web analytics

Nilai-nilai Psikoterapi Tawakal (Prof. Dr. Kahirunnas Rajab)

Guru Besar Psikologi Agama UIN Suska Riau

 

Tawakal, wakil, mutawakil bermakna berserah diri, mewakilkan, dan menyerahkan diri kepada Tuhan setelah melaksanakan aktivitas, berbuat, bertindak, dan berperilaku. Orang yang berserah diri kepada Tuhannya, disebut bertawakal, mutawakil. Bertawakal dengan menyerahkan diri kepada Tuhan artinya, menghimpun aktivitas, bekerja sekuat tenaga, beribadah secara ikhlas, dan berjuang mencapai sesuatu yang bermanfaat, untuk seterusnya menye­rahkan secara utuh atas hasil yang diperoleh, positif maupun negatif.

Mazhab Jabariyah an-sich mazhab kalam memaknai tawakal sebagai sesuatu jabari yang harus diterima apa adanya. Tawakal hanya bagian penyerahan pada takdir Tuhan yang tidak mendapat pengaruh dari aktivitas, perbuatan, tindakan, dan perilaku manusia. Manusia berbuat, bertindak, dan berperilaku adalah bagian daripada kemauan dan kehendak Tuhan, individu hanya melakukan sesuatu atas dorongan keinginan Tuhan. Manusia hanyalah seperti wayang yang digerakkan dalang. Tawakal dalam perspektif mazhab al-Asy’ariyah berbeda dengan yang dipahami kaum Jabariyah. Bagi al-Asy’ariyah bertawakal hanya dapat disifati seorang individu setelah sebelumnya ia sudah berusaha, berupaya, dan berikhtiar yang maksimal, untuk seterusnya berdoa agar supaya perbuatannya memperoleh ganjaran, manfaat, dan manifestasi positif bagi dirinya, orang lain,  dan alam sekitarnya. Lain lagi dengan Mu’tazilah yang memandang perbuatan, tindakan, dan perilaku individu sebagai manifestasi rasional dari upaya dan usahanya sendiri, tanpa campur tangan Tuhan sedikitpun dalam menentukan garis kehidupan manusia. Oleh karena itu perbuatan, tindakan, dan perilaku individu adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia, untuk menghasilkan kehidupannya yang lebih baik. Manusia haruslah berbuat, bertindak, dan berperilaku secara rasional, untuk meraih kehidupan, menjadi seorang kaya atau memilih hidup miskin dengan bermalas-malasan, tanpa usaha. Dalam mazhab kalam Mu’ tazilah istilah tawakal hampir tidak dibincangkan, terutama berkaitan dengan tasawuf; dalam kehidupan para salikin.

Tawakal merupakan perisai yang mempertahankan, mengendalikan dan mengubah kegagalan menjadi peluang dan hikmah-hikmah kehidupan. Tawakal yang dapat mengubah tantangan menjadi peluang adalah tawakal di bawah kendali kesadaran intuitif bersama lathifah ruhaniyah rabbaniyah, bahwa Allah SWT merahmati, memberkati, dan memberikan yang terbaik untuk ketaatan, kesalehan, dan peribadatan yang diperbuat mutawakili. Peluang yang dilahirkan dari kepribadian mutawakili adalah harapan-harapan yang menjamin maslahat-maslahat positif yang wujud dalam simpul-simpul kebaikan dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Ke-Mahaan Ilahiyah yang terhimpun dalam asma’ dan sifatullah yang Mutawakil membuka ruang dan pintu-pintu kebaikan yang tiada diduga. Individu bertawakal yang menyadari dengan segenap pikiran dan perasaan, seyogyanya wujud dalam kesempurnaan yang bukan sekadar harapan, bahkan meluaskan rahasia-rahasia kehidupan yang tidak dimiliki orang lain. Orang yang bertawakal adalah individu yang hidup dalam kelapangan-kelapangan yang muncul dari pintu-pintu menuju Tuhan, yaitu Allah SWT. Orang-orang bertawakal yang senantiasa berada di pintu-pintu menuju Tuhan, hanyalah individu yang selalu dekat kepada Tuhan melalui zikir lisan,  zikir qalbu, dan zikir fikir. Allah menjelaskan, siapa yang berpaling dari mengingat-Ku (berzikir), maka baginya kehidupan yang sempit, sedangkan ia akan dihimpun di hari kiamat dalam keadaan buta, (QS Thaha: 124).

Manusia, pastilah mengharungi hidup yang terkadang suka, duka, senang, sengsara, kaya, miskin, berharta, bermartabat, bertahta, jelata, dan papa. Sebagian dari individu menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Di sisi lain dari kehidupan kemanusiaan tidak jarang diliputi rundung, seolah tidak berkesudahan; hidup dalam kesulitan, kesedihan, dan kepedihan yang silih berganti. Ada juga individu yang hidup dalam batasan-batasan yang terlihat wajar dan normal. Tetapi inilah kehidupan di dunia yang akan dijalani umat manusia, ada tantangan, rintangan, dan hambatan. Hidup kemanusiaan di dunia, memang tidak tanpa ujian dan cobaan, bahkan tidak seorangpun yang luput keduanya. Allah pasti akan menguji siapapun dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, buah-buahan (QS Al-Baqarah: 155), bahkan Allah tegaskan, apakah kamu mengira bahwa akan masuk syurga yang sebelumnya belum diuji (QS Al-Baqarah: 214).

Setidaknya ada tiga jenis cobaan dan ujian yang dapat menghadang manusia selama hidup di dunia yaitu:

Pertama, individu yang berada dalam ke­senangan. Orang yang hidup dalam kesenangan adalah ujian terberat dalam kehidupan kemanusiaan. Individu yang hidup dalam kesenangan, memiliki kekayaan yang berlimpah, rumah, mobil mewah, fasilitas serba ada, pembantu yang banyak, tukang kebun, dan semua dipunya. Apabila ia lalai dan pongah terhadap kesenangan yang dimiliki ini, maka sesungguhnya ia sudah berpaling dari peringatan Allah Ta’ala dan berada dalam kehidupan yang sempit. Orang seperti ini adalah deskripsi Qorun moderen yang harta membuatnya angkuh dan sombong. Realitas ini memperburuk hubungan vertikalnya dengan Tuhan, menipisnya hubungan kemanusiaan, mengikis kebaikan-kebaikan dirinya, mengungkung keniscayaan-keniscayaan, serta membelenggu maslahat-maslahat bagi dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Orang yang hidup serba kecukupan dengan tanpa kesadaran bahwa semuanya adalah titipan al-Razzaq Allah SWT, maka kehidupan batinnya dirundung malang, sekalipun pada realitas nyata ia terlihat seperti orang yang serba punya, namun hakikat hatinya gersang dan berada dalam kegalauan dan gangguan hebat.

Kedua, individu yang diberikan ujian dan cobaan dengan datangnya kesulitan. Individu yang mendapat kesulitan bisa saja berupa kekurangan harta, miskin, dan ditimpa bencana, seperti bangkrut, kematian, dan sakit yang sulit untuk sembuh, kecelakaan, dan lain sebagainya. Orang yang ditimpa musibah, se­ringkali dihantui bayang-bayang kecurigaan dan ketidakadilan yang dihubungkan pada keyakinan pada Tuhan. Kekeliruan dan kecelaruan berpikir spekulatif seperti kecurigaan dan menganggap Tuhan tidak adil dapat memperburuk kondisi batin, sehingga sulit untuk dipulihkan. Tawakal menawarkan kepada individu suatu kelaziman dan kebia­saan, agar setiap orang yang mengalami dan ditimpa musibah segera berserah diri kepada Tuhan. Bertawakal dalam pengertian ini dapat menjadi energi inovatif yang menyegarkan bagi kejiwaan, di mana individu menemukan sesuatu yang berharga bahwa semua yang  dimiliki adalah titipan yang bisa kembali kapan saja kepada Tuhannya. Apabila kesulitan dapat dikonversi menjadi energi positif, maka tawakal adalah model yang tepat untuk diaplikasikan. Musibah, seperti jatuh miskin, sakit yang sulit sembuh, dan kematian keluarga yang disayangi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kemanusiaan. Apabila musibah yang menimpa diri, lalu kemudian dibarengi dengan keimanan yang kuat, di mana ia berserah diri kepada Tuhannya dengan penuh kesadaran, maka tawakal adalah metodologi dalam mewujudkan kepribadian dan kesehatan mental.

Ketiga, individu yang ditimpa ujian kegelisahan. Kegelisahan adalah ujian kejiwaan dan kepribadian individu. Kegelisahan dapat menghinggapi siapapun dari anak Adam. Manusia diciptakan berkeluh kesah, selalu mengeluh, dan tidak pernah puas dengan perolehan dan nikmat Tuhan. Kegelisahan, kecemasan, dan kegalauan merupakan ujian dan cobaan yang tidak dapat dihindarkan siapapun. Dalam psiko spiritual Islam;  kegelisahan, kecemasan, dan kegalauan adalah bagian kejiwaan yang membutuhkan terapeutik intensif. Individu yang bertawakal; berserah diri kepada Tuhan atas kegelisahan, kecemasan, dan kegalauan yang ditimbulkan musibah dan cobaan hidup,  dapat dinetralisir dan dikonversi menjadi energi yang menghubungkan elemen jiwa dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Mutawakil; tempat individu berserah diri.

Bertawakal, tawakal, dan mutawakil adalah penguatan kesadaran, peningkatan keyakinan, dan pelestarian ubudiyah qalbiyah yang berorientasi pada terapeutik qalbu, senantiasa dalam kesenangan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa. Psikologikal mutawakil yang disifati dari asmaul husna mereformulasi kepribadian berada dalam spiritualitas dan komitmen lahir dan batin bersama lathifah ruhaniyah rabaniyah. Individu yang memiliki lathifah ruhaniyah rabaniyah adalah orang yang hidup dalam kebahagiaan, ketenteraman, dan ketenangan jiwa yang diperoleh dari sikap tawakal dan berserah diri kepada Tuhan, yaitu Allah Sang Maha Mutawakil. Kebahagiaan, ketenteraman, dan ketenangan adalah manifestasi sadar sebagai anugerah spiritual yang hanya diberikan kepada orang-orang pilihan Tuhan.

Orang yang bertawakal; berserah diri kepada Tuhan dengan segenap pikiran, intuisi, dan qalbu yang bersinergi dengan akal budi, perbuatan, tindakan, dan perilaku dapat meniscayakan kesadaran, penguatan kepribadian, dan rekonstruksi mental secara paripurna. Kesadaran, kepribadian, dan mental paripurna adalah efek positif dari sikap berserah diri kepada Tuhan dengan keikhlasan dan ketulusan hati. Perbuatan, tindakan, dan perilaku ikhlas dan tulus dalam berserah diri kepada Tuhan adalah model psikoterapi Islam yang berfungsi preventif, kuratif, dan konstruktif dalam upaya perwujudan kesehatan mental dan kepribadian Islami yang terukur. Dengan demikian tawakal, bertawakal, dan mutawakil adalah formula tawaran psikoterapi Islam dalam mengatasi kegalauan, stress, depresi, frustrasi, dan traumatik yang menghadang manusia di abad ini.

Abad ini adalah kurun kemajemukan, di mana masyarakatnya pluralis suku, agama, ras, dan budaya. Masyarakat global yang hidup di era teknologi, informasi dan transformasi ini, seringkali berbenturan antara dunia material dan dunia spiritual. Padahal keduanya adalah dua arah jarum jam yang selalu mengitari kehidupan kemanusiaan. Kebutuhan terhadap materi (fisiologis) adalah sesuatu yang tidak dapat diabaikan, ia mutlak diperlukan. Kebutuhan spiritual tidak kalah pentingnya, manusia perlu Tuhan tempat mengadu, di mana individu mengalami masalah yang tidak terselesaikan kemoderenan, globalisasi, teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Individu seringkali mengalami confuse; kebingungan dalam mencari jawaban atas masalah-masalah, terutamanya dalam kaitannya dengan psikologis. Pada aspek ini, tawakal adalah jalan keluar bagi manusia moderen untuk menyelesaikan problem-problem yang menyangkut kejiwaan melalui penguatan kesadaran, keikhlasan, dan keteguhan dalam berbuat, bertindak, dan berperilaku.

Tawakal memberikan efek, bukan saja pada kehidupan sosial, bermasyarakat, dan berbangsa, bahkan tawakal melestarikan jaminan berkah dan keselamatan jasmani dan rohani kemanusiaan individu dengan efisien. Tawakal adalah pewujudnyataan kekurangan menjadi kecukupan, penyempurnaan amalan dan spiritualitas secara konfrehensif daripada anugerah yang ditawarkan Allah SWT kepada para mutawakili. Alquran menjelaskan, Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (Ath-Thalaq: 3) Allah Ta’ala melepaskan mutawakil dari belenggu kesempitan dan kesusahan dengan cara mencukupkan dan menyempurnakan nikmat dan keberkahan kepada orang-orang yang menyandarkan, menyerahkan diri, dan berlaku ikhlas dalam ibadah kepada-Nya.

Dengan menyandarkan, menyerahkan diri, dan berlaku ikhlas dalam ibadah, Allah Tuhan Seru Sekalian Alam membukakan pintu nikmat dan keberkahan, memberikan anugerah spiritual dengan lenyap dan hilangnya rasa takut, kekhawatiran, kesakitan, dan kekurangan harta yang jadi ujian kehidupan di masa lalu. Allah Ta’ala menukar kesulitan dan kesusahan menjadi maslahat-maslahat dan manfaat-manfaat yang besar bagi mutawakil yang ikhlasul amal. Perbuatan, tindakan, dan perilaku mutawakil yang ikhlas merupakan model psikoterapi Islam yang mampu melenyapkan ketegangan, kesulitan, kesusahan, kegalauan, stres, frustrasi, traumatik, psikosis, dan psikoneorosis yang menghadang individu kemanusiaan

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 25 Agustus 2017