web analytics

Pencitraan dan Seni Memimpin (Suardi, M.I.Kom)

Dosen Ilmu Komunikasi FDIK UIN Suska Riau

Dalam kisah Seribu Satu Malam, seorang raja yang baru saja menerima tampuk kepemimpinan dari ayahnya ingin menggelar pesta rakyat untuk merayakannya. Dalam pesta tersebut, ia ingin juru masak istana menyiapkan hidangan terbaik, sampai hidangan yang paling dihindari di kerajaannya. Pesta pun digelar, dan dihadiri seluruh rakyat dari berbagai kalangan.

Di tengah pesta yang berlangsung meriah itu, sang raja minta kepada juru masak istana untuk disuguhkan makan terbaik di kerajaannya. Sang juru masak pun bergegas ke dapur, lalu sambil tergopoh-gopoh ia menghidangkan gulai hati kambing kepada sang raja. Dengan lahapnya, raja pun menyantap habis hidangan itu.

Tak lama berselang, raja pun kembali meminta kepada juru masak untuk disajikan sebuah hidangan. Namun kali ini malah sebaliknya, ia meminta juru masak agar menghidangkan makanan yang paling dihindari orang-orang di kerajaannya.  Dengan sabar juru masak menjawab ada. Sang juru masak pun kembali ke dapur. Tak perlu  waktu lama ia pun kembali, untuk menyuguhkan hidangan pada sang raja. Namun tak dinyana, hidangan itu ternyata sama dengan hidangan sebelumnya, yakni gulai hati kambing. Meskipun sempat tertegun dan dan terkesima, masakan ini pun disantap juga oleh sang raja.

Keesokan harinya, raja pun memanggil sang juru masak. Kali ini ia ingin mempertanyakan perihal hidangan pesta rakyat tempo hari. Masakan yang sama untuk dua kategori yang berbeda 180 derajat.  Setelah ditanyakan, si juru masak pun menjawab dengan mantap. Berdasarkan pesan para leluhur saya, hati yang merupakan wujud keyakinan dan perasaan merupakan hal yang paling utama dalam sebuah kepemimpinan. Ungkap si juru masak. Intinya, hati itu bisa menjadi pedang bermata dua bila tak bijak menggunakannya.

Dari penggalan kisah Seribu Satu Malam di atas, menggambarkan betapa hati yang merupakan wujud keyakinan dan perasaan sudah sejak lama diyakini menjadi faktor utama dalam kepemimpinan. Bagi kebanyakan masyarakat kita, pemimpin haruslah sosok yang sempurna tanpa cela. Bahkan pemimpin harus bisa mengatasi setiap masalah. Setiap cela kesalahan, menjadi tanggung jawab pemimpin. Pokoknya semua disandarkan pada pimpinan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat kita, pemahaman seperti ini masih sangat kental dirasakan. Di Pekanbaru misalnya, ketika masalah sampah yang tiba-tiba menjadi sangat fenomenal. Hingga bencana alam di daerah lainnya. Permasalahan teroris dan yang santer baru-baru ini terkait masalah vaksin palsu.

Bagi sebagian masyarakat kita yang penganut paham keyakinan, kesalahan mutlak berada di tampuk pimpinan. Tak hanya pada level pimpinan pemerintahan, yang melibatkan masyarakat awam.  Bahkan di sebuah institusi pendidikan, yang notabene diisi para kaum intelektual pun bisa terjadi. Salah seorang pengajar pernah nyeletuk menanggapi maraknya aksi demo ke rektor, yang dirasakan sudah sangat menggangu dan terkesan nyeleneh. Mulai dari permasalahan satuan pengamanan (Satpam), permaslahan cleaning service (CS), permasalahan pengadaan alat tulis dan kursi, kesetaraan gender dan permasalahan-permasalahan administrasi di tingkat bawah. Sebagian masyarakat kampus menyalahkan rektor.

Walaupun permaslahan-permasalahan yang mengemuka tersebut sebenarnya lebih bersifat insidential dan tak terkait langsung dengan tampuk pimpinan. Namun bagi orang-orang dan kelompok penganut keyakinan, apapun permasalahan yang terjadi menjadi tanggung jawab penuh pimpinan tertinggi. Walaupun sudah ada unit-unit di bawah yang khusus dan bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut.

Sejalan dengan itu, Hendri Subaktio  dalam bukunya Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi, mengungkapkan, masyarakat yang fanatik buta dalam mengedepankan kepemimpinan keyakinan, akan sangat rentan dan sensitif dalam menanggapi penyimpangan politik yang kadang sengaja dilontarkan lawan politik penguasa. Terutama tentunya penyimpangan politik dalam bentuk mencai-cari kelemahan, atau bahkan sengaja melemahkan agar terjadi masalah-masalah yang tak diinginkan. Hal itu karena masyarakat penganut kepemimpinan yang semata mengedepankan  keyakinan, memandang pemimpin maha sempurna dan tak boleh salah.

Mungkin karena masih banyaknya anggapan demikian di masyarakat kita, setiap pemimpin maupun calon pemimpin dinegeri ini, seakan berlomba-lomba ingin mengambil hati rakyat. Dengan cara menunjukkan dialah yang paling hebat dan maha sempurna. Maka muncullah dalam istilah komunikasi politik, hal yang sering disebut dengan pencitraan. Parahnya, demi membangun citra, tak jarang mereka pun menafikan rasio.

Terlepas dari munculnya permaslahan-permasalahan tersebut berlatar belakang kepentingan penyimpangan politik dari lawan-lawan politik sang pemimpin atau tidak, sebagai rakyat kita mestinya mengakui, para pemimpin dan calon pemimpin itu hanyalah manusia biasa. Tak luput dari kesalahan dalam keterbatasan.

Hal ini jugalah yang sejak lama disadari oleh bangsa-bangsa yang telah maju. Bahkan di negara-negara Barat seperti di Amerika, banyak di antara masyarakat yang cenderung kebablasan sebagai pemuja rasio. Makanya tak heran ketika skandal seks mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan Monica Lewinsky mengemuka, sebagian besar masyarakat Amerika tak mempermasalahkan. Karena presiden juga manusia. Begitu kira-kira alasan masyarakat Amerika yang cenderung memandang kepemimpinan berdasarkan rasio.

Bahkan bagi kelompok yang semata memadang kepemimpinan harus berangkat dari rasio, justru melihat faktor kepemimpinan yang mengedepankan keyakinan sebagai sumber bencana terbesar bagi kemanusiaan. Contoh intervensi atas Irak. Di mana dalam sebuah wawancara dengan Presiden Amerika saat itu George Walker Bush dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair terungkap bahwa intervensi atas Irak di samping didasarkan informasi dan fakta yang ada, juga didasari keyakinan atas komunikasi dengan pencipta mereka. Hal itu ikut diperparah pendapat penganut rasio, bahwa bom bunuh diri juga mencerminkan sisi negatif suatu keyakinan.

Lalu pertanyaan besar yang sering muncul, apakah kepemimpinan berdasarkan hati atau rasio? Pertanyaan yang terkesan klasik ini sebenarnya tanpa disadari telah melahirkan dikotomi antara keyakinan dan rasio dalam memandang kepemimpinan. Pemisahan antara ranah keyakinan dan rasional kemasyarakatan merupakan sesuatu yang tak dapat dipungkiri terjadi di masyarakat kita saat ini. Konsekuensi logis yang acap kali muncul ialah proses mekanis (blac box) organisatoris, di mana keputusan terbaik yang diambil yaitu yang paling banyak menguntungkan masyarakat. Meski kadang belum tentu benar dan sesuai prosedur.

Idealnya, kepemimpinan harus bisa menyelaraskan antara keyakinan dan rasio. Bersumber pada ketersediaan sumber-sumber, akurasi informasi dan fakta serta derajat urgensi keperluan suatu asfek dalam masyarakat. Para pihak yang terlibat dalam kepemimpinan, harus sadar betul bahwa tak semua kepentingan masyarakat dapat dipuaskan.

Agar kepemimpinan dan pengambilan keputusan menjadi efektif, maka faktor rasional dan seni mengelola keyakinan menjadi vital. Di sisi lain bagi seorang pimpinan, simulasi sebab akibat suatu keputusan menjadi suatu hal yang lumrah dan mesti dilakukan. Hal ini bisa juga untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan protes atau pengurangan simpati dari pihak-pihak yang merasa tidak diuntungkan atas pengambilan keputusan.

Mengingat perubahan tata nilai dalam masyarakat kita dalam dasawarsa terakhir, tak hanya mencetak generasi baru yang matrealis, namun parahnya hilangnya unsur humaniora dalam pergaulan anak bangsa. Ukurannya, cenderung pada banyaknya materi yang dimiliki. Tak heran KKN menjadi subur, dan politik sikut kiri, sikut kanan dan injak yang di bawah seakan menjadi nilai baru. Wallahhualam bi shawab.

 

 

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu (20/07/2016)

redaksi@uin-suska.ac.id