Oleh Musfialdy (Dosen UIN Suska Riau)
Wabah pandemi Covid-19 saat ni masih saja berlangsung. Covid-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus corona yang memiliki tingkat penularan yang cukup cepat dan mematikan. Pandemi Covid-19 merupakan bencana nonalam yang sedang melanda semua wilayah. Menurut, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, sebuah peristiwa dikatakan bencana apabila peristiwa atau rangkaian peristiwa itu mengancam dan mengganggu kehidupan dan mata pencaharian masyarakat. Siapapun bisa terkena apabila udara di sekitarnya terdapat virus tersebut, tidak terkecuali para jurnalis yang memiliki volume interaksi yang tinggi sehari-hari. Para jurnalis sangat rentan terpapar virus yang sangat cepat penulannya ini. Di Indonesia ratusan orang pekerja media sudah terpapar Covid-19 bahkan sudah ada jurnalis meninggal karena tidak sanggup melawan penyakit tersebut. Walaupun sudah membatasi interaksi sosial (social distancing), ancaman terkenanya masih mengintai. Peran seorang jurnalis di tengah bencana Covid-19 merupakan pekerjaan antara mitigasi dan adaptasi. Tugas jurnalis dalam menyampaikan informasi peristiwa dan mitigasi atau pencegahan pandemi Covid-19 sekaligus harus beradaptasi dengan kehidupan baru yang berdasarkan protokol kesehatan. Selain menjalankan kewajiban menjalankan kegiatan jurnalistik para awak media juga harus waspada karena bencana pandemi covid-19 sudah ada di sekitar meraka. Di dalam proses pemberitaan menurut Masduki (2007) peran redaksi bukan hanya sekedar menyebarluaskan informasi peristiwa dan informasi tentang system peringatan dini (early warning system) saja. Namun peran jurnalis juga memberikan informasi bagaimana menghadapi bencana terutama resiko bencana (disaster risk reduction). Hal yang sama juga pernah disampaikan Ketua Ikatan Jurnalitik Televisi Indonesia Yadi Hardiana, dalam siaran pers bulan Maret 2020, pemberitaan Covid-19 harus sepenuhnya mengedepankan nilai-nilai, tidak mendramatisir, sensasional dan menjustifikasi pasien atau korban, sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi dan diskriminasi. Proses jurnalistik secara das sein menginformasikan realitas bencana pandemic Covid-19 dan secara das sollen melakukan proses jurnalistik secara ideal. Namun demikian para juranlis diharapkan dapat kritis mengawal kejadian atau peristiwa serta kebijakan yang dilakukan pemerintah selaku lembaga yang diamanatkan mengatasi bencana ini. Sehingga pemberitaan bisa dijadikan rujukan masyarakat dalam pengambilan keputasan dan informasi diberikan bisa menimbulkan rasa aman bagi diri mereka dari kecemasan pada pandemi Covid-19 tersebut. Selain menjalankan tugas jurnalistik mereka, para awak redaksi juga dituntut untuk bisa melindungi diri (safety first) dari terpaparnya pandemi covid-19 ini. Menurut Park dan Jansen (2005) dalam the International Federation of Jurnalist’s Asia Pasicic office mengatakan dalam meliput pemberitaan pada bencana, jurnalis tidak hanya melakukan peliputan dalam tuntutan akurasi, profesionalisme serta etika, namun juga memikirkan keamanan diri dan jiwanya dalam situasi yang bisa menghadirkan trauma. Pada awal terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia, hampir semua perusahaan media massa tidak memiliki persiapan dan aturan tentang mekanisme kerja dan perlindungan terhadap karyawan dan redaksi mereka. Semua perusahaan masih meraba-raba apa bencana yang ditimbulkan dan bagaimana menghindari serta menanggulangi bencana ini. Setelah pertama kali diumumkan pasien Covid-19 Februari, biasanya kebijakan lisan diberikan kepada karyawan untuk menjaga dari penularan Covid-19 tersebut. Kebijakan dan aturan yang jelas baru diambil setelah ada karyawan dan awak redaksi terpapar virus corona tersebut. Dampak dari kebijakan adalah proses jurnalistik mengalami perubahan, perubahan perilaku guna beradaptasi dengan kehidupan baru berdasarkan prokol kesehatan. Pembatan kerja (WFH), pengunaan alat pelindung kesehatan, pengunaan teknologi informasi dalam proses jurnalistik contoh dari penerapan kebijakan dalam proses adaptasi di media. Namun demikian masih ada saja media yang belum memberikan perlindungan pada karyawan dalam melaksanakan perlindungan kepada awak media mereka. Berdasarkan hasil survei Aliansi Jurnalistik Indonesia, sebanyak 63, 2 persen para jurnalis tersebut tidak dibekali alat pelindung yang sesuai dengan standar protocol kesehatan dari perusahaan mereka. Artinya tugas mulia jurnalis menginformaskan dan memitigasi bencana kepada masyarakat menjadi pekerjaan yang berbahaya. Untuk itu, tuntutan untuk tuntutan dan himbauan melindungi para jurnalis ini perlu dikemukan. Organisasi-organisasi yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik seperti PWI, Aji, IJTI dan lain, bersama-sama masyarakat serta pemerintah mendorong dan menekan para pemilik media yang belum memberikan perlindungan kepada karyawan dan para jurnalis mereka untuk segera memberikan perlindung bagi karyawanya.***
Telah Terbit di Riau Pos Tanggal 13 Januari 2021