web analytics

Berikrar kepada Gambut (Dr. Elviriadi)

Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau

Tak cukup dengan Badan Restorasi Gambut (BRG), Presiden Jokowi kembali memerintahkan Menteri Siti Nurbaya agar me-moratorium izin tambang dan sawit di lahan gambut.

Pasalnya, restorasi ala Nazir Fuad sedang beres-beres habis-habisan. Entah karena kebakaran lahan di Kabupaten Meranti hingga April 2016 mencapai 700 hektare, fokus restorasi gambut Provinsi Riau beralamat di Sungai Tohor, desa dengan produksi sagu terbesar itu. Tapi apa nyana, baru sehari semalam berada di Desa Sungai Tohor, rombongan tim restorasi langsung angkat kaki tak tahan udara dingin.

Ide moratorium gambut dan hutan sudah bergaung sejak era pemerintahan pasca reformasi. Bahkan pada zaman SBY dikeluarkan berbagai regulasi yang menakut-nakuti investor pemain gambut. Tapi ala lacur, moratorium tingal moratorium. Konversi dan budidaya di lahan gambut-dalam (lindung) tetap berlangsung massif dibawah ”pengawasan” aparatur yang kolutif dan tak peduli bin egosentris. Alhasil, lahan gambut yang telah dihuni masyarakat adat dan asset kebun rakyat harus berbentur dengan izin kelola yang telah jatuh ke tangan cukong.

Terkesima dengan magi nawacita, publik sesungguhnya berharap pada tokoh muda Nasdem Ferry Mursydan merestrukturisasi prinsip-prinsip solutif dinamika konflik agraria di bawah kementerian ”basah” tersebut. Namun, setelah lebih setahun berjalan turbulensi di sektor “tuan takur” ini memang membuat reformasi agraria masih jauh panggang dari api.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sektor perkebunan menyumbang terbesar sebanyak 127 konflik dan disusul sektor infrastruktur 70 konflik. Dari total area konflik agraria seluas 400.430,00 hektare, area konflik paling luas pada 2015 berada di sektor perkebunan dan sektor kehutanan. Posisi selanjutnya diduduki pertambangan 21.127 hektar, pesisir-kelautan 11.231 hektar, infrastruktur 10.603 hektare, sektor lain-lain seluas 1.827 hektare dan terakhir sektor pertanian seluas 940 hektar.

Dalam deru debu konflik itu, rakyat hanya ditemani ketakutan dan lari meninggalkan kampung halaman. Sementara sang cukong berkepit dengan penguasa ke Eropa dari 18-22 April 2016 untuk mempromosikan hasil jerih payah industrinya yang berdiri mengoyak rawa gambut Sumatera dan Kalimantan dan menoreh luka dihati pak Ruslan Desa Lukit, menggusur kebun Mak Cik Pe’ah di Teluk Meranti dan men-condongkan pohon kelapa di Inderagiri.

Wahai penguasa negeri, bagaimana lagi kami rakyat Riau, dan segantang umat dari Sabang hingga Marauke, mengeja makna Badan Restorasi Gambut (BGR), moratorium demi moratorium, tim pemadaman api yang ultra-siaga,  bila pengusaha berdiri sejajar dengan pemegang senjata menjamin akan ada lagi eksploitasi lahan gambut di negeri kami tahun-tahun mendatang demi “memperkuat kerja sama strategis dengan mitra internasional dalam kerangka investasi global”?

Kepalsuan Terbukti
Apalah arti kanal blocking yang menghabiskan anggaran gila-gilaan itu? Untuk apa dibuat restorasi bin Nazir Foead, pemulihan tata hidrologis gambut, revegetasi tanaman adaptif, dan agenda-agenda heboh pemadaman api, bila ujung-ujungnya kongkalikong tingkat tinggi kelak ‘mengkhianati’ hutan ulayat Melayu atas nama investasi yang tak berperi-kegambutan dan berperi-kefauna-floraan?

Problem mendasar penyebab konflik lingkungan dari Orde Baru hingga Orde Reformasi adalah apa yang disebut W.F Weritheim (2009) watak “sociology of ignorance” (sosiologi kemasa-bodohan/pengabaian). Seorang teman membocorkan rahasia SK Menhut yang menjerat petinggi Riau, karena peta hutan dan tata batas areal konsesi digaris-garis di atas meja Jakarta berspirit konspirasi-kemakmuran,  bukan berdasarkan prosedur yang laik.

Dalam kacamata ini,  dampak kerusakan lingkungan dan krisis sosial-ekologis, dan kehancuran rawa gambut Riau tidak dihiraukan/diabaikan. Akibatnya, lahirlah bentuk-bentuk politics of ignorance’, sebuah  politik kepalsuan, pengabaian, ketidaktahuan dan ‘masa bodoh’ atas suara masyarakat lokal. Adakah produk legislasi dan kontrolling DPRD Riau dan DPRD Kabupaten yang tajam dan solutif terhadap nasib anak negeri ini yang diserobot oleh cukong itu? Seriuskah para politisi itu membantu warga dan konstituennya? Justru, penyelesaian beragam krisis sosial-ekologis, konflik agraria yang kronis di serata Riau, lebih pada tujuan ‘lip service, charity, reaktif dan karikatif’ daripada mencari solusi pada akar masalah. Dan karena itu jua, budak-budak Pulau Padang menjahit mulut di depan DPRD Riau dan akhirnya ditangkap karena anarkis membakar alat berat perusahaan penjarah gambut Meranti.

Kesetiaan dan kepercayaan Riau pada pemulihan gambut yang dijanjikan itu, adalah ikrar dan matlamat cinta pada nyanyian alam buana yang mengufuk senja. “Mungkin air merah dari akar gambut yang memandikan ingatan kita, tentang Sakai yang berlari diusir teknologi kota, tentang Talang Mamak yang memancing biota di antara arus angin yang bersilangan di laut jiwa, atau tentang kita, para pengkhianat yang kehilangan setia, jadi perlambang bagi pabrik benda-benda, dan tak bisa lagi selain menikmati derai tawa hampa, di antara kongkalikong dan imaji penguasa, menggaris-garis hutan tanah kami tak bersisa, di sekujur badan penuh rajah peta luka,

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin (25/04/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id