web analytics

Seruan kepada yang Hidup

Seorang penyair pernah menggubah syairnya: Laisa man maata fa -staraaha bi-mayyitin, innama l-mayyitu mayyitu l-ahyaa (Bukanlah mati itu orang mati lalu ia beristirihat (dengan kematiannya), tetapi mati yang sebenarnya adalah matinya orang-orang hidup).

Bait syair itu mengisyaratkan adanya orang hidup, namun pada hakikatnya dia sudah mati, alias mayit-mayit berjalan. Siapakah mereka?

Bila Anda pernah bertakziah ke rumah orang meninggal dunia dan melihat mayatnya terbujur kaku, Anda saksikan bahwa jenazah tersebut pasti tidak lagi menyahut bila dipanggil. Segala penyelenggaraannya tergantung pada orang hidup. Hal itu sudah biasa. Yang luar biasa adalah orang hidup tidak bisa menyahut panggilan atau seruan yang ditujukan kepadanya, sama seperti jenazah yang Anda lihat tadi. Inilah yang dimaksud dengan mayit-mayit berjalan itu.

Mereka ini bukan tidak memiliki telinga, cuma apa yang mereka dengar berlalu begitu saja seolah-olah dia tidak mendengar apa-apa. Mereka bukan karena tidak memiliki mata, tapi apa yang mereka lihat tidak berkesan apa-apa bagi mereka, seolah-olah mereka tidak melihat apa-apa. Hal tersebut terjadi karena sesungguhnya mereka telah mati, yakni mati akal kalbunya. Kalbu (al-qalb) adalah jantung buruk baiknya diri. Dalam potongan sebuah hadis Rasulullah SAW diingatkan: “Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu terdapat segumpal daging (mudghah) apabila baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila rusak ia, maka rusaklah seluruh tubuh, ingatlah! Itulah dia kalbu. (Muttafaqun ‘alaih)

Oleh sebab itu, hidup pada hakikatnya adalah hidupnya kalbu. Al-hayaatu hayaatu l-qalb, yakni yang dinamakan hidup itu adalah hidupnya kalbu. Allah SWT menyebutkan kalbu yang tidak responsif sebagai kalbu yang buta. Bukan mata kepalanya yang buta tetapi kalbu yang di dalam dadanya yang buta (Al-Hajj: 46.) Allah SWT juga mengumpamakan orang yang tidak aktif kalbu dan inderanya untuk menerima pelajaran yang baik sama dengan hewan bahkan lebih buruk lagi. (Al-A’raf: 179)

Saudaraku, di dalam kalbu yang hidup itulah letak dan tumbuhnya iman. Andainya kalbu seseorang sudah mati, maka iman tidak dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya. Maka tanda kalbu yang hidup ialah iman yang tumbuh dan semakin kuat. Sebaliknya iman yang semakin kuat adalah tanda kalbu yang hidup. Ketika beberapa orang Arab badui mengaku beriman, padahal Allah SWT tahu bahwa mereka belum beriman, Rasulullah SAW diminta untuk memberitahukan kepada mereka bahwa mereka belum beriman, dan mereka diminta untuk menyatakan ‘kami telah berserah diri” karena iman itu belum masuk ke dalam kalbu mereka. (al-Hujurat: 14.)

Lalu, bagaimana caranya agar kalbu itu hidup? Allah SWT mengisyaratkan kepada orang-orang Arab badui tadi untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, jika mereka menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah SWT tidak mengurangi sedikitpun pahala amal mereka.

Seolah-olah Allah SWT menegaskan bahwa dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, iman akan masuk ke dalam kalbu mereka. Lebih tegas lagi Allah SWT menyeru orang-orang mukmin yang lebih kurang maknanya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan panggilan Rasul bila ia menyeru kamu kepada sesuatu yang dapat menghidupkan kamu. (al-Anfal: 24.)

Segala seruan Allah SWT dan Rasul-Nya berupa perintah dan larangan pastilah selalu mengandung sesuatu yang dapat menghidupkan umat manusia yang beriman. Terutama menghidupkan kalbunya, meningkatkan kualitas hidupnya serta memeliharanya. Demikianlah seruan Allah SWT untuk memperkuat iman, mendirikan salat, berpuasa pada bulan Ramadan, membayar zakat, dan menunaikan haji, serta segala tuntunan syariat lainnya merupakan seruan kepada yang hidup. Apabila seruan tersebut tidak direspon dengan baik,maka hal itu adalah pertanda kematian, yakni mati kalbunya.

Seruan Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk mengerjakan puasa pada bulan Ramadan umpamanya tentulah akan direspon dan dipenuhi oleh orang yang hidup guna memperbaiki kualitas kehidupannya. Betapa banyak tausiah, ceramah, diskusi, dan siaran yang menjelaskan hikmah puasa pada saat-saat bulan Ramadan seperti saat ini. Semuanya itu pada intinya menjelaskan manfaat puasa bagi yang menjalaninya, baik jasmani, maupun rohani. Namun bila telinga tidak lagi bisa mendengar, mata tidak lagi melihat, dan kalbu tidak lagi dapat merespon dan memahami segala seruan itu untuk dilaksanakan dalam tindakan dan perbuatan nyata, orang-orang seperti itulah mayit-mayit berjalan. Na’udzu billahi min dzalik.

Dimuat di Riau Pos Edisi Selasa (14/06/2016)