Dosen Fakultas Pertanian UIN Suska Riau
Tiba-tiba publik Riau dihebohkan dengan ide menyekat hilir parit lahan gambut. Mulai dari aparatur pemerintah provinsi Riau, menteri LHK Siti Nurbaya sampai presiden Jokowi ikutan latah menyebut-nyebutnya. Konon, dengan kegiatan yang popular disebut canal blocking itu, gambut tetap basah sehingga masalah kebakaran lahan dan hutan praktis teratasi. Apalagi hujan mulai deras mengucuri tanah Melayu sejak beberapa hari belakangan, cepat-cepatlah kanal (parit) disekat. Penulis yang ada sedikit sebanyak belajar tentang gambut, merasa terpanggil untuk menjelaskan hal-meminjam istilah Mansoer Faqih-“sesat pikir” semacam itu. Untung Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau sempat bertanya kepada penulis, dan hasilnya ide aneh yang dianggarkan Rp 15 miliar tersebut tertunda.
Lahan rawa gambut merupakan sumber daya alam yang mempunyai fungsi hidrologis dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Nilai penting inilah yang mengharuskan ia dilindungi dan dipertahankan kelestariannya. Luas lahan gambut di Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat. Gambut yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera, 90 persen arealnya merupakan gambut pedalaman. Ismunardji dan Soepardi melaporkan bahwa di Sumatera ditemukan gambut setebal 11-15 m. Karena ketebalan itu pula ia dilindungi melalui Keppres, Kepmentan dan peraturan Perundangan di Indonesia.
Ekosistem rawa gambut berkait kelindan antara proses, fungsi dan struktur dinamis ekosistem itu sendiri dengan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Fungsi ekosistem itu antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma nutfah (biodiversity), didalamnya tersimpan warisan budaya dan kearifan lokal, serta padang perburuan ilmu pengetahuan. Lahan gambut juga tempat penyediaan bahan-bahan bangunan, energi, dan sumber pangan, ikan dan binatang buruan buat masyarakat tradisional. Secara ekologis lahan gambut adalah wilayah penampung air untuk melindungi wilayah sekitar dari kebanjiran, dan menjaga kontiniutas penyediaan air sepanjang tahun. Juga untuk menjaga kualitas air karena gambut dapat menjadi filter dari pencemaran.
Akan tetapi, lahan gambut disebut sebagai lahan rapuh karena mempunyai sifat marginal dengan beberapa kendala apabila hendak disulap menjadi ekosistem buatan semisal hutan akasia dan sawit. Kendalanya antara lain: Pertama, daya dukung bebannya (bearing capacity) rendah sehingga akar tanaman sulit menopang beban tanaman secara kokoh. Kedua, daya hantar hidrolik secara horizontal sangat besar tetapi secara vertikal sangat kecil sehingga mobilitas dan ketersediaan ait dan hara tanaman rendah. Ketiga, bersifat mengkerut tak balik (irreversible) sehingga daya retensi air menurun dan peka terhadap erosi.
Drainase bin Kanal
Untuk mengatasi kendala biogeofisik dan ketidaksuburan lahan, maka korporasi di Riau membuat drainase (kanal) tanpa perhitungan aspek lingkungan jangka panjang. Drainase alias kanal dibuat untuk membuang kelebihan air dan pengendalian muka air tanah agar tercapai kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman industri dan kelapa sawit. Padahal, gambut sangat rentan (fragile land) terhadap gangguan eksternal terutama pengaruh pengeringan dan drainase yang berlebihan. Apabila pengeringan melebihi batas kritis kering tak balik, gambut berubah sifat menjadi hidrofob. Sifat gambut yang mempunyai hubungan erat dengan kejadian hidrofob adalah kadar abu, kadar air, selulosa, lignin, hemiselulosa, kemasaman tanah, gugus fungsi COOH dan Fenolat-OH. Semakin besar efek pengeringan, semakin besar sifat menolak air tanah gambut dan semakin sukar melembabkannya kembali.
Pengeringan lahan rawa gambut melalui kanal-kanal di Riau, telah membuat tercuci/hilangnya jumlah gugus fungsi COOH dan karbon organik lainnya yang bertugas mengikat air. Kondisi itulah yang membuat gambut berubah menjadi arang (hidrofob), praktis terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Jika sudah demikian, kebakaran lahan menanti di depan mata, asap menggulung berbulan lamanya. Sungguh naif bin aneh apabila kendala kronis semacam itu coba diatasi dengan sekadar canal blocking. Penutupan hilir kanal dengan sekat semacam itu, tidak lantas membuat gambut basah, karena karbon organik semisal COOH telah lenyap. Gugus COOH danfenolat- Oh tersebut, sebagimana dinyatakan di atas, berperan dalam mengikat air. Asumsi bahwa air masuk kembali (rewetting) ke dalam struktur fisik gambut otomatis adalah bualan para akademisi yang gelap qolbunya. Penutupan kanal di hilir hanya efektif apabila unsur-unsur fisik, proses biogeokimia dan hidrologis diatas belum mengalami gangguan berarti, kira-kira tahun 198-an dulu.
Apa mau dikata, lebih dari 80 persenlahan gambut di bumu Lancang Kuning dikelola dengan tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan (sustainable use). Peluang untuk kembali ke pangkal jalan masih terbuka. Kita ketuk hati penguasa nun jauh disana, untuk merehabilitasi lingkungan hidup dengan seksama. Dahulukan rakyat, walau pengusaha dan pemegang senjata kau buat kecewa. Ingatlah ketika suatu masa, dimana tiada berguna lagi pangkat dan harta.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu, 11 NOvember 2015
redaksi@uin-suska.ac.id