Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
KITA sedang diracun Pak.” Begitu kalimat pendek seorang sopir taksi meluncur secara spontan ketika kami dihadang kabut asap yang cukup mengganggu pandangan dan pernafasan lima hari yang lalu. “Kita berharap asap akan reda setelah angin kencang dan hujan lebat tadi malam, tetapi ternyata pagi sudah diselimuti asap lagi. Kapankah azab ini akan berakhir Pak?“ Ia bertanya dengan suara yang getir.
Bergetar hati saya mendengar pernyataan dan pertanyaan sang sopir itu. Bukankah apa yang dikatakannya benar adanya? Kita sedang menghisap racun. Kita sedang dikerumuni oleh racun yang bergentayangan sampai ke bilik dan kamar mandi? Hampir tidak ada lagi ruang tempat menghirup udara, kecuali juga menghisap racun? Lalu, bukankah itu berarti bahwa kita sedang dipaksa untuk membunuh diri sendiri secara pelan-pelan oleh orang yang membuat asap itu berterbangan masuk ke dalam tubuh kita? Ucapan si sopir itu sederhana sekali, tetapi cukup untuk memahami betapa getirnya ia hidup di negeri seperti ini. Tentu, bukan hanya dia yang punya perasaan seperti itu. Semua yang tinggal di negeri ini, tidak hanya manusia, bahkan flora dan fauna pun merasakan derita betapa asap telah menjadi azab buat mereka.
Bagaikan orang yang mau berteriak karena dada telah penuh sesak oleh masalah, tapi tidak tahu ke mana teriak akan diarahkan, ke mana pertanyaan mau diajukan. Sepertinya, Allah pun sudah “enggan” untuk menjawab pertanyaan dan mengabulkan permohonan. Bukankah Yang Maha Kuasa telah bersabda, Laha ma kasabat, wa’alaiha maktasabat. Itu risiko yang harus diterima. Terimalah kebaikan dari setiap kebaikan yang dikerjakan, dan terimalah pula hukuman dari setiap kejahatan yang dikerjakan juga. Doa tidak akan diijabah, keadaan buruk juga tidak akan diubah menjadi baik, sampai perangai buruk dibuang dan diganti dengan yang baik. Itulah ketentuan Allah, dan itulah yang harus dimengerti oleh setiap orang yang mau menggunakan akalnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghujat siapa-siapa, tetapi sekadar mengingatkan bahwa “bila hidup tidak arif, maka badan akan binasa.” Kearifan bukan kecurigaan. Kearifan adalah pandangan mata batin yang halus karena kebersihan hati, ketinggian budi, dan kedekatan dengan Rabbul’izzati. Semua manusia dianugerahi kemampuan untuk arif melihat dunia. Orang yang tidak arif bukanlah orang yang tidak punya pandangan mata batin itu, tetapi orang yang mata hatinya terkunci mati oleh kecintaannya terhadap dunia yang berlebihan.
Kalimat awal yang keluar dari mulut sopir di atas seharusnya memancing kearifan kita untuk bertanya, “tidak pantaskah kita menduga bahwa ada sebuah skenario besar (grand design) sedang dimainkan di balik kabut asap yang sudah berulang selama 18 tahun untuk menghancurkan sebuah generasi di negeri para pejuang ini ? Tidak terlalu bodohkah kita untuk berkata bahwa ini adalah hanya faktor alam atau hanya sekedar ulah segelintir orang yang tidak tahu adat dan hanya mementingkan diri sendiri untuk mencari kekayaan dengan mudah walau mengorbankan orang lain?
Tidak pantaskah kita menduga bahwa ada sebuah skenerio besar di balik mewabahnya narkoba sampai menjamah anak-anak kecil di sekolah rendah walau ancaman hukumannya sampai mati? Tidak sepantasnyakah kita menduga bahwa ada skenerio besar di balik mengguritanya korupsi di hampir semua tingkat kekuasaan dan kesempatan sampai ke masyarakat paling bawah? Tidak sepantasnyakah kita menduga bahwa ada skenario besar di balik berpecahbelahnya masyarakat sejak yang status sosialnya paling elit sampai ke paling bawah yang hidupya paling sulit? Atau, sudah tidak ada lagikah kearifan Melayu yang diajarkan oleh orang tua-tua bersemi di dalam jiwa, sehingga hati dan rasa benar-benar telah tumpul dan mati karena kebodohan yang tertanam sekian lama oleh ketamakan terhadap benda dunia? Tidak terlalu bodohkan kita untuk berkata bahwa semua itu hanyalah persoalan bisnis atau politik yang tidak ada sangkut pautnya dengan pihak-pihak tertentu yang ingin merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara atau bahkan menghancurkan sebuah negara yang bernama Indonesia?
Siapa saja yang masih punya kearifan akan bertanya tiada henti, “ulah siapakah ini ?”, bukan untuk mengkambinghitamkan orang atau pihak lain, tetapi untuk mengevaluasi diri secara jujur, dimanakah letak kesalahan mengurus negeri ini. Orang arif tidak akan membuang waktu untuk menyalahkan orang. Orang arif lebih suka merenung apa yang salah pada dirinya sehingga orang lain leluasa berlantasangan kepadanya. Tetapi, pernahkah kita, tentunya para penguasa, melakukan perenungan seperti itu? Bukankah mereka lebih banyak merenungkan strategi bagaimana memenangkan setiap pertarungan politik yang dijadwalkan dari satu periode ke periode berikutnya?
Hidup memang harus arif. Orang yang tidak arif, apalagi pemimpin yang diserahi amanah untuk mengurus negeri, akan menuai petaka untuk diri dan rakyatnya. Tidak akan pernah ada kebijaksanaan bagi pemimpin yang tidak arif. Tetapi tidak akan ada juga kearifan bagi pemimpin yang hatinya terselimuti oleh kepentingan. Kearifan hanya akan hinggap kepada pemimpin yang hatinya memikul kewajiban, dan bukan kepentingan. Rasa wajib membuat seorang pemimpin menjadi pengayom rakyat, sementara rasa kepentingan membuat mereka memperalat rakyatnya. Ia melindungi kepentingan rakyat dengan jabatan yang ada di tangannya, dan ia tidak melindungi kepentingannya dengan rakyat yang ada dalam kekuasaannya. Itulah beda pemimpin yang memikul kewajiban dari pemimpin yang menyimpan kepentingan.
Maka, hanya pemimpin ariflah yang akan merasakan bahwa di negerinya sedang berlaku sebuah skenario besar dari orang-orang jahat untuk merampas kekayaan alamnya sedemikian rupa. Hanya pemimpin ariflah yang akan merasakan betapa rakyat dan generasi mudanya sedang diracuni dan dibunuh secara pelan, agar dalam jangka waktu tertentu mereka bisa menguasai semua petonesi yang ada di negeri itu. Hanya pemimpin ariflah yang akan khawatir bila anak cucu yang ditinggalkannya nanti lemah badannya, lemah akalnya, lemah semangatnya, lalu lemah imannya. Hanya pemimpin ariflah yang akan tersadar oleh firman Allah, “dan hendaklah khawatir orang-orang yang bila mereka meninggalkan keluarga atau anak cucunya dalam keadaan yang lemah-lemah. Hendaklah mereka benar-benar mengkhawatirkan hal itu akan terjadi.” (QS.14:11, 8:53). Pemimpin ariflah yang akan menangkap isyarat bahwa: dengan asap yang ditebar secara dahsyat, para penjahat sedang menebar racun jangka panjang untuk membunuh anak-anak yang hidup hari ini secara pelan-pelan di masa datang; dengan narkoba yang “dibagi-bagi” setiap hari, para penjahat itu sedang menebar virus untuk melumpuhkan otak dan kecerdasan anak-anak bangsa sebagai pewaris dan yang seharusya akan memimpin negeri ini di masa datang; dengan mempertajam perbedaan antara aliran serta paham keagamaan dan kebangsaan dan juga partai-partai politik yang ada, para penjahat itu sedang menabur debu kebencian untuk membuat sesama penduduk negeri ini menjadi saling bermusuhan, berpecah belah, lalu dengan semua itu akan lemahlah segala kekuatan dan akan leluasalah mereka menguasai negeri ini sebagai “penjajah” yang bisa jadi lebih keji lagi dari imperialis Eropa selama 350 yang lalu itu.
Bisa saja presidennya masih anak jati bangsa, bisa saja menteri-menterinya juga sama, tetapi semua tidak lebih dari sebagai boneka. Tali kendali masih ada di tangan kita, tetapi arah dan tujuan negera mereka yang menentukan secara “paksa.” Maka, bukankah itu sebuah sekenario besar, atau juga hidden skenario yang hanya bisa dibaca oleh para pemimpin atau tokoh-tokoh yang arif, tetapi tidak akan terbaca oleh pemimpin atau tokoh yang hatinya telah terkekang oleh kepentingan-kepentingan ingin cepat menikmati untuk tujuan-tujuan jangka pendek.
Kini, hanya ada dua pertanyaan, menyerah atau melawan? Menyerah, berarti menjadi pengkhianat kepada para pahlawan. Melawan, harus ditempuh dua tuntutan: cerdaslah, dan bersatulah. Bila tidak ingin dijajah kembali setelah 70 tahun merdeka, pilihan kedua adalah keniscayaan.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 22 September 2015
redaksi@uin-suska.ac.id