web analytics

Ketika beberapa hari lalu terjadi kemacetan yang agak lama di Jalan Raya Pekanbaru Bangkinang, banyak pengendara yang tidak sabar. Lalu menerobos ke depan menyumbat jalan dari arah berlawanan. Maka tak ayal lagi kemacetan pun makin menjadi-jadi. Pengendara lain yang sudah lama antre di depannya diabaikan saja. Dalam situasi seperti itu emosi orang sering tidak terkendali sehingga tampillah berbagai tingkah laku dan kata-kata yang melampaui batas kesantunan dan kesopanan.

Kemarin ketika saya melewati Simpang Panam yang kebetulan ketika itu tidak ada petugas dari Dinas Perhubungan di situ, mobil-mobil penumpang umum pun berpusu-pusu di situ menunggu penumpang. Ada seorang nenek yang ditarik kian ke mari oleh para pencari penumpang itu sehingga kelihatan nenek itu kepayahan. Sebuah pemandangan yang sungguh memprihatinkan. Ini merupakan contoh-contoh kecil yang sering kita lihat dan alami.

Memang akhir-akhir ini kata-kata kekerasan, semrawut, caci makian, dan bahkan teror tidak asing lagi dalam pengalaman kita sehari-hari. Baik yang kita alami sendiri, maupun yang disaksikan dan didengar melalui berbagai media massa. Ada kekerasan kejahatan kriminal, ada pula kekerasan dalam rumah tangga, dan tidak sedikit pula kekerasan yang dilakukan satu kelompok terhadap kelompok lain dengan berbagai alasan. Sampai kepada kekerasan teror.

Hal itu ditambah lagi dengan tayangan-tayangan kekerasan secara visual dalam cerita-cerita sinetron. Anak-anak kita sudah disuguhi tayangan-tayangan seperti itu mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Kondisi ini sudah sampai pada tahap yang amat mengkhawatirkan akan terkikisnya sifat-sifat kesantunan dan kelembutan.

Banyak hal yang menimbulkan tindakan kekerasan. Antara lain faktor kepribadian yang sudah terbentuk dari lingkungan seperti kondisi rumah tangga yang sudah menanamkan bibit-bibit kekerasan antar anggota keluarga. Termasuk tayangan-tayangan tadi. Pendidikan yang menggunakan kekerasan juga dapat membentuk prilaku kekerasan. Di samping itu hal-hal yang bersifat kondisional seperti balas dendam, keputus-asaan, tekanan kehidupan, serta tekanan-tekanan psikologis lainnya dapat memicu tindakan kekerasan.

Termasuk faktor jenis ini adalah egoisme kelompok-kelompok eksklusif yang mengklaim pemilik kebenaran satu-satunya. Sehingga semua yang berlainan dengan pandangannya dilawan dengan kekerasan, bahkan dengan teror. Yang tidak kalah pentingnya adalah faktor situasi sosial yang dipenuhi ketidakadilan akibat lemahnya penegakan hukum sehingga memicu keinginan untuk main hakim sendiri. Hal ini sebenarnya terjadi karena keputusasaan sosial (social despair) ketika hukum diharapkan berlaku tegas dan adil, namun tidak terjadi.

Alhasil, tindakan kekerasan sebenarnya merupakan penyakit masyarakat (pekat). Penyakit masyarakat bukan hanya tindakan maksiat seperti judi dan pelacuran, tapi juga termasuk tindak kekerasan ini. Karena ia penyakit, tentu mesti diobati. Salah satu obatnya adalah dengan menata kembali dimensi spiritual kita sedemikian rupa sehingga melahirkan sifat santun.

Ajaran agama kita yang tertuang dalam Alquran dan hadist amat kaya dengan ajaran kesantunan. Salah satu nama Allah SWT yang banyak disebutkan dalam Alquran adalah al-Halim, yakni Maha Penyantun. Allah SWT mengajarkan sahabat-sahabat Rasulullah SAW bagaimana bersikap santun kepada beliau: “Wahai orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suara kamu di atas suara Rasulullah, dan janganlah kamu mengeraskan perkataan kamu sebagaimana kamu bersuara keras antara sesama kamu (agar tidak) terhapus pahala amal kamu sedangkan kamu tidak sadar. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah, merekalah yang Allah latih hati mereka untuk bertakwa, mereka mendapat keampunan dan pahala yang amat besar. Sesungguhnya orang-orang (yang berteriak-teriak) memanggilmu dari balik ruang, kebanyakan mereka tidak berakal. Andai mereka sabar (menunggu) hingga engkau keluar menemui mereka niscaya lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Hujurat, 2-5).

Di dalam surat Luqman, Allah SWT mengisahkan nasihat Luqman kepada anaknya yang mengajarkan kesantunan: “Bersahajalah kamu dalam berjalan, rendahkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara sungguh-sungguh suara keledai” (Luqman, 19). Rasulullah SAW pun menyontohkan sifat santun itu kepada sahabat-sahabat beliau sehingga kesantunan beliau diakui oleh semua pihak. Hadis-hadis Rasulullah sangat kaya dengan riwayat tentang kesantunan dan ajaran kesantunan tersebut.

Puasa termasuk sarana yang ampuh untuk menata kembali dimensi spiritual kita. Puasa menanamkan kekuatan menahan nafsu, mengontrol emosi, sifat empati dan simpati. Dengan merasakan lapar dan haus, orang akan mengalami perasaan sebagaimana yang dirasakan sehari-hari oleh saudara-saudara kita yang hidup serba kekurangan. Jika orang menghayati serta menerapkan sifat yang ditanamkan oleh ibadah puasa itu, tentu akan lahir sifat santun. Dengan membangun sifat santun ini mudah-mudahan kekerasan dalam kehidupan manusia dapat dihindari.

Prestasi kita dalam menunaikan ibadah puasa yang sudah kita laksanakan setiap tahun itu dapat dilihat antara lain pada sejauh mana puasa tersebut dapat membentuk dan mengubah sifat dan perilaku kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal itu hanya dapat dirasakan dan dievaluasi oleh diri kita masing-masing. Kita pasti dapat merasakan apakah kita berprestasi dalam berpuasa atau tidak. Marilah kita jadikan kesantunan sebagai salah satu prestasi puasa kita kali ini.
Dikutip dari Riau Pos Edisi Kamis, 31 Mei 2018