uin-suska.ac.id Dialog Budaya Keagamaan Nusantara di Provinsi Riau pada hari kedua dibagi menjadi lima sesi dengan lima narasumber handal. Narasumber sesi pertama dengan tema “Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Perspektif Khazanah Keagamaan” disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur, Khazanah Keagamaan, Manajemen dan Organisasi Kementerian Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. M. Arskal Salim, GP, MA. Dalam paparan materinya menyatakan bahwa dominan culture itu dibutuhkan untuk menjadi perekat semua orang yang berada pada suatu tempat. “Pada intinya yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah bagaimana khanazanah keagamaan memberikan kontribusi bagi penguatan nilai-nilai moderasi beragama”, Ujar Arskal.
Melihat potret terkini kehidupan beragama, adanya sikap atau pemahaman teori konspirasi yang dijadikan bumbu untuk memperparah konflik keagamaan atau konflik antar etnis. Ditambah lagi pemahaman keagamaan yang beragam membuat umat mempunyai tantangan sosial yang berat. Tantangan-tantangan ini membuat kita semakin perlu mempersiapkan diri dan merevitalisasi pemahaman tentang sikap moderasi beragama. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan dan sangat relevan yakni bisa mewujudkan cultural well-being (keadaan kita secara cultural yang nyaman, baik dan sentosa). Cultural well-being berpuncak pada kemampuan individu dalam suatu komunitas untuk mengembangkan imajinasi sosial dan daya cipta, yang melahirkan karya-karya kebudayaan tinggi di masyarakat.
Kerukunan hidup dalam beragama banyak dicerminkan dalam Khazanah Keagamaan yang merupakan konsen di Puslitbang lektur, khazanah keagamaan dan manajemen organisasi Balitbang dan diklat KEMENAG RI. “Agar agama menampilkan khazanah-khazanah keagamaannya untuk terus mempromosikan dan memperkuat nilai-nilai moderasi beragama. Konsep moderasi beragama Intinya bagaimana moderasi beragama itu sangat bertumpu pada literasi keagamaan. Khazanah Keagamaan merupakan esensi peribadatan dari agama dan Moderasi Beragama menjaga esensi dari keragaman beragama”, Tutup Arskal.
Sedangkan pada sesi kedua dialog budaya keagamaan mengetengahkan materi tentang “penguatan nilai keberagaman dan moderasi beragama dalam membangun generasi bangsa yang berkarakter” yang disampaikan oleh Wakil Rektor I UIN Suska Riau Dr. Suryan A. Jamrah, MA. Menurut Narasumber, agama dimanapun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah hal paling sensitif. Sehingga dalam perbandingan Agama disebutkan bahwa secara sosiologis agama mempunyai dua fungsi yakni konstruktif function dan destruktif function.
Dalam kondisi bipolar yang terjadi adalah ketika dua kutub ini ekstrim maka akan terjadi benturan dan disinilah sebenarnya ide moderasi muncul. Dalam sejarah pemikiran agama (semua agama) mengatakan bahwa fenomena bipolar telah ada sejak awal. Maka sebenarnya istilah moderasi, islam itu sendiri adalah moderat dan baru muncul beberapa tahun terakhir dan muncul pertama kali di Amerika. Moderasi lahir untuk mengimbangi kelompok ekstrim kiri atau kanan.
“Moderasi itu adalah buah, akar dan pohonnya adalah toleransi. Sehingga dunia islam mecari padanan kata moderasi dengan membuat nama washathiyah (jalan tengah). Jadi moderasi yang salah paham adalah pelonggaran terhadap nilai-nilai agama bahkan pelepasan terhadap nilai-nilai agama dan itu yang namanya sekuler. Namun yang terpenting disini jangan agama karena ekstrim menjadi pemicu munculnya konflik sosial”, Pungkas Suryan
Penulis : M. Huzaini
Photographer : Sukmawati
Editor : Nurazmi