web analytics

Kekuasaan dalam Domba Berbulu Singa (Suardi, M.I.Kom)

Mengajar Jurnalistik Sastrawi, Dosen Prodi Komunikasi UIN Suska Riau

PADA zaman dahulu, ada Domba yang begitu terobsesi menjadi Singa, sang penguasa rimba raya. Mungkin karena terlalu banyak mendengar kisah tentang keperkasaan Singa, lewat dongeng yang selalu diceritakan ayahnya menjelang tidur.

Saat bermain bersama teman-temannya, sang Domba yang tumbuh dengan lincah itu pun selalu berlagak seperti Singa. Bertindak beringas, buas, demi label perkasa dan penguasa. Tapi ia tetaplah seekor Domba, yang tak ditakdirkan untuk memangsa, dengan mengoyak dan berlumur darah seperti Singa. Melainkan merumput dan memakan dedaun hijau lainnya, seperti layaknya Domba biasa.

Namun inilah yang tak bisa diterima sang Domba. Menurutnya, takdir yang dijalaninya ini salah. “Dengan lahir sebagai Domba, bagaimana mungkin saya akan menjadi penguasa rimba raya,” gumam sang Domba. Coba saja saya jadi Singa, dengan menjadi Singa hidup akan menjadi indah dan luar biasa, dengan segala sifat liar yang gila. Karena “zaman Now” yang serba gila, yang tak gila malah akan dianggap gila dan salah. Maka yang paling pas itu adalah menjadi Singa, pikir sang Domba.

Sejak itu Domba selalu berpikir bagaimana caranya agar jadi Singa. Domba pun tak lupa berdoa pada Allah SWT, meski disisi lain ia tak pernah menerima takdirnya sebagai Domba.

Hingga suatu ketika, saat berjalan kakinya tersandung botol. Diamatinya, dan dibuka tutupnya, maka tiba-tiba terdegar suara yang bergelegar. ”Ha..ha.. aku kasih satu permintaan”. Bayangkan apa yang akan diminta sang Domba? Pingin kurus Jin… (seperti Iklan, red) tentu saja salah. Permintaannya tentu saja…. tebak sendirilah.

Sejak itu, domba pun berubah wujud jadi Singa. Ia berjalan dengan pongahnya, meninggalkan koloninya. Karena hidup bersama sekumpulan Domba ‘tak level lah ya’ gumam sang domba eh.. Singa mantan Domba. Ia pun meninggalkan hutan belantara menuju koloni Singa di gurun belantara.

Tapi menjadi anggota baru di lingkungan Singa tidaklah mudah. Ia harus menunjukkan kredibilitasnya dengan segala kebuasannya. Tentu saja dengan minum Vodka, menghisap Ganja dan pecandu narkoba serta Dugem bareng teman-teman barunya. Eh.. salah pokoknya hidup liar bebas maredekalah, tak lupa minum darah dan mengoyak tuk memakan daging mentah.

Yang terakhir ini begitu berat diterima nurani sang Singa (lebih tepatnya Singa mantan Domba – Red). Makanya, setiap ada pesta, ia terlihat tak pernah menikmatinya. Rupanya, tingkahnya yang canggung dan tak biasa layaknya seekor Singa, telah diamati sang raja koloni singa. Hingga suatu ketika, ia pun di perintah menghadap sang raja.

Dicerca sederet pertanyaan, Raja singa pun bertitah; “Ketahuilah anak muda, di dunia Singa, kita akan semakin kehilangan kemampuan untuk benar tanpa menyalahkan mereka. Kita semakin tidak sanggup untuk benar, kecuali dengan harus menyalahkan. Di dunia liar kita nan gila, yang benar kita, yang lain salah semua. Makanya supaya kita benar, diperlukan orang dan pihak lain yang salah. Karena kita tidak bisa benar dengan kebenaran itu secara otentik dan mandiri. Untuk menjadi penguasa, kau harus gila di zaman gila.”

Selanjutnya, sang raja Singa memerintahkan tuk mengurung Singa muda bersama Domba tua. Ia baru akan dibebaskan, tatkala bisa mengoyak-ngoyak domba tua dengan taring dan cakarnya untuk dimangsa.

Setelah berhari-hari di penjara bersama Domba tua, rasa lapar pun mulai mendera Singa muda (yang tak lain mantan Domba, red). Ditatapnya domba tua dengan napsu kebinatangannya, namun yang muncul bukannya kebuasan layaknya Singa. Melainkan rasa iba, sebagai sesama Domba. “Ada apa wahai singa muda, di sini engkaulah penguasanya. Dengan taring dan cakar tajammu, kau bisa berbuat segalanya. Sedang aku hanyalah Domba tua yang tak berdaya,” ungkap si Domba tua.

Sejurus kemudian Singa itu mendongakkan kepalanya. “Entahlah domba tua, tadinya dalam obsesi ku sebagai penguasa dunia, nurani hanyalah sekedar sampah yang menjadi slogan tak berharga. Untuk bisa berkuasa, diperlukan keberingasan, buas dan liar seperti halnya Singa. Tapi kini keperkasaanku malah kalah oleh nurani dan rasa iba. Sang singa pun bercerita panjang lebar, hingga ia berubah jadi singa.

Mendengar cerita Singa (mantan Domba, red), Domba tua yang sudah tergolong renta itu pun tertunduk. Ia pun menceritakan sebuah kisah hidupnya yang persis sama dengan kata-kata yang terpahat di sebuah pemakaman seorang bishop Anglican (Tahun 1100) yang terdapat di Westminster Abbey, Inggris.

“When I was young and free and my imagination had no limits, 

I dreamed of changing the world.

As I grew older and wiser, 

I discovered the world would not change, 

so I shortened my sights somewhat and decided to change only my country. 

But it too seemed immovable.

As I grew into my twilight years, 

in one last desperate attempt, 

I settled for changing my family, 

those closest to me, 

but alas they would have none of it.

And now as I lay on my deathbed, 

I realize:

If I had only changed myself first, 

then by example I might have changed my family.

From their inspiration and encouragement, 

I would then have been able to better my country and who knows. 

I may have even changed the world.”

Begini kira-kira artinya;

Ketika aku masih muda dan bebas dan imajinasiku pun tanpa batas, 

aku bermimpi mengubah dunia.

Ketika aku bertambah tua dan bijaksana, 

aku menyadari bahwa dunia tak dapat kuubah,

maka cita-citaku kupersempit dan kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. 

Namun tampaknya itupun tak berhasil

Ketika usia senja mulai kujelang,

lewat upaya terakhir yang penuh keputusasaan,

kuputuskan untuk hanya mengubah keluargaku,

karena mereka orang-orang yang paling dekat denganku.

Namun sayangnya, 

mereka pun tak kunjung berubah

Dan sekarang, ketika aku berbaring menjelang kematianku, 

tiba-tiba kusadari:

Jika pertama-tama yang kuubah adalah diriku sendiri

maka teladan yang kuberikan mungkin dapat mengubah keluargaku.

dan mungkin inspirasi dan dorongan mereka membuat negeriku menjadi lebih baik.

Dan siapa tahu, pada waktu itu aku telah mengubah dunia.

Diakhir kata-katanya, sang Domba renta itupun meminta sang Singa kembali ke koloni Domba di hutan belantara. “Kau bukanlah Singa dan Domba biasa, Sang Pencipta begitu menyayangimu dalam takdir hidupmu yang kau jalani. Maka jadilah dirimu sendiri. Teruslah belajar pada para cendikia di koloni kita,” ujar si si Domba renta sambil menghujamkan belati yang telah lama di simpannya di penjara ke perutnya. Sambil mengoyak perutnya Domba tua itupun memekik, seakan tengah dimangsa sang singa muda.

Raja singa pun tertawa lega, sambil membebaskan Singa muda dari penjara malam itu juga. Namun begitu pintu penjara dibuka, Singa muda itu pun berlari sekuat tenaga. Menuju hutan belantara tepat para koloni Domba, tanpa peduli pada duri-duri yang bersarang di sekujur badannya ia terus berlari tak kenal lelah.

Hingga tiba-tiba kakinya kembali tersandung pada sebuah botol kaca. Sang Singa muda pun kembali menjadi Domba. Namun tak dinyana, begitu ia sampai di koloni Domba ia melihat sebagaian para cendikia Domba telah menempeli tubuhnya dengan bulu-bulu Singa. Berlagak seperti Singa, dengan mengeluarkan petuah dan dogma layaknya seekor Singa. Tapi ia hanya menyeringai sambil tertawa geli.

Baginya para Cendkia berbulu Singa itu tak ubahnya seperti badut Singa, yang ingin membangun integritas dan citranya.

Di sisi lain, sejak saat itu Domba muda itu pun tak pernah ingin berubah. Bahkan jadi manusia sekali pun, karena baginya salah-salah manusiapun bisa terjangkit penyakit “raja Singa” Nggak tau lah, wallahualam.

 

Diposkan oleh Humas UIN Suska Riau

Dikutip dari www.cakaplah.com/ berita/ cakap rakyat/  Edisi 15 Januari 2018