web analytics

Awal Ramadan dan Hari Raya Otoritas Siapa? (Ahmad Masy’ari)

Dosen Hukum Islam UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Banyak ritualitas dalam Islam yang keabsahannya sangat ditentukan oleh waktu. Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan Ramadan maupun Hari Raya Idul Fitri, termasuk Idul Adha sering terjadi polemik. Polemik ini terjadi pada beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Beberapa organisasi di antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara independen metodologi yang diyakini kebenaran, validitas, dan akurasinya, namun ada juga yang menunggu jadwal yang ditetapkan oleh pemerintah, karena pihak yang dianggap memiliki otoritas penuh dalam penentuan awal Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri adalah pemerintah (Kementerian Agama RI).

Masyarakat dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat lembaga-lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda. Perbedaan tersebut mengakibatkan masyarakat akhirnya terombang-ambing, kapan harus mengakhiri atau meneruskan puasanya. Belum lagi masyarakat harus mempersiapkan segala keperluan terkait dengan persiapan pelaksanaan Salat Idul Fitri dan lainnya. Di Indonesia, tercatat beberapa kali perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah. Di antaranya pada tahun 1997, 1998, 2007 2011, 2012, 2013, dan 2014.

Terjadinya perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia dikarenakan masyarakat ataupun ormas-ormas Islam tidak sepenuhnya menyerahkan permasalah tersebut kepada pemerintah. Tidak seperti persoalan perkawinan, zakat, wakaf, dan haji yang masyarakat percaya untuk menyerahkan persoalan tersebut kepada pemerintah, namun tidak untuk persoalan penetapan awal bulan ini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak totalitas menyerahkan permasalahan tersebut kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama. Padahal, masyarakat dan ulama sudah sepakat untuk menyerahkan persoalan keagaman kepada pemerintah, kemudian pemerintah menunjuk Kementerian Agama untuk mengemban amanah tersebut. Kementerian Agama pun di dalamnya terdiri dari para ulama, cendekiawan,dan para ahli di bidangnya.

Bermula dari persoalan yang seringkali muncul di kalangan umat Islam itulah, akhirnya semua organisasi Islam juga mempunyai kebebasan untuk berpendapat dalam hal tersebut. Dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan, karena masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah ”mengantongi” legalitas agama. Sebuah realita yang sangat disayangkan, bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi pendapat awal bulan Ramadan, Syawal, dan Idul Adha?

Memang organisasi keagamaan selama ini masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap ada semacam kompetisi, sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Namun kadang tidak jarang karena perbedaan-perbedaan tersebut, timbul gesekan-gesekan di masyarakat. Masing-masing individu menganggap benar apa yang diputuskan oleh ormas yang diikutinya dan menganggap salah terhadap yang lain.

Inilah sebuah problem yang tentunya memerlukan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berpikir partikular dan parsial yang dapat menciptakan pola berpikir multidimensional dan komprehensif.

Faktor Perbedaan Metodologi
Penyebab utama terjadinya perbedaan penentuan awal bulan Qamariyah adalah karena berbeda dalam memahami hadis Nabi  yang berbunyi: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal (anak bulan), dan berhari rayalah kalian karena melihat hilal. Jika pemandangan kalian tertutup oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban 30 hari.” (HR Al-Bukhari, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

Kata rukyah dalam hadis di atas menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga melahirkan metode-metode yang berbeda pula dalam penetapan awal bulan Qamariyah. Setidaknya muncul dua aliran besar. Pertama, aliran rukyah, yaitu aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyah dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (magrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (magrib) waktu setempat telah memasuki bulan baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat, maka awal bulan ditetapkan mulai magrib hari berikutnya. Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung, sebagaimana yang dipakai oleh Nahdhatul Ulama (NU). Kedua, aliran hisab, yaitu penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Muhammadiyah.

Ikut Pemerintah atau Ormas?
Terlepas metode mana yang benar, kondisi ini tentu amat memprihatinkan, sebab puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha sesungguhnya bukan sekadar fenomena ibadah ritual, melainkan juga fenomena syiar persatuan umat. Umat Islam adalah umat yang satu (ummatan wahidah), termasuk dalam hal mengawali puasa dan berhari raya.

Di zaman Rasulullah Saw, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadan. Dia harus melapor kepada Rasulullah, lalu beliau yang nanti akan memproses kesimpulannya. Ketuk palu ada di tangan Rasulullah, dalam kapasitas beliau sebagai penguasa yang sah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar: “Orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi Saw bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR Abu Daud dan al-Hakim). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seorang Arab Badui datang kepada Nabi Saw dan melapor: “Aku telah melihat hilal.” Rasulullah Saw bertanya: ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?” Dia menjawab, ”Ya”. Nabi berkata: ”Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk mulai berpuasa besok.” (HR At-Tirmizi dan An-Nasa’i). Demikian juga di masa-masa berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadan, berkewajiban melapor kepada ulil amri (pemimpin). Lalu ulil amri yang akan mengumumkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan. Itulah yang telah berlaku selama kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa ketika memulai awal Ramadan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau berdasarkan kelompok kecil-kecil.

Segala macam perbedaan (ikhtilaf) dalam penetuan awal Ramadan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati. Dalam sejarah Islam, pihak itu adalah ulil amri atau pemerintah. Salah satu tugas pemerintah adalah menjadi penengah dan berwenang menetapkan jatuhnya awal Ramadan. Meskpuni ada sekian banyak kajian dan perselisihan para ahli di dalamnya, namun kata akhir kembali kepada pemerintah.

Adanya sikap saling menghargai dan toleransi yang dimiliki umat Islam atas adanya perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah, sangatlah diperlukan. Akan tetapi, sikap tersebut harus diikuti oleh ikhtiar konkret untuk melakukan upaya pendekatan menuju kesatuan dan penyatuan umat. Masalah penetapan awal bulan, dimungkinkan akan terjadinya perbedaan akibat perbedaan metode yang digunakan. Namun persoalan tersebut termasuk dalam kategori fiqh ijtima’i (ketentuan fiqih yang memiliki dimensi sosial), sehingga membutuhkan pengaturan ulil amri untuk kepentingan ketertiban. Karena itu, dalam hal penetapan awal puasa dan hari raya, campur tangan pemerintah sangatlah diperlukan. Di Indonesia, peranan pemerintah (ulil amri) pada dasarnya sudah teraplikasikan melalui Kementerian Agama Republik Indonesia. Kementerian Agama dalam hal ini bertindak sebagai representasi pemerintah dalam menetapkan awal bulan. Namun realita di lapangan, keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah (Kementerian Agama) tidak sepenuhnya bulat dilaksanakan oleh semua golongan masyarakat. Padahal dalam kepanitiaannya melibatkan seluruh ormas-ormas besar Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, DDII, dan lembaga-lembaga ilmiah seperti Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dan Observatorium Boscha. Dalam Alquran telah disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu… (QS. An-Nisa’: 59). Dengan memperhatikan kandungan hukum dari ayat tersebut, pemerintah dalam hal perintahnya wajib dipatuhi dan dilaksanakan, selama perintah tersebut tidak menyuruh kepada kemungkaran.

Ayat di atas dijustifikasi dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: Hukmu al-hakim ilzam wa yarfa’u al-khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat). Dengan demikian, berpijak dari ayat Alquran dan kaidah fiqih di atas, masalah-masalah keagamaan yang mempunyai relasi dengan urusan sosial kemasyarakatan, pemerintah berhak ikut campur dan memutuskan. Keputusan tersebut pada dasarnya bersifat memaksa (binding/ilzam). Usaha pemerintah untuk menciptakan mashlahah ini memiliki relevansi dengan metode siyasah syar’iyyah, yaitu kebijakan penguasa (ulil amr) yang menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang lain: Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah (Kebijakan pemimpin untuk rakyatnya bertujuan untuk kemaslahatan).

Lagi pula dalam metode pengambilan keputusan, Menteri Agama tidak serta merta menetapkan sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi melalui musyawarah dengan peserta rapat dengan mempertimbangkan saran atau masukan dari peserta sebelumnya. Kemudian pemerintah menyimpulkan dari hasil musyawarah dan menawarkan kembali kepada peserta sidang, jika semua peserta satu pendapat (tidak ada perbedaan), maka pemerintah menetapkan sebagaimana hasil musyawarah tersebut. Namun jika terjadi perbedaan pendapat, maka suara mayoritas adalah suara yang dipertimbangkan untuk diambil pendapatnya guna dijadikan sebuah ketetapan.

Oleh sebab itu, keputusan pemerintah dalam penetapan awal bulan Qamariyah memberikan manfaat berupa kejelasan terhadap permasalahan penetapan awal bulan Qamariyah. Selanjutnya dalam keputusan pemerintah tersebut juga membawa kemaslahatan berupa persatuan dan kesatuan umat. Dengan mengikuti ketetapan pemerintah, maka tidak akan ada lagi perbedaan penetapan awal bulan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai sebuah lembaga yang menjadi rujukan umat Islam di Indonesia juga sangat memperhatikan permasalahan perbedaan hari berpuasa dan berlebaran yang selalu saja terjadi hampir setiap tahun di Indonesia. Pada tahun 2004, MUI telah memfatwakan bahwa Pemerintah RI dalam hal ini diwakili oleh Menteri Agama diberi kewenangan untuk menetapkan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha. Kemudian dalam fatwa Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah ini juga disebutkan bahwa seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News

Dikutip dari RiauPos Edisi Sabtu, 27 Mei 2017