web analytics

Surat untuk Presiden Jokowi (Dr.Elviriadi)

Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau

 

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Tuan Presiden, Semoga kedaulatan hati kepada rakyat selalu menjadi cita-cita tuan kini dan selamanya. Dengan itu pula, jiwa raga rakyat akan terajut satu merangkai masa depan bangsa dan negara kita yang tengah dilanda ujian demi ujian.

Bangsa kita dewasa ini sedang mengalami turbulensi yang cukup serius di berbagai level. Mungkin pemicu situasi demikian sudah terwariskan dari generasi ke generasi pemimpin republik, tetapi pertanyaannya; dapatkah kita meredakan laju gelindingan keruntuhan idealisme berbangsa kita, sehingga kemakmuran dan keadilan sosial makin mendekat.

Kita menyaksikan dengan mata telanjang, hutan rimba kita rubuh demikian cepat.  Atas nama investasi dan kepentingan nasional, pihak tertentu telah mengambil alih sumber daya alam kita dalam rentang (baca: kontrak) panjang bahkan satu abad lamanya. Paralel dengan itu, tutupan lahan mendadak lenyap. Padahal tutupan tanaman itu menyediakan dasar bagi semua mata rantai makanan, menyambungkan siklus air, menstabilkan iklim mikro, melindungi tanah, dan tempat berjejak biosfer. Ekosistem alam yang rindang berubah menjadi padang terbuka, memusnahkan satwa dan plasma genetik. Satu abad dan atau kurang sedikit rentang izin pengelolaan hutan yang diputuskan dari Jakarta berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan RI itu, mau tak mau menyeret Provinsi Riau atau mungkin di Jambi, Kalimantan dan lainnya ke dalam pusaran konflik masyarakat adat versus perusahaan. Juga telah turut menyumbang terhadap kemusnahan hutan alam, meluapnya emisi karbon dan dampak hilir berupa kebakaran bentang alam gambut yang merisaukan tuan itu.

Agaknya negeri kita tengah berada dipertaruhan maha penting, mendengarkan bisikan halus kapitalisme dengan janji-janji pertumbuhan ekonomi elite, atau mendengarkan suara-suara sayup kami di segala daerah dan ceruk rantau. Konstelasi global dan elite pemain sumber daya alam, memang menghasilkan gemuruh investasi yang membanggakan kita sebagai negara modern. Dibandingkan dengan kearifan lokal dan barisan masyarakat adat yang stagnan dalam konteks “memajukan“ negara serta tidak dapat memberi tambahan nominal pada APBN-APBD; akankah kami kalah penting di mata tuan?

Negaraisasi Tuan Presiden,
Bagaimanakah nasib Putusan MK 35/PUU-X/2013 yang mengabulkan judicial review UU No 41/1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)? Hasil kesimpulan sidang MK ketika itu sepakat menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. Selama ini negaraisasi wilayah adat telah menyandera pemukiman, tanah pertanian, perladangan, tanah bera, padang penggembalaan, wilayah perburuan, hutan yang berisikan fauna flora, pesisir pantai dan keanekaragaman hayati dikategorikan sebagi tanah negara dan hutan negara. Lalu atas dasar keyakinan undang-undang (baca; negaraisasi), Kementerian Kehutanan RI memasukkan sebagian atau seluruh wilayah adat itu sebagai lisensi-lisensi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif dan produksi kehutanan/perkebunan/pertambangan untuk memenuhi keperluan komoditas global, atau kepada pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi, taman nasional, taman hutan raya, suaka marga satwa dan sebagainya.

Negaraisasi semacam itu terang saja telah menyangkal eksistensi masyarakat adat beserta ruang hidup masyarakat pedesaan, memutus akses mereka ke sumber bahan pangan, obat-obatan, ikan air tawar, hasil hutan non kayu dan membunuh ekspresi budaya lokal. Tak terhitung konflik yang menelan korban, ganti rugi yang dehuman, bahkan Pak Ruslan di Desa Lukit Kabupaten Kepulauan Meranti telah berjuang bolak balik ke Jakarta dan sampai terjerat utang untuk memperjuangkan kebunnya yang diambil alih perusahaan atas lisensi negara.
BRG; Progresif atau Lembek?

Dalam sebuah wawancara media online, penulis telah memaparkan orientasi juang Badan Restorasi Gambut (BRG). Badan ini sama sekali tidak memiliki wewenang untuk memulihkan gambut secara komprehensif. Kanal blocking yang telah terbantah efektivitasnya dalam mengatasi Karhutla, tetap dijadikan andalan. Hanya setelah ada sejumlah masukan dari akademisi ideologis, kanal blocking tiba-tiba didampingkan dengan paket sumur bor. Secara demonstratif, dibawalah serta pejabat daerah dan pusat termasuk Dubes Norwegia memasang sumur bor di Rimbo Panjang.

Tuan Presiden,
Substansi persoalan karhutla terletak pada luas eksploitasi hamparan gambut di Riau yang sudah terlanjur dibebani izin. Gambut-dalam (deep peat land) di Pelalawan dan Pulau Padang telah dilarang undang-undang, namun terus digasak dan dibiarkan. Badan Restorasi Gambut (BRG) sebenarnya sudah punya tim yang cakap untuk sekadar mengetahui kalau-kalau gambut merupakan satu kesatuan hidrogis, tak bisa terpisah satu hamparan dengan hamparan lain. Jika dihamparan tertentu dikeringkan melalui kanal primer, maka kawasan milik masyarakat akan mengalam degradasi dan pengeringan. Kementerian LHK selama ini belum menunjukkan kemauan mengatasi problem dilematik ini, lalu dapatkah BRG memainkan peran perubahan lanskap alam yang tuan beri istilah “restorasi”? Punyakah data  spasial para bung di BRG bahwa telah diteliti sebesar 77 persen izin kehutanan ditempatkan ke lahan gambut? Apa yang dimaksud dengan hutan produksi terbatas? Bagaimana status (ilmiah) biogeofisik hamparan gambut 2 juta Ha yang akan direstorasi BRG itu?

Dengan demikian, BRG harus menjadi kekuataan progresif-pemberani yang bergerak cepat dan otoritatif, kalau kita serius hendak merestorasi titik api tahun-tahun mendatang. Apabila lemah dan pro-cukong, maka program yang pada awalnya menggebu akan simpang siur di tengah jalan. Kami rakyat entah kenapa masih yakin pada komitmen nawacita bin trisakti Tuan Presiden, karena tuan adalah pemimpin yang dipilih secara demokratis. Maka demokrasi berupa keadilan tata kelola sumber daya alam itulah yang kami nantikan dalam debar.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa (31/05/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id