web analytics

Siapa Pembakar Lahan? (Elviriadi)

Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska

Spirit kebersamaan memberantas titik api, tiba-tiba dibuat heboh oleh pernyataan seorang ”tokoh” di bumi Lancang Kuning. Tak dinyana melontarkan kekesalannya pada orang Melayu di Riau karena suka membakar lahan. Kontan saja, pernyataan tersebut membuat publik terheran-heran. Darimana data-data beliau peroleh? Sudah berapa buku tentang sejarah dan kearifan orang Melayu memelihara lingkungan yang sangat masyhur itu beliau pelajari? Dan sudah berapa lama beliau tinggal di Riau? Bagaimana menjelaskan di tahun 2016 ini kebakaran terjadi di kebun sagu dan karet punya orang Melayu Kabupaten Meranti, lalu apa alasannya membakar kebun sendiri? Apakah sudah kalap dan tidak waras lagi orang Melayu di Riau rela melakukan “bunuh diri dan masa depan anak bini” dengan memberangus periuk nasi? Bukankah hanya perusahaan yang selama ini terbukti sengaja membakar lahan untuk mendapatkan asuransi dan mengurangi biaya produksi?

Agaknya, perlu kita cermati penelitian budayawaan UU Hamidy tentang tata cara orang Melayu mengelola hutan tanah dalam tulisannya “Kerusakan Negeri oleh Demokrasi (Riau Pos/10/12/12). “ Semasa orang Melayu dipandu oleh adat bersendi syarak, lalu ulama yang taat dan tokoh adat yang saleh diminta anak negeri menjadi wali negeri atau penghulu kampung, maka hutan tanah mereka terpelihara. Hutan tanah yang terbagi menjadi rimba larangan (simpanan), tanah ladang dan kebun, tanah pekarangan dan rimba sialang menjamin segala hajat hidup semua makhluk. Maka negeri jadi sejahtera, indah dan selesa didiami.

Setelah kalimat “kewajiban melaksanakan syariat Islam dicoret dalam UUD 45, Indonesia terperosok dalam lumpur kebendaan dan rakus kekuasaan di bawah bayang-bayang demokrasi. Jabatan presiden, gubernur, bupati, walikota, sampai kepala desa dan rukun warga diperebutkan melalui sistem demokrasi sekuler. Kerusakan negeri tak terbendung lagi. Hutan Riau yang semula 6,6 juta hektare digasak HPH (Hak Pengusaan Hutan) 4,8 juta hektare atau 73 Persen. Wajar jika Prof Hadi Purnomo dari CIFOR belum lama ini merilis hasil riset terbarunya bahwa musim asap dibarengi dengan musim pilkada, karena demokrasi sekuler memerlukan dana besar, termasuk mungkin dari cukong, perusahaan asing dan aseng yang kebal hukum.

Hal ini ditambah dengan represifime militer yang menjadi pemain utama dwifungsi Orde Baru. Dari rezim sentralisme-militeristik itu datanglah kaum perusahaan bubur kertas dan perkebunan kelapa sawit memberangus hutan tanah orang Melayu Riau, sehingga anak kemanakan terlunta-lunta, marwah dihina, yang dan kampung poranda bak negeri diamuk garuda. Yang kecipratan kantong tebal kapitalis, paling-paling para penjilat perusahaan dan pengkhianat Melayu yang terus memerankan diri sebagai penggerak budaya Melayu Riau tanpa rasa malu dan tidak peduli akan wibawa yang sudah terkuras. Di antara puing kekecewaan dan putus asa itulah menyisip pula tudingan “gelap” kalau kalau orang Melayu biang pembakar lahan dan Lembaga Adat Melayu Riau  (LAMR) gagal memperingatkan anak kemanakan yang tak tau tunjuk ajar tetua dan orang patut masa silam.

Alihkan Isu

Dari dahulu Pak Harto bilang harus reboisasi, hutan Indonesia di ambang kepunahan. Kini  ekosistem tanah Melayu berkobar api akibat masif penjarahan kayu, itu pula hendak dipolitisir dan dilokalisir menjadi soal gambut an sich. Gambut, gambut, gambut. Jangan tengok hutan, jangan angkat masalah konflik masyarakat adat-perusahaan, jangan hitung jumlah pribumi yang tewas dan harta benda yang musnah selama konflik agraria, apalagi minta pemerintah memainkan otoritasnya menjegal mafia pembakar lahan. Tetapkan berpuluh-puluh tersangka, tapi syaratnya harus rakyat jelata binti buruh harian lepas. Yang bos dan owners adalah ”gizi” setia, tak ada sangkut paut dengan asap yang mendera. Hutan berasap fauna flora lesap, cepat cepat tutup opini publik dengan cita-cita restorasi gambut.

Siang malam membuat sekat kanal, padahal pengeringan gambut oleh perusahaan ‘sakti’ sumber segala pasal. Pohon-pohon tropis yang mempunyai lignin, COOH, asam fenolat yang berfungsi pengikat air dan dekomposer anaerob sengaja dilupakan lantaran memang sudah dimusnahkan, padahal yang menahan air bukan sekat kanal -ingat; irreversible drying-kering tak balik-  sang jurus pembodohan publik mendadak ngetop itu. Dengan rekayasa opini kanal bloking, kesan yang muncul asap tahunan murni gejala alam, fenomena el nino, kalau pun faktor manusia, itulah kerja orang Melayu yang maniak membakar lahan sendiri. Isu kehancuran hutan sengaja dialihkan, digiring 250 juta mata rakyat indonesia ke dalam polemik gambut, disihir ke arah kanal bloking lalu diperkuat dengan adanya Badan Restorasi Setengah Hati Gambut (Bersih-Gam) bin pro ekploitasi kayu ramin. Lalu, rekayasa tingkat tinggi macam apa lagi yang hendak diskenariokan dengan melempar bola panas ke muka orang Melayu yang menahan diri dari teriak “Riau Merdeka”?

Wahai pemain kayu, kami rakyat Riau terlalu naif untuk bisa digiring ke rekayasa penanganan titik api yang penuh dramatisasi. Walaupun seluruh armada darat, laut, udara, angkasa, Galaksi Bimasakti, tumpah ruah memeriahkan sinetron konspiratif-mu. Tanah gambut yang kering kerontang, seharusnya dibenahi dari hulu; regulasi undang-undang pro lingkungan, legal audit perusahaan pemerkosa rawa gambut, pemetaan komprehensif kualitas lingkungan kontemporer, pilih keberlanjutan pembangunan ekonomi (neolib bin kapitalis) atau keberlanjutan ekosistem alam lingkungan.

Pemadaman titik api adalah persoalan hilir yang sangat gampang diatasi asal negara tampil otoritatif-strong leader. Jangan merendahkan martabat negara di bawah ketiak ideologi asing dan aseng, sehingga TNI-Polri yang punya peran strategis harus diturun-gunungkan mengurus hal yang amat sepele. Alam akan menolak didustai, karena kata Ebit G Ade, rumput yang bergoyang adalah saksi sejati. Jangan sampai hipotesis Budayawan UU Hamidy dalam berbagai buku dan artikelnya terbukti lantaran drama gambut ketahuan belangnya. Bahwa musuh utama hutan tanah orang Melayu bukanlah siapa pembangun titik api. Melainkan percaturan tempur tiga lawan satu. Tiga diwakili penguasa-pengusaha-pemegang senjata berselingkuh demi konspirasi kemakmuran sesama kolega, melawan rakyat jelata dalam kesendirian terdesak ke jazirah luka yang terus menganga. Agaknya kita perlu bertanya, apakah kita sudah benar-benar merdeka?  Ataukah, Bung Karno benar ketika mengatakan, kami dijajah oleh Belanda dan Jepang, sedangkan kelak kalian, betapa sakitnya karena dijajah sesama anak bangsa. Wallahu’alam!

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu (30/03/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id