web analytics

Popularitas dalam Integritas Semu (Suardi, M.I.Kom)

Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau

Tak dipungkiri Terkenal dan populer tampaknya telah menjadi salah satu bagian dari sukses. Tak heran jika David j Schuwartz pengarang buku berpikir dan berjiwa besar yg jadi salah satu buku best seller dunia mengatakan, sukeses berarti popular dikalangan teman, lingkungan dan masya​rakat luas. Jadi sedemikian pentingkah arti popularitas itu dalam kesuksesan?.

Setidaknya mau tak mau harus kita akui juga, kadang popularitas memang bisa berpengaruh pada kredibilitas seseorang. Meski tak jarang kredibilitas itu, terkadang hanyalah sekedar kredibilitas semu. Artinya, seseorang yang tadinya hanya punya kemampuan dan skil biasa-biasa saja, namun karena ia lebih populer, maka bisa saja dianggap kemudian lebih kompeten ketimbang yang lain yang lebih punya kemampuan.

Didunia politik dan di era pemilihan langsung saat ini, popularits juga tampaknya juga telah menjadi salah satu perhatian tersendiri. Banyak partai politik di Indonesia saat ini yang melihat popularitas sebagai “magnet” dalam mengangkat elektebilitas partainya. Tak heran, partai politik pun seakan berlomba-lomba meminang orang orang yg dianggap memiliki popularitas tinggi. Baik dikalangan selebriti, pejabat, penggiat sosial, pengusaha dan profesi lainnya.

Boleh jadi ini jugalah yang melatar belakangi orang-orang dari berbagai kalangan, kini seakaan berlomba mengejar popularitas. Bahkan walaupun harus dengan “menghalalkan” segala cara. Termasuk melakukan hal-hal yang kontroversial atau “nyeleneh”. Memang jika semata untuk tujuan popularitas, cara ini bisa saja dilakukan. “Bul ‘alaa zamzam Fatu’raf”, begitu kira-kira bunyi pepatah arab, yang artinya kencingi telaga zam-zam, maka kamu akan terkenal. Pepatah itu setidaknya mencerminkan bagaimana popularitas bisa dicapai dengan melakukan hal-hal aneh atau tindakan-tlindakan kontroversial.

Memang diera kebebasan dan keterbukaan informasi saat ini, peluang populer dengan instan lewat hal-hal aneh dan kontroversial seakan terbuka lebar. Bahkan sudah tampak mulai menggejala, khususnya dikalangan pengejar popularitas. Mulai dari kalangan selebriti, politikus, pejabat, pengusaha dan lain sebagainya. Tujuannya, tentu saja agar lebih dikenal, populer, demi mengejar sukses.

Jika mengamati penomena saat ini, seorang pejabat negara yang mengeluarkan kata-kata kasar dan tak semestinya di media massa, bisa lebih populer. Sorang aparat kepolisian yang bertingkah konyol diluar koridor, difollow updi media massa, bisa melejit jadi terkenal. Begitu juga ketika seorang tokoh menyampaikan pemikiran-pemikiran kontroversial dimasyarakat malah menjadi terkenal. Seorang pengacara dengan segala kontroversi sikap dan kehidupan pribadinya, menjadi popular.

Memang dalam perjalanannya, hal ini kemudian tampaknya mulai menimbulkan ketakutan banyak pihak kususnya di bidang politik. Dimana, politik yang hanya berbasis popularitas di Indonesia yang sedang marak saat ini bisa saja  berpeluang besar memunculkan pemimpin instan, tidak kompeten, dan miskin integritas. Syamsuddin Haris (Kompas, 20/8/2015).  Calon-calon kepala daerah yang belum “matang” , namun popular karena berbagai faktor,  bisa saja muncul sebagai pemenang. Mengalahkan calon terbaik dari segi aksetabilitas, karena kalah pupuler dimasyarakat.

Kasus yang menimpa bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan, yang digrebek BNN saat diduga sedang pesta sabu di rumah dinasnya, boleh jadi salah satu bentuk dampak dari terpilihnya sang bupati yang hanya berbasis politik popularitas. Hal itu mengingat juga latar belakang sang bupati, yang tak lain anak dari bupati sebelumnya, walau pun masih dalam usia yang masih tergolong belia.

Jika merujuk pada dampak media massa dalam kajian komunikasi, memang terdapat tiga tahapan dampak pesan komunikasi massa terhadap publik. Tahapan pertama dinamakan dampak kognisi. Kognisi merupakan tahapan dimana pesan komunikasi yang disampaikan, singgah di alam pikiran seseorang. Pembaca atau pemirsa menjadi ingat, tahu dan kenal terhadap apa yang dinformasikan penyampai informasi.

Ditahapan inilah para pencari popularitas itu cenderung memainkan perannya. Berbagai cara pun dilakukan yang penting ia bisa menanamkan sosok dirinya pada benak pembaca atau pun pemirsa. Sasarannya, tentu saja masyarakat awam yang masih terkungkung dengan anggapan bahwa semua yang disampaikan di media massa itu maha benar. Sedangkan mereka sendiri sama sekali tak punya daya kritis, atas apa yang diinformasikan.

Tahapan kedua dinamakan asfek afektif. Asfek afektif ini lebih kepada sikap, perasaan, atau emosional. Misalnya ketika pemirsa atau pembaca menerima pesan komunikasi di media massa, maka tak hanya sebatas tahu atau ingat. Namun berlanjut pada memunculkan perasaan, baik menyukai atau malah membencihi pesan atau si penyampai pesan. Disinilah para pencari popularitas yang “menghalakan” segala cara, mesti hati-hati.

Sebaliknya, para pembaca atau pemirsa juga harus lebih lanjut dan bijak mengolah informasi yang diterimanya pada tahap afektif, jangan sampai pada tahap kognitif saja. Sehingga para pemirsa atau pembaca tak hanya terjebak pada populraitas dan integritas semu semata. Terkenal atau popularitas sang penyampai pesan. Namun, berlanjut pada penghargaan atau simpati, layak atau tidaknya penyampai pesan disukai atau malah lebih layak dibencihi. Jadi disamping ingat, namun juga melahirkan sikap.

Tahapan ketiga dinamakan asfek konatif. Dimana afek ini lebih menyangkut pada tindakan atau perilaku. Setelah dikenal, dirasakan dengan persaan, akhirnya sampai pada konatif atau tindakan nyata. Apa tindakan kita pada pesan atau sang penyampai pesan atau komunikator. Ketika ia seorang calon kepala daerah, apakah dengan informasi-informasi yang diterima dari media massa selama ini, layak atau tidakkah kita menjatuhkan pilihan padanya. Dengan segala integritas, kompetensi yang melekat padanya. Sebagai masyarakat, kita juga harus sudah bisa menilai aksetabilatasnya sebagai calon pemimpin bagaimana?.

Mungkin apa yang dibeberkan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terkait kualitas pemimpin yang di dambakan rakyat saat ini bisa jadi acuan kita bersama. Yakni, jujur, berempati, tegas dan pintar (LSI;2007). Memang dalam politik popularitas, “kemasan” menjadi salah satu yang dikritik sebagai artificial. Namun dengan sikap yang proporsional dalam menerima dampak informasi media massa, popularitas bukan lagi sekedar pada integritas semu. Namun mampu menjadi energy untuk melakukan perubahan praktis. Hal yang didamba masyarakat tentang kualitas pemimpin juga tak kontraproduktif. Dimana antara popularitas dan intergritas serta kapabilitas tak sejalan, bahkan malah berbanding terbalik. Disinilah diperlukan kesadaran kita bersama. Sebagai partai politik, jangan hanya mengandalkan popularitas dan elektabiloitas, melainkan juga punya tanggungung jawab moril dari sisi aksetabilitas

Sedangkan sebagai masyarakat kita juga harus mulai selektif, peduli dan menyadari. Saat menjatuhkan pilihan pada sang calon pemimpin, jangan hanya bedasarkan ketenaran sang calon saja. Namun apakah dibalik ketenaran dan popularitas itu, dari informasi yang saat ini banyak berseliweran sudah mencerminkan sosok calom pemimpin yang jujur, berempati pada rakyat, tegas dan pintar? Sekali lagi, sebagai masyarakat mari kita mulai lebih selektif, peduli dan menyadari. Dengan demikian, mudah-mudahan sebagai rakyat kita tak terjebak dengan popularitas dan integratis semu sang calon pemimpin. Ditengah keterbukaan dan kebebasan informasi saat ini.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Sabtu (16/04/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id