web analytics

Deontologi Pilkada

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 berlangsung di 101 daerah di seluruh Indonesia. Ada 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten yang menggelar pilkada di tahun  ini. Di Provinsi Riau, dua daerah yang berbatasan langsung yakni Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar bersama daerah lain di Indonesia, baru saja usai menggelar pemungutan suara. Dari hitung cepat maupun pleno rekapitulasi, tentu sudah dapat ditebak siapa yang akan memimpin dua daerah yang memiliki penduduk terbanyak di Provinsi Riau ini.

Pilkada selalu punya cerita. Dia tidak bebas konflik, bahkan selalu menuai banyak konflik di dalamnya. Kita bersyukur di daerah Riau tidak seperti daerah lain semisal Aceh yang dalam catatan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memiliki 26 kasus terkait pilkadaberupa kekerasan fisik, perusakan alat peraga, penembakan, dan pelemparan granat. Kita juga patut bersyukur bahwa pilkada di dua daerah di Riau tidak seheboh pilkada DKI Jakarta yang mengundang perhatian publik seantero negeri karena ulah para kandidat dan pendukungnya. Namun demikian tetap saja ada riak-riak konflik yang terjadi di antara kalangan tim pemenangan yang satu dengan yang lain, hal tentu harus mendapat perhatian untuk diselesaikan oleh pihak terkait apakah itu penyelenggara atau aparat penegak hukum.

Konflik merupakan wujud dari partisipasi warga negara untuk menentukan hak politiknya dalam pemilu yang sedang berlangsung. Partisipasi dalam pemilu sesungguhnya tidak bisa diukur hanya dari jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara dan menggunakan hak pilihnya, tetapi lebih dari itu, partisipasi harus dilihat secara jernih dengan melihat peran yang dimainkan warga negara dalam pemilu terhitung sejak tahapan pertama pemilu dimulai sampai semua tahapan selesai. Namun demikian kita tentu berharap bahwa partisipasi yang berjalan adalah yang sesuai dengan konstitusi, taat kepada etika, dan menjaga perdamaian, sesuatu yang ideal meski sulit untuk diwujudkan.

Jika kita telaah lebih dalam, sesungguhnya konflik dalam pilkada adalah hal yang biasa terjadi. Sejak pemilu pertama digelar di negeri ini sampai pilkada masa kini, perselisihan yang terjadi baik antar kandidat yang bersaing, maupun konflik bahkan kekerasan horizontal di tengah masyarakat akibat ketidakpuasan terhadap berbagai manuver politik yang dilakukan oleh kandidat dan pendukung kelompok lain jamak terjadi. Di satu sisi konflik menjadi bunga-bunga dan kekhasan dalam demokrasi kita, namun demikian dia juga menjadi potret buruk rupa dalam wajah yang tak indah untuk dipandang mata, terutama di mata dunia luar.

Robert Dahl (1989) mengatakan bahwa demokrasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat lokal. Demokrasi di tingkat lokal sesungguhnya menjadi cermin kekayaan Indonesia Hadenius (1992) mengatakan bahwa suatu pemilu, termasuk pilkada langsung, disebut demokrasi kalau memiliki makna dengan merujuk tiga kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3) keefektifan pemilu. Kriteria tersebut harus dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, melainkan juga sewaktu dilakukan kampanye dan perhitungan suara.

 

Deontologi Pilkada

Andre Ata Ujan (2009) berpendapat, ketegangan antara kepentingan individu dan kelompok, dan kepentingan umum akan tetap hadir dalam kehidupan bersama sebagai komunitas politik. Hukum sebagai lembaga normatif seharusnya tidak bertentangan dengan nilai yang dianut dalam masyarakat. Pertimbangan etika menjadi penting ketika tindakan membawa dampak tidak hanya bagi pelaku tetapi juga bagi manusia lain.

Etika deontologi adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata deontologi berasal dari Yunani yakni deon berarti ‘kewajiban yang mengikat’ dan logos berarti “pengetahuan”. Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. Soni Keraf (1998) menuturkan dalam etika deontologi, suatu tindakan yang baik itu bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari akibat yang akan didapatnya kelak. Prinsipnya Deontologi menekannkan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat dari pelaku. Maka dalam menilai seluruh tindakan, kemauan berbuat baik (good will) harus selalu diletakkan paling pertama dalam setiap tindakan.

Berkaitan dengan pelaksanaan pilkada di negeri ini, maka sepatutnya aspek moral deontologi dilakukan dalam setiap tahapan, tanpa memandang hasil dari perbuatan baik yang dilakukan itu atau menimbang bahwa hal itu diatur dalam konstitusi pemilu atau tidak.Beberapa kewajiban yang menurut hemat penulis patut dan layak untuk dilakukan oleh semua pihak dalam pilkada adalah: Pertama, semua pihak harus memahami peraturan dan perundangan dengan baik dan benar. Hal ini tentu tidak hanya berlaku bagi penyelenggara baik KPU dan Panwaslu tetapi juga para kandidat, tim pemenangan, aparat hukum, dan masyarakat luas. Kewajiban memahami hukum menjadi awal dari perbuatan untuk menaati hukum, karena banyak sekali pelanggaran yang terjadi bermula dari minimnya pengetahuan para kandidat, massa pendukung, bahkan penyelenggara terutama di tingkatan paling bawah dalam hal penyelenggaraan pemillu. Dengan memahami hukum, maka kandidat, para pemilih, dan penyelenggara dapat memahami hak dan kewajibannya, serta pola mana yang bisa dilakukan dalam semua tahapan pemilu yang sedang dan akan dilalui.

Kedua, setelah memahami aspek hukum atau aturan dalam pilkada, kandidat dan pemillih, serta penyelenggara dapat menjalankan apa yang diwajibkan dalam pilkada dan menahan diri dari hal-hal yang dilarang. Jika dilarang untuk melakukan kampanye hitam maka tidak usah melakukan hal itu. Pun demikian jika dilarang merusak alat peraga kampanye pihak lain, maka hal itu jangan dilakukan, apalagi sampai membenturkan warga yang satu dengan yang lain dengan isu-isu yang memecah belah, tentu tidak pantas dilakukan oleh kandidat dan pendukungnya. Hal yang sama juga berlaku bagi penyelenggara, jika dalam aturan dilarang untuk berpihak, atau menguntungkan salah satu kandidat baik tersurat (nyata) maupun secara tersirat (tidak nyata atau diam-diam) maka hal itu juga jangan dilakukan.

Ketiga, bagi kandidat beserta timnya, sepatutnya jujur menceritakan siapa kandidat mereka, apa saja programnya yang bisa diukur, serta tidak menjual mimpi yang muluk-muluk kepada masyarakat. Kejujuran di sini juga menjadi kewajiban moral dalam mengisahkan jejak rekam kandidat, soal kerja dan latar belakang di masa lalu, serta berapa harta kekayaannya, sesuatu yang kadang banyak disembunyikan oleh kandidat dan pendukungnya. Kejujuran memang sesuatu yang mahal harganya, bahkan banyak kisah orang jujur kemudian tragis dan bahkan tidak terpilih.Namundemikian memulai demokrasi dengan kejujuran, merupakan sebuah kebaikan. Apalagi di zaman saat ini semua pihak bisa mengetahui mana yang tulus mana yang modus, mana yang ikhlas dan mana yang culas. Para pemilih bisa menemukan dengan cara mereka sendiri informasi pribadi yang mungkin ditutup rapat oleh kandidat.

Keempat, kemandirian dalam penegakan hukum. Kemandirian di sini adalah bahwa penegakan hukum bebas dari intervensi baik melalui tangan kekuasaan, pertemanan, dan menerima janji dari kandidat yang bertarung. Dalam konteks ini para penegak hukum pemilu baik dari KPU, Panwaslu, aparat hukum semisal polisi sampai hakim di peradilan pemilu harus tegas. Pihak  yang bersalah dihukum, yang tidak bersalah dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya. Hukum harus tegak di atas kebenaran yang hakiki. Hitam katakan hitam, dan putih katakan putih. Jangan sampai dalam pilkada memunculkan aktor penjahat kerah putih yang disebut oleh krimolog Kanada, Ezzat E Fattah (2004) sebagai the Unreachable yakni pelakukejahatan yang berkekuasaan (formal dan informal) yang cukup besar dan sulit dijangkau tangan hukum. Penegak hukum harus berkomitmen, tidak membiarkan kesalahan-kesalahan terjadi sembari berkata menunggu laporan, jika ada indikasi pelanggaran sebaiknya ditindak tanpa menunggu ada yang melapor.

Kelima, independensi media dan keterbukaan informasi terhadap semua proses pemilu sehingga tidak ada informasi yang ditutupi. Media massa dan lembaga survey memegang peranan penting bagi tegaknya informasi pemilu yang benar di masyarakat. Keberpihakan media kepada salah satu kandidat tentu menjadikan informasi yang tidak seimbang, yang pada akhirnya akan muncul ketimpangan pemberitaan terhadap salah satu kandidat dibandingkan dengan kandidat lain. Media massa haruslah berpihak kepada kebenaran dengan senantiasa kritis terhadap semua informasi dan mencari lapis kebenaran itu setiap hari. Di sini media termasuk lembaga survey juga diuji untuk senantiasa berkata jujur dan benar sesuai dengan etika jurnalistik dan kebenaran survey, karena hal itu bisa memengaruhi opini publik. Jurnalisme apapun mediumnya tetap harus menganut standar yang benar-benar berpihak kepada kepentingan publik bukan kepentingan kandidat, kelompok atau kalangan tertentu.

Keenam, senantiasa melakukan verifikasi. Warga masyarakat sebaiknya tidak langsung percaya informasi yang beredar di kala pilkada, apalagi yang memecah belah warga melalui media sosial dengan senantiasa menajamkan perbedaan-perbedaan yang bisa meruyak menjadi konflik horizontal. Merebaknya berita hoax di kalangan warga, salah satu penyebabnya karena begitu mudahnya warga terpedaya dengan judul berita sensasional dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Verifikasi menjadi kewajiban warga agar mendapat informasi yang benar dengan melakukan pemeriksaan setiap detail informasi yang sampai kepada mereka, sehingga ada filter mana informasi yang benar dan mana informasi yang menyesatkan.

Ketujuh, menjadikan pilkada sebagai sarana silaturahmi. Perbedaan haruslah disikapi dengan arif dan merupakan sesuatu yang fitrah terjadi dalam kehidupan manusia.  Insan-insan yang terlibat dalam pemilu harulsah menjaga harmoni dalam pergaulan sehari-hari, bukan euforia yang hura-hura tanpa kontrol diri. Kewajiban menjaga diri atau menjaga harmoni menjadi sesuatu yang dulu selalu terjadi bahkan menjadi ciri pergaulan warga, namun kini dia asing di negeri ini. Pilkada tak jarang jadi alasan untuk tidak bertegur sapa, saling sindir, saling ejek, dan bahkan ajang caci maki antarkandidat dan para pendukungnya yang muaranya adalah tindakan destruktif terhadap semua sendi kehidupan bernegara.

Kedelapan, menggandeng pihak yang kalah dalam pilkada sebagai mitra, bukan sebagai musuh yang harus disingkirkan. Pihak yang kalah juga memiliki ide dan keinginan yang sama untuk membangun daerah, paling tidak sumbang saran dan olah fikir mereka berguna juga buat sang pemenang dalam membangun daerah. Kewajiban menggandeng kandidat tentu tidak hanya sekedar pemanis bibir saja, tetapi haruslah diwujudkan dengan senantiasa meminta masukan dari mereka, termasuk menerima kritik yang tajam sekalipun.Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang tidak anti kepada kritik, karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang senantiasa terbuka kepada setiap kritikan dan masukan.

Kesembilan, menghargai kemenangan orang lain. Bagaimanapun dalam even demokrasi seperti pilkada selalu ada konsekwensi logis yang harus diterima yakni ada yang menang dan kalah, semua pihak harus bisa menerima hal itu. Kewajiban moral ini haruslah dipahami dan dilaksanakan oleh semua kandidat beserta para pendukungnya. Jangan membuat tindakan destruktif yang bisa mengubah wajah demokrasi dengan hal-hal yang tidak baik. Jika tidak puas ada jalan yang elok, yakni melakukan gugatan ke pengadilan pemilu untuk diproses dan diputuskan oleh pihak yang berwenang, dan jika semua jalan sudah ditempuh dan gugatan ditolak, maka haruslah menerima dengan ikhlas apa yang terjadi.

Kesepuluh, menghargai kekalahan orang lain. Kandidat yang memenangkan pemilihan umum sebaiknya juga tidak menjadikan kemenangan sebagai kesenangan atas kekalahan orang lain. Adalah menjadi kewajiban bagi para kandidat dan para pendukung untuk tidak berpesta dengan hura-hura atau bahkan mengejek kandidat dan pendukung yang kalah, sehingga bisa membuat sakit hati kandidat dan pendukung yang kalah itu. Jadikan kemenangan sebagai amanah yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, bersyukur atas kepercayaan yang diberikan rakyat, dan segera tunaikan janji-janji yang dulu diucapkan ketika masa kampanye.

Kesebelas, menjadikan pilkada sebagai sarana untuk mendapatkan pemimpin yang amanah. Bagi pemilih harus memiliki perhatian untuk senantiasa merekam dan menagih janji-janji kandidat yang dulu diucapkan ketika kampanye, sehingga janji tidak hanya tinggal janji dan hilang begitu pilkada usai. Para pemilih punya kewajiban moral untuk mengawal kandidat terpilih dalam setiap tindakan dan kebijakan yang akan diambilnya dalam membangun daerah, tidak tinggal diam, setelah pilkada usai semua dianggap selesai. Pemilih dan kandidat sesungguhnya diikat oleh kontrak kerja seperti perusahaan yang pemilik saham mayoritasnya adalah rakyat dan kandidat terpilih menjadi direktur utama. Pemegang saham punyak hak untuk mengkritisi, mengevaluasi bahkan kemudian mengganti direkturnya jika dipandang tak lagi mampu untuk membawa perusahaan kepada arah yang lebih baik dari sebelumnya.

Deontologi pilkada tentu bukan hal yang mudah dilaksanakan seperti membalik telapak tangan.Apalagi dalam setiap even politik selalu ada semboyan tidak ada benar salah, yang ada hanyalah menang kalah, hal yang sudah pasti mengesampingkan aspek moral dalam perilaku politik. Namun demikian bukan tidak mungkin hal di atas bisa dilaksanakan. Pemusatan kepada kewajiban dan tanggung jawab tentu menjadi nilai untuk dipertimbangkan dalam tindakan para kandidat, pendukung, penyelenggara, media massa, aparat penegak hukum dan pemilih dalam pemilu. Jika hal itu ditunaikan dengan baik maka kita berhak untuk memperoleh pemilu yang tidak hanya aman dan damai, tetapi juga jujur dan berintegritas. Semoga!

 

 

Mustafa, S.Sos., M.I.Kom.

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau