Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau
BELUM lama berselang, isu Riau Merdeka kembali mengemuka tersebab asap yang tak henti mengepul. Walaupun menghilang dan kembali sayup, para ahli sosiologi telah dapat meramal. Riau mempunyai corak psiko-politik yang memerlukan –meminjam Piotr Sztompka- aktor perubahan sosial. Tulisan ini setidaknya menyediakan peralatan intelektual dasar untuk menganalisis, menafsirkan dan memahami kemungkinan Riau bisa mengubah nasibnya, berdepanan dengan isu ketertindasan struktural yang menimpanya.
Penulis ingin menegaskan kembali, bahwa manusialah yang membuat sejarah mereka sendiri. Dan sejarah perjuangan Riau, khususnya tuntutan Riau Merdeka, setidaknya pernah digaungkan Tabrani Rab, ia dengan filsafat Nietzsche tentang manusia super, telah mempersonifikasikan suara-suara kekalahan Riau dengan teriakan itu, sekaligus menjadikan dirinya sebagai icon gerakan sosial, sebagai Ubermenzsch tanah Melayu. Ubermenzsch adalah konsep tentang manusia pemberani yang mengatakan “ya” pada setiap tantangan, baik untuk progretivias ambisi pribadi maupun menyambung lidah rakyat. Tabrani, terlepas apakah akhirnya bergabung dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), dengan kecerdasan politisnya, telah menggelembungkan isu Riau Merdeka dalam tempo singkat seraya menjadikan dirinya “Ubermenzsch” yang memukau.
Setelah itu terdengar nama-nama seperti Alazhar, Fauzi Kadir, Kapitra Ampera, Hj Azlaini Agus pernah dinobatkan semacam “komandan” Riau Merdeka setelah Ongah Tab. Namun daya gugat dan spektrum sejarah yang mampu dimainkan tuan-tuan itu kalah jauh dan tidak sampai menggetarkan pusat.
Asal-asalan
Dalam merespon isu-isu ketimpangan kebijakan pusat yang sentralistik, terlihat bagaimana para pemain utama politik Riau tidak memiliki strategi jelas. Mengelaborasi Tsun Zu dalam bukunya : the art of war (seni Perang), tampak pasukan Riau tidak ditempatkan secara teratur alias asal-asalan. Pasukan dan strategi perang yang asal-asalan berarti menyiapkan kekalahan. Riau atau para elitenya tidak sempat merancang, membuat grand strategy, atau sebuah diskusi pergerakan yang komprehensif. Di antara faktor yang dapat terbaca dengan mudah, adalah karena di antara para tokoh Riau tidak terdapat komitmen apa-apa untuk merespon hal-hal semacam ini. Tidak peduli dan tidak mau peduli, karena tujuan hidup adalah materi. Kaum oportunis Riau idealismenya telah lama terkubur, justru mencari kesempatan menjadi anggota yayasan kaum kapitalis dengan tetap mencari muka sebagai pemuka gerakan. Publik tidak tahu, karena posisi dan perannya memang vital, ia terus dijadikan referensi perlawanan, diburu wartawan. Padahal orang bermental demikian, ibarat duri di dalam daging, menangguk di air keruh, mengguntung di dalam lipatan, kolesterol bagi gerakan perubahan.
Sebelum terlambat sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang mendesak dibuat. Pertama, identifikasi siapa-siapa tokoh yang bermoral dan serius. Identifikasi dan klarifikasi ini penting, karena bila memasukkan dalam barisan perjuangan orang-orang setengah hati atau kaum oportunis, maka perjuangan akan dilumpuhkan dari dalam.
Kedua, kemampuan solidarity makers (pembangunan solidaritas) perlu dikembangkan untuk menyentuh publik dan menyedot perhatian kelompok kritis yang selama ini belum terlibat. Menggalang solidaritas berarti “mendemamkan” isu-isu utama ketertindasan Riau seperti pengerukan minyak, pembantaian hutan tanah, penyalaian manusia melalui asap menahun supaya masyarakat terpanggil untuk turut serta dalam barisan perjuangan.
Ketiga, penting digalang diskusi komprehensif untuk memetakan potensi pemuda pemberani, kakuatan bawah tanah, relasi internasional untuk suaka politik dan komunikasi politik, siapa pemegang tongkat komando, perumusan strategi dan taktik, pembacaan kekuatan lawan, dan pemanasan ide-ide.
Ubermenzsch Orang Besar
Masyarakat dan sejarah diciptakan melalui tindakan kolektif dan agen utamanya adalah Ubermenzsch (orang besar pemberani yang menginspirasi). Thomas Carlyle mengatakan, dalam semua epos sejarah dunia, ditemukan orang besar yang selalu menjadi juru selamat yang sangat diperlukan eposnya; pelita tanpa bahan bakar tak pernah dapat menyala. Sejarah dunia ini adalah biografi orang besar. Mengapa? Karena pengorbanan dan kepahlawanan mampu membangkitkan perasaan setia, hormat, patuh dan pemujaan dari massa pengikutnya. Perasaan ini menimbulkan ikatan sosial yang sangat kohesif, masif dan kuat serta dapat mempengaruhi jalan sejarah. Pengikut yang setia dapat memanggul sebuah cita besar; Riau Merdeka? Kita dapat melihat fenomena itu dalam kiprah Bung Karno, Daud Beureuh, M Natsir, Ghandi, Mandela, Fidel Castro, Dalai Lama, Huga Chaves, Evo Morales sampai Hasan Tiro.
Riau, jika demikian, sangat merindui seorang Ubermenzsch. Sosok teladan yang rela berkorban, bersedia menjadi martir demokratisasi yang tengah dibajak negarawan amatiran. Yang mengantarkan masyarakat Bumi Lancang Kuning ke gerbang pintu kemerdekaan, keadilan dan kebermartabatan.
Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu, 7 Oktober 2015
redaksi@uin-suska.ac.id