web analytics

Puasa, Ecoreligio Culture dan Krisis Global (Husni Thamrin)

Fenomena krisis lingkungan yang terjadi, baik dalam lingkup global berakar dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh dalam lingkup lokal, kebakaran hutan yang terjadi secara massal dan berkepanjangan sepanjang tahun. Begitu juga penebangan liar dan perusakan ekosistem hutan yang terjadi hampir seluruh pulau di negara kita.

Pencemaran lingkungan yang telah akut, serta kerusakan lingkungan dan pencemaran sungai, danau dan laut serta berbagai krisis ekolologis lainnya yang sebenarnya merupakan perbuatan manusia. Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Ini sejalan dengan sejalan dengan pernyataan yang terdapat dalam Alquran Surat Al Maidah Ayat 42:

“Karena telah membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.  Yang demikian itu merupakan penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.”  (Alquran Surah Al Maidah Ayat 42)

Dalil Alquran di atas menjelaskan kerusakan ekologis dan krisis global umat manusia disebabkan prilaku atau pandangan hidup yang serakah. Tidak memperhatikan keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan Sang Khalik, sehingga manusia terjerembab ke lembah yang hina.

Orientasi hidup manusia yang cenderung pragmatis, materialistik, hedonistik juga sangat signifikan terjadi krisis dan dagradasi ekologis secara massal. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan ekologis secara massal  yang terjadi dunia saat ini. Pola pikir antroposentris  yang memandang alam sebagai bagian terpisah dari manusia dan paham antroposentris yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terjadinya kerusakan lingkungan.

Cara pandang  antroposentris yang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Di samping itu paham materialisme, hedonisme, sekuler, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan, baik dalam lingkup global maupun lokal.

Krisis  lingkungan yang terjadi saat ini  dalam global, sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksistensi planet bumi. Di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya.

Untuk menghadapi krisis lingkungan global dapat diatasi dengan mengubah pola pikir  (the way of life) manusia yang sekarang (antropocentrik) kepada cara pandangan manusia harus mampu mempuasakan diri dari mengekploitasi alam (eco-religio-culture) Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sains dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang diperlukan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya masyarakat luas.

Puasa  sebenarnya mempunyai pandangan (konsep) yang sangat jelas tentang konservasi dan penyelamatan lingkungan. Islam merupakan agama yang sangat mementingkan memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Allah. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan manifestasi dari keimanan seseorang. Artinya memilihara lingkungan manusia diberi pahala  dan merusak lingkungan mendapat dosa dan diberi sanksi surga atau neraka.

Dalam perspektif Islam manusia dipahami dan dihayati   sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh relasi yang harmonis dengan sesama manusia–alam-Allah dan mempunyai konsekuensi eskatalogis. Dalam penghayatan agama seperti itu, hubungan manusia–alam-Allah  selalu ingin mencari dan membangun harmoni di antara manusia, alam, Allah, yang sakral, atau ecorelegius dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Harmoni dan keseimbangan sekaligus juga dipahami sebagai prinsip atau nilai paling penting dalam tatanan eco-religio-culture  Ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Alquran:

“Allah yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang. Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang.”  QS. al-Mulk (67): 3

Pentingnya konsep ecoreligioculture yang  banyak terkandung dalam makna puasa yang sangat jelas ini tampaknya masih belum banyak dipahami. Apalagi dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku terhadap penyelamatan krisis lingkungan global  oleh sebagian besar umat Islam yang jumlahnya tak kurang dari sepertiga penduduk dunia.

Dalam ibadah puasa yang telah adalah sejak zaman Nabi Adam syarat dengan nilai-nilai  ecoreligio culture yang juga bersifat multidimensi substansial dan komprehensf dapat  digunakan sebagai landasan pola pikir dalam upaya untuk menjaga keharmonisan, dan kenyamanan umat manusia serta penyelamatan krisis lingkungan global. Selamat menjalan ibadah puasa.
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 29 Mei 2018