakan pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD; RA/TK), Pendidikan Dasar (SD/MI), Pendidikan Menengah (SMP/MTs dan SMA/MA), baik yang bestatus negeri maupun swasta. Sekolah sangat menentukan pembentukan kepribadian anak setelah lembaga pendidikan informal (keluarga).

Di sinilah anak mulai berinteraksi sosial dengan komunitas yang relatif lebih heterogen, karena sekolah dapat juga dikatakan sebagai miniatur masyarakat yang memiliki pemimpin, anggota, wilayah dan aturan-aturan yang berlaku.

Sekolah  dalam mengantarkan dan mengawal  anak didik untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, tidak terlepas dari usaha dan upaya guru  sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah yang telah menerima limpahan tanggung jawab dari orang tua atau keluarga.

Kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh profesionalitas guru dan juga mindset atau cara pandang seorang guru  terhadap diri dan anak didiknya. Bila guru memandang dirinya sebagai seorang yang memiliki otoritas mutlak berkuasa dan sumber utama ilmu pengetahuan sementara  anak didik sebagai objek yang akan menerima ilmu pengetahuan maka akan terciptalah proses pembelajaran yang kaku penuh dengan perintah dan sederatan tugas yang harus dikerjakan anak didik. Namun, bila guru memandang dirinya sebagai mitra belajar tentu dia berperan  sebagai motivator dan fasilitator, dengan pandangan ini,  maka  guru akan memposisikan  anak didik  sebagai individu yang memiliki potensi yang akan dikembangkan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cara pandang pertama akan melahirkan proses pembelajaran yang kaku dan otoriter, sedangkan cara pandang kedua akan menciptakan pembelajaran menyenangkan dan demokratis.

Paulo Freire menjelaskan bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di mana peserta didik diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak mendatangkan  hasil dengan lipat ganda. Jadi, guru adalah subjek aktif sedangkan anak didik adalah objek pasif yang penurut, yang diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka sebagai objek ilmu pengetahuan teoretis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat  negatif dimana guru memberikan informasi yang harus ditelan oleh anak didik, yang wajib diingat, dan dihapalkan.

Kegiatan pendidikan seperti ini belum menunjukkan pendidikan yang demokratis. Pendidikan demokratis merupakan  wujud pendidikan humanistik. Aktualisasi pendidikan demokratis harus tergambar jelas dalam kegiatan pembelajaran, namun kenyataan yang terlihat di lembaga-lembaga pendidikan kita masih perlu mendapatkan penanganan agar terjadi perubahan yang siginifikan dari gambaran yang telah dikemukan oleh Freire di atas.

Harus diakui bahwa sekolah kita belum sepenuhnya mampu menciptakan manusia-manusia demokratis sebagai salah satu wujud manusia-manusia humanis. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya konflik yang terjadi di lingkungan pendidikan hingga berujung pada tawuran antar pelajar bahkan di tingkat perguruan tinggipun tidak jarang tawuran antara mahasiswa yang menimbulkan kerugian harta  benda bahkan berujung  kematian.

Bila kita kaji, konflik kekerasan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya, ketidakmampuan  anak didik menyikapi dan menghargai perbedaan pendapat atau fikiran, adanya kelompok (geng) yang merasa berkuasa dan hebat sehingga orang lain di luar gengnya harus mengakui eksistensi mereka, ego kedaerahan yang berlebihan tidak pada tempatnya dan tingkat ketersinggungan yang tinggi dan self control yang sangat rendah sehingga persoalan sepele menjadi besar.

Kondisi ini menyebabkan lembaga pendidikan bagaikan hutan belantara, siapa yang kuat  akan menang, sedangkan yang lemah akan kalah. Mencermati persoalan tersebut, pihak sekolah sudah selayaknya menyikapi dan merobah fenomena tersebut dengan menciptakan lembaga pendidikan yang benar-benar mampu menjadikan dan menciptakan  anak  didik yang demokratis dengan kemampuan menerima berbagai perbedaan.

Kegiatan inti pendidikan di sekolah adalah kegiatan pembelajaran. Secara sederhana, pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi, intelektual, emosional dan spiritual seseorang atau anak didik agar tergerak untuk belajar atas kehendaknya sendiri tanpa paksaan. Dalam kegiatan pembelajaran akan terjadi proses interaksi antara guru dan anak didik begitu juga halnya antara sesama anak didik. Di sinilah tantangan seorang guru untuk mampu memunculkan daya kreativitas  semua anak didik untuk belajar dari berbagai sumber yang ada di lingkungannya, dengan menerapkan budaya demokratis di kelasnya sehingga terciptakan situasi pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan potensi yang mereka miliki.

Pembelajaran demokratis berarti menciptakan suasana demokratis dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain, pembelajaran demokratis adalah pembelajaran yang direncanakan dengan konsep yang memungkinkan terjadinya praktek pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik  seluas-luasnya untuk belajar, berfikir, memecahkan masalah, berkarya  dan membiarkan mereka bergerak membangun keilmuannya sehingga anak didik memiliki peluang yang besar untuk belajar memberanikan diri membuka wawasannya.

Menerapkan dan merajut budaya demokratis dalam kelas, juga akan banyak memberikan kesempatakan kepada siswa untuk berlatih mewujudkan dan mengembangkan hak dan kewajibannya. Suasana yang demokratis dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran melalui hubungan harmonis antara guru dengan anak didik didik. Dalam suasana demokratis itu pula, semua pihak akan merasakan menjadi orang yang  dihargai sesuai  dengan prestasi dan potensi yang dimilikinya sehingga dapat menanamkan rasa percaya diri.

Bila rasa saling menghargai sudah tertanam dalam diri  anak didik  maka berbagai macam perbedaan mampu mereka sikapi dengan arif dan bijaksana, meskipun mereka harus menerima keunggulan prestasi teman dan berbagai perbedaan yang ada, sehingga akan memunculkan rasa percaya diri.  Dengan demikian,  bila rasa percaya diri  sudah tertanam dalam diri  masing-masing anak  didik maka sudah dapat dipastikan, mereka akan mampu mengembangkan potensi masing-masing dan berkompetisi memacu prestasi secara sehat demi kemajuan diri dan lembaga mereka.

Cakupan lebih luas adalah merajut budaya demokrasi di luar kelas atau di lingkungan sekolah dengan berbagai macam kegiatan di sekolah. Seperti Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), struktur kepengurusan kegiatan muhadharah dan sebagainya

Semua wadah yang tersedia, tentu saja  akan lebih baik dalam  proses dan hasil yang ingin dicapai bila di bawah pengawasan dan bimbingan guru sesuai dengan kewenangan masing-masing. Semoga sekolah mampu menciptakan pribadi anak didik yang demokratis melalui rajutan budaya demokrasi di lembaga pendidikan masing-masing.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu (23/03/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id