Oleh : Ade Jamarudin, SS, MA
Dosen Tafsir al-Qur’an UIN Suska Riau
Al-Qur’an merupakan pedoman dan tuntutan hidup umat Islam, baik sebagai individu maupun sebagai umat. Sebagai pedoman dan tuntutan hidup, al-Qur’an diturunkan Allah bukan hanya untuk sekedar dibaca secara tekstual, tetapi al-Qur’an untuk dipahami, dihayati serta diamalkan dalam sosial kehidupan bermasyarakat. Ayat pertamanya diwahyukan ketika Nabi sedang berkhalwat di Gua Hira’ di gunung cahaya (jabal al-nur) dekat Mekkah, dan ayat terakhir diturunkan hanya beberapa waktu sebelum wafatnya. Ayat-ayat itu di hafal oleh banyak sahabat dan secara lambat laun mulai dituliskan oleh sahabat-sahabat seperti ‘Ali dan Zaid. Akhirnya pada masa pemerintahan ‘Utsman, khalifah ketiga, teks definitive yang didasarkan pada salinan-salinan awal dan konfirmasi dari orang-orang yang pernah mendengar ayat-ayat itu dari mulut Nabi sendiri, disalin dan dikirim keempat penjuru dunia Islam.
Al-Qur’an dijadikan sebagai alat bedah untuk membedah segala macam permasalahan yang terjadi kala itu baik di masyarakat maupun permasalahan kepemerintahan. Bahkan Abu Bakar pernah berkata: “Kalau seandainya aku mencari tali kudaku, niscaya akan kutemukan dengan Al-Qur’an”. Begitulah, kuatnya pemahaman para sahabat terhadap al-Qur’an sehingga hidupnya menjadi lebih tertata dengan pedoman al-Qur’an. Namun saat ini, justru ada sebagian dari umat islam Indonesia yang berpikiran sekuler dan liberal, ia tidak menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama. Pisau bedah yang mereka gunakan adalah karya-karya ilmuan barat, lalu yang dibedahnya adalah al-Qur’an. Sehingga mereka memahami isi al-Qur’an berdasarkan pemahaman ilmuwan barat. Sehingga pemahaman ini menjadi mengakar dan membudaya dalam lembaga-lembaga pendidikan lalu tentunya memberikan dampak terhadap bangsa dan negara di masa akan datang. Oleh karenanya, perlu dibangun karakter pendidikan yang berbasis Qur’ani sehingga dapat memberikan dampak Qurani pula pada karakter anak bangsa di masa akan datang. Karakter pendidikan yang berbasis agama akan memberikan warna terhadap karakter bangsa yang Qur’ani di masa akan datang. Rasulullah SAW dan para sahabat kala itu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan. Bahkan ketika Aisyah r.a. ditanya mengenai akhlak Rasulullah, ia menjawab:“Akhlaq beliau adalah Al Qur’an.” [Hadits diriwayatkan oleh An Nasai]
Jika kita amati amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dalam Bab 1, pasal 1 ayat 1 disebutkan beberapa kata kunci yang sebenarnya mengarah kepada nilai-nilai agama seperti ‘spiritual keagamaan’, ‘pengendalian diri’, ‘kepribadian’, ‘kecerdasan’, ‘akhlak mulia’, ‘masyarakat (sosial)’, yang mana seluruh point ini diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, bahwa negara harus memberikan ruang gerak yang luas kepada pendidikan Agama Islam masuk dalam kurikulum disekolah-sekolah maupun perguruan tinggi umum. Karena jumlah anak bangsa yang masuk disekolah umum jauh lebih besar dari pada pesantren dan atau madrasah.
Karakter Bangsa Qur’ani
Karakter bangsa yang qur’ani dilahirkan dari pendidikan yang berkarakter qur’ani pula. Oleh sebab itu, negara harus memberikan ruang gerak pendidikan agama lebih luas dalam undang-undang dan kurikulum nasional. Sebab, memang sudah menjadi sebuah fakta bahwa anak didik di Indonesia lebih banyak menempa pendidikan di pendidikan umum dibandingkan dengan pendidikan agama seperti pesantren atau madrasah.
Pendidikan karakter telah lama menjadi bagian inti dari sejarah pendidikan itu sendiri. Pendekatan idealis dalam masyarakat modern memuncak dalam ide tentang kesadaran. Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Foerster menolak gagasan yang merendahkan pengalaman manusia pada bentuk murni hidup alamiah. Dalam sejarah perkembangannya memang manusia tunduk pada hukum-hukum alami, namun kebebasan yang dimiliki manusia memungkinkan manusia untuk menghayati kebebasan dan pertumbuhannya mengatasi tuntutan fisik dan psikis semata. Manusia tidak semata-mata taat pada aturan yang sifatnya mengatasi individu, dalam tata aturan nilai-nilai moral. Pedoman nilai merupakan kriteria yang menentukan kualitas tindakan manusia di dunia. Dinamika pemahaman pendidikan karakter berproses melalui tiga momen, yaitu historis, reflektif, dan praktis. Momen historis yaitu usaha merefleksikan pengalaman umat manusia yang bergulat dalam menghidupi konsep dan praksis pendidikan khususnya dalam jatuh bangun mengembangkan pendidikan karakter bagi anak didik sesuai dengan konteks zamannya. Momen reflektif, yaitu sebuah momen yang melalui pemahaman intelektualnya, mencoba melihat persoalan metodologis, filosofis, dan prinsipil yang berlaku bagi pendidikan karakter. Dan yang terakhir momen praktis, yaitu dengan bekal pemahaman teoritis-konseptual itu, manusia mencoba menemukan secara efektif agar proyek pendidikan karakter dapat efektif terlaksana di lapangan.
Sementara jika dilihat dari paradigma Islam maka pendidikan karakter sebenarnya adalah bagian dari pendidikan akhlaq akan tetapi ia begitu booming seolah mengalahkan ketenaran pendidikan akhlaq itu sendiri saat ini. Kita melihat bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk meninggikan marwah bangsa diantara bangsa-bangsa lainnya, akan tetapi marwah bangsa yang mulia adalah bangsa yang mana masyarakatnya memiliki keseimbangan kehidupan antara ruhani dan jasmani, dunia dan akhirat tanpa ada ketimpangan. Pendidikan Barat yang hanya menumpukan pada aspek keterampilan saja saat ini mulai mengikuti arus spiritual karena produk pendidikan sebelumnya menghilangkan arah kehidupan yang sebenarnya mereka idam-idamkan. Banyak para orang kaya yang akhirnya stress berat, para pengusaha kelas atas yang merasa jenuh dengan kehidupannya karena tidak menemukan kebahagian yang sesungguhnya. Oleh sebab itu Islam menawarkan solusi untuk keseimbangan kehidupan itu melalui sumber utama yang sempurna yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, sebab Islam telah membuktikan akan kecermerlangan ‘Madinah al-Munawwarah’ dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai parameter negara. Oleh sebab itu pendidikan karakter mesti harus berlandas pada sumber tersebut sehingga bermunculanlah ‘Manusia-manusia Qur’ani’ yang mampu beradaptasi dan berdialog dengan zaman tanpa menanggalkan identitas ketauhidannya.
Pendidikan diambil dari kata ‘didik’ yang dibubuhi dengan awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ yang berarti ‘memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran’, sementara pendidikan yaitu ‘proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Pendidikan Qur’ani
Pendidikan Qur’ani adalah pendidikan Islam sebab sama-sama bersumber dari al-Qur’an. pendidikan karakter Qur’ani adalah ‘usaha atau bimbingan yang dilakukan oleh orangtua, guru atau orang dewasa untuk membangkitkan sifat-sifat kebaikan yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw dengan menyeimbangkan antara ilmu, iman, akhlaq dan amal dalam kepribadian anak yang diperuntukkan untuk kemaslahan kehidupan manusia”.
Faktor yang sangat mempengaruhi karakter manusia dapat dilihat dari faktor yang bersifat primer dan sekunder, yaitu: Faktor Primer (Utama). Faktor utama dalam membentuk karakter manusia adalah keimanan. Keimanan adalah kepercayaan yang kokoh kepada Allah. Faktor Sekunder (Faktor Tidak Utama). Faktor sekunder adalah faktor kedua dalam mempengaruhi karakter manusia atau bisa disebut sebagai faktor yang tidak utama. Adapun faktor yang bersifat sekunder dalam mempengaruhi karakter manusia yaitu politik, sosial, budaya, pendidikan, kepercayaan dan hal-hal selain faktor primer. Akan tetapi faktor ini tetaplah memiliki pengaruh dalam membentuk karakter manusia Qur’ani. Beriman kepada Allah yaitu dengan mengamalkan kandungan al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif. Pengamalan dengan konsekuen tersebut disebut dengan taqwa; dalam defenisi yang sederhana yaitu mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Faktor keimanan (iman) adalah faktor fundamental dalam mempengaruhi karakter seorang manusia sebab keimanan bersumber dari ruh al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber kebaikan yang datang dari Allah. Akan tetapi sumber kebaikan tersebut mesti harus ditempa (diajarkan) sejak dini melalui kombinasi lembaga informal, formal, non formal dan masyarakat sebab lembaga-lembaga tersebut adalah mesin pembentuk karakter seorang anak manusia. Oleh sebab itu kita sungguh merasa kecewa jika ayah dan ibu (orangtua) tidak melakukan tanggung jawabnya dalam memenuhi dan mendidik keagamaan anaknya sebab keluarga adalah mesin pertama dan utama dalam mendidik jiwa seorang anak manusia atau faktor utama dalam pembentuk karakter. Ibarat melakukan penginstalan komputer maka instalan windows pertama mesti harus benar, sebab jika salah dalam menginstal dan menformat hardisk diawalnya maka akan terjadi kesalahan sistem yang fatal untuk seterusnya. Hardisk dimungkinkan akan rusak dan semua program yang diisi sesudahnya akan tidak sempurna hasilnya. Begitu pula dengan anak manusia, jika salah dalam melakukan penginstalan jiwanya semenjak awal maka akan terjadi kerusakan sistem yang fatal untuk seterusnya dan instalan pertama (mesin pertama) dalam membentuk jiwa anak manusia adalah keluarga (Ayah dan Ibu).
Mesin Pembentuk Karakter
Disisi lain kontrol masyarakat terhadap anak didik (anak remaja) sangat lemah. Masyarakat seolah tidak perduli dengan perilaku-perilaku anak didik yang sangat bertentangan dengan aturan agama, adat dan budaya yang syar’i. Sementara masyarakat adalah mesin ketiga dalam membentuk jiwa seorang anak manusia. Oleh karena itu mesin-mesin pembentuk karakter anak manusia ini mesti harus sehat, tidak rusak dan bersih sebab ia akan dipertanggungjawabkan kepada Allah kelak. Memang kita menyadari bahwa instalan utama seorang anak adalah di rumah tangga (Ayah dan Ibu) akan tetapi pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi (Guru dan dosen) sebagai mesin kedua dan masyarakat sebagai mesin ketiga dalam membentuk jiwa seorang anak manusia juga sangat menentukan. Disinilah letak fungsi dari pendidikan karakter Qur’ani dimana mengantarkan orangtua, guru atau dosen dan masyarakat untuk berkarakter Qur’ani dan sadar tanggung jawabnya terhadap perkembangan karakter anak berkenaan dengan keterampilan (olah otak) dan qalbu (spiritual). Sebagaimana dalam firman Allah QS. At-Tahrim:6.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
Tujuan pendidikan karakter Qur’ani adalah untuk menghasilkan anak didik yang berkarakter Qur’ani. Untuk menjadikan manusia yang berkarakter maka anak didik mau tidak mau harus diarahkan sejak dini untuk memahami al-Qur’an dengan mentadabburinya; membaca, mengkaji, mengamalkan dan mengajarkannya; hal ini juga berlaku sama pada hadits. Sehingga dengan mentadabburi al-Qur’an dan Sunnah maka diharapkan anak didik menjadi anak yang berkepribadian sebagaimana pribadi Rasulullah yaitu pribadi Qur’ani. Pribadi yang menjadi penyelesai permasalahan bukan penambah masalah. Pribadi yang hidup dan menghidupkan dalam setiap perjalanan zaman. Pribadi yang mulia semulia al-Qur’an.
Tujuan pendidikan dalam kaitannya dengan Karakter Qur’ani adalah usaha untuk menjadikan anak didik sebagai manusia yang berkarakter Qur’ani dengan hasil yang ingin dicapai adalah anak didik yang beradab yang mampu beradaptasi dan berdialog dengan zaman tanpa harus melepaskan identitas ketauhidannya. Sebagaimana Sabda Rasul: “Mendidik mereka menjadi beradab” (HR. Abu Dawud).
Terbit di Riau Pos Edisi Senin, 25 Maret 2019