web analytics

Negarawan Versus Politikus (Prof. Dr. Samsul Nizar)

UNTUK  pertama kalinya, pilkada serentak untuk pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah di negeri ini akan dilakukan. Hanya saja, sebelum pelaksanaannya, menyimpan persoalan yang rumit terutama bagi KPU. Sebab, ada dua partai politik yang sampai saat ini belum jelas status kepengurusannya PPP dan Golkar. Perbedaan bukan hanya milik kedua partai tersebut, akan tetapi juga sangat berpotensi terjadi pada partai politik lainnya.

Terlepas dari berbagai dinamika high politic yang mewarnai iklim perpolitikan Tanah Air. Pilkada, pemilu atau pilpres sesungguhnya merupakan wujud demokrasi yang hidup di negeri ini. Tujuannya adalah memilih seorang pemimpin, baik dalam ruang lingkup kabupaten, provinsi, wakil rakyat, presiden atau bahkan pemimpin-pemimpin lain di suatu lembaga. Namun, setiap pelaksanaan dan pascapesta demokrasi digelar, masih menyimpan persoalan substansi yang jarang mengemuka. Persoalannya adalah apakah pesta demokrasi yang dilakukan mampu memilih dan menempatkan sosok negarawan atau politikus yang akan memimpin negeri ini. Suatu pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Sebab, pertanyaan ini akan mengantarkan pada suatu jawaban yang berkorelasi secara signifikan terhadap hasil kepemimpinan yang diamanahkan.

Secara substansi, tipikal sosok pemimpin yang negarawan dan politikus akan memiliki dampak yang berbeda. Tipikal sosok pemimpin yang berkarakter negarawan memiliki sifat mengayomi dan memikirkan masa depan bangsa untuk menitipkan kecemerlangan pada generasi yang akan datang. Sosok negarawan memiliki idealisme yang kokoh dengan harga diri yang terjaga. Kehadirannya bagai seorang “ayah” mengantarkannya menjadi sosok yang bijaksana dan berpikir visioner untuk membangun masa depan peradaban yang elegan kepada anak cucunya. Untuk mencapai visi ini, kehadiran sosok pemimpin negarawan senantiasa merangkul seluruh kekuatan (tanpa melihat perbedaan) untuk mencapai maksud yang dicita-citakan, yaitu kebahagiaan bagi seluruh umat. Seluruh tindakan dan kebijakannya berasal dari sebuah pemikiran dan pertimbangan yang matang. Kematangan pemikirannya terlihat dari pandangannya yang jauh ke depan untuk membangun kecemerlangan peradaban yang akan dititipkan pada generasi yang akan datang. Sosok negarawan yang teruji oleh zaman adalah seperti Rasulallah, Khalifaturrasyidin, atau Umar bin Abdul Aziz.

Seorang negarawan akan lebih meletakkan profesionalisme dan moral sebagai standar utama. Kebijakannya berangkat dari kepentingan kolektif  rakyat dan meminimalkan  dominasi kepentingan kolegial yang bersumber kepentingan dan dorongan kelompok. Sosok negarawan tak pernah berjanji pepesan kosong. Jika berjanji, janjinya adalahutang yang akan dipertanggung jawabkan secara vertikal dan horizontal. Baginya, amanah sebagai seorang pemimpin harus membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia dan makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Berbeda dengan tipikal sosok pemimpin politikus yang hanya memikirkan kepentingan sesaat demi tercapainya tujuan pribadi dan komunitas yang terbatas. Apatahlagi, meminjam istilah A Syafie Ma’arif, sosok “politikus rabun ayam” yang hanya melihat sesuatu yang berada di depan mata dengan jarak pendek, tapi tak mampu melihat sesuatu yang jauh ke depan. Pandangan tipikal pemimpin berkarakter politikus hanya mengedepankan diri dan kolegial promordial. Programnya hanya mampu menjadi lipstik yang memperindah tapi tak menyehatkan,  janjinya adalah buayan kata mutiara yang sulit diartikan dan direalisasikan , aktualisasi kerja yang dirumuskan hanya menguntungkan segelintir orang yang manfaatnya tak mampu menyeruak lebih luas, senyumnya merupakan bagian tebaran penderitaan bagi umat, kebijakannya hanya untuk membuai mimpi yang tak pernah terwujud dalam alam realita, politik yang diterapkan lebih mengedepankan “politik belah bambu”, dan penegakan supremasi hukum hanya menganut filosofi pisau bermata tunggal.

Secara ideal, partai politik sesungguhnya bukan menciptakan politikus, akan tetapi menciptakan negarawan melalui didikan kepartaian. Meski sosok negarawan tak mampu diciptakan secara instan. Eksistensinya hadir dalam proses dan waktu yang panjang. Dinamika melahirkan sosok pemimpin yang instan hanya akan menghadirkan pemimpin politikus yang berpikir instan dan dangkal.

Dengan berbagai persoalan yang mendera dan membelit ewajah negeri ini, sosok pemimpin yang berkarakter negarawan sangat diperlukan guna mengobati luka yang menganga dan kronis. Meski sosok negarawan tak bisa dilahirkan melalui proses instan, namun bukan berarti negeri ini kehilangan sosok “pemimpin negarawan”. Hanya saja persoalannya adalah pertama, apakah  sistem yang diterapkan dalam pesta demokrasi yang bertujuan “menghadirkan” sosok pemimpin yang negarawan mampu memberi peluang untuk negara ini dipimpin oleh sosok negarawan?

Kedua, apakah sosok pemimpin negarawan mampu muncul kepermukaan di tengah kuatnya arus yang menekan munculnya sosok negarawan? Ketiga, apakah umat kehilangan mimpi dan akal sehat sehingga lebih suka dipimpin oleh pemimpin yang berkarakter politikus yang menjanjikan “pepesan kosong” penuh warna dan buayan mimpi indah yang tak pernah  wujud di alam realita, dari pada sosok pemimpin negarawan yang berpikir keumatan dengan moral terjaga?

Agaknya sulit untuk melihat kecerdasan unat saat ini yang semakin labil dan serba instan dalam melihat dan ketidakmampuan membedakan antara sook pemimpin bekarakter negarawan atau berkarakter politikus. Benang kusut ini akan terurai tatkala seluruh elemen negeri ini  menjadi makhluk  cerdas dan bijak dalam memilih sosok pemimpin yang akan menakhodai perahu yang membawa umat ke mahligai, serta kesadaran calon pemimpin atas kualitas kepemimpinannya dan tipikal mana yang dominan pada dirinya.

Apakah tipikal pemimpin negarawan masih ada yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini, ataukah keberadaannya  masih embrio yang belum mampu dilahirkan oleh perut bumi negeri ini , ataukah sosoknya tak akan pernah lahir lagi karena tertelan oleh kuatnya gen tipikal politikus. Sungguh sangat sulit, bahkan mungkin lebih sulit dibanding mencari jarum di tumoukan jerami. Wa Allahu a’lam bissawab.

 

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin, 31 Agustus 2015

redaksi@uin-suska.ac.id