Mantan Rektor IAIN Susqa Riau (Sekarang UIN Suska Riau)
BENCANA berupa kabut asap yang menurut Riau Pos pernah mendekap 2/3 wilayah Indonesia telah berlalu. Enam provinsi yang menderita paling parah adalah Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Namun kerja memerangi kabut asap agar tidak terjadi lagi belum berakhir. Bencana tahun ini paling parah ketimbang belasan tahun sebelumnya. Sebagian warga mengalami degedrasi kesehatan akibat menghisap udara yang tercemar. Diperlukan biaya besar untuk memulihkan kembali kesehatan warga. Di sisi finansial, perusahaan penerbangan domestik, Indonesia menderita kerugian sekitar Rp 20 Triliun. Kerugian boleh jadi berupa potensial lost.
Mengingat besarnya mudarat yang dialami warga baik fisik maupun finansial, maka tekad bangsa ini perlu ditanamkan agar bencana itu tidak terjadi lagi dimasa depan. Belasan tahun sudah cukup untuk dijadikan pelajaran. Bukankah orang Inggris ia mengatakan experience is the best teacher (pengalaman guru yang paling baik) atau seperti kata orang Minang “alam takambang jadi guru”. Ataukah kita akan selalu menjadi murid yang bebal?
Rakus Tanah
Bumi dan segala isi yang terkandung didalamnya diguunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, demikian bunyi amanat konstitusi. Selama ini, selama turun temurun, amanat itu memang dijalankan. Rakyat menebang dan membakar hutan untuk keperluan ladang berpindah atau menanam karet. Di Indragiri Hilir rakyat menanam kelapa dan produksinya berupa kopra membuat mereka makmur. Pernah terjadi jamaah haji terbanyak dari Riau berasal dari “negeri seribu Parit” itu. Untuk ketiga komoditas itu hutan ditebang dan dibakar akan tetapi karena dalam skala 2 hektare tidak terjadi degedrasi lingkungan. Fauna dan flora hidup berdampingan dengan manusia (sekarang gajah masuk kampung karena hewan besar itu tidak lagi punya habitat), maka janganlah ditanya kenapa ia datang.
Akan tetapi setelah orang Indonesia mengenal adanya sesuatu yang sangat bernilai dibalik tandan sawit, maka berlakulah bunyi pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Ketika “dollar hijau” itu belum dikenal hutan tidak diusik. Akan tetapi ketika diketahui nilai yang terkandung dalam bijinya, maka perlombaan membabat hutanpun dimulai guna menanam sirakus tanah itu )dan juga rakus air dengan cara menyedot air dari waduk/sungai).
Kadang-kadang terjadi benturan antara tanah bakal perkebunan sawit dengan “hutan adat” dan yang menang tentulah pengusaha berkapital besar itu. “Hutan kita sudah tipis. Sekarang susah unuk mencari kayu untuk membangun rumah anak kemenakan, “kata seorang penghulu adat. Anak-anak sekarangmemang tidak pernah tahu bahwa kayu untuk membangun rumah kakek mereka ditebang di hutan dan diangkut oleh kerbau ke kampung (disebut kerbau pendarat yang kini tinggal kenangan). Masalahnya pemerintah kala itu lebih mendengarkan suara kaum pemodal dari pada kaum adat.
Penegakan hukum
Apakah bencana akan datang lagi atau tidak tergantung pada sikap kita yakni apakah hukum ditegakkan atau tidak. Ketika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu si pelaku akan jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Calon si pelakupun akan berpikir seribu kali sebelum membakar hutan pula. Maka negeri terbebas dari bencana. Akan tetapi bila hukum bisa dipermainkan alias KUHP (kasih uang habis [erkara), bencana akan datang lagi. Pembakaran hutan dan lahan (Karhutla) akan mencemari udara lagi, ulah pemain lama plus pemain baru. Agar bencana benar-benar menghilang, para penegak hukum hendaknya memutus perkara sesuai suara nuraninya yang tentu sesuai pula dengan nurani rakyat yang pernah dibuat menderita itu. Hukuman bagi karhutla adalah UU No. 41/1991 tentang Kehutanan. Pelaku diancam pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Lalu UU No. 18/2004 tentang Perkebunan. Dinyatakan apabila dilakukan dengan sengaja diancam pidana paling lama 3 tahun dan denda Rp 3 miliar.
UU menyangkut karhutla ini ternyata bukan dua diatas saja. Ada UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Daya Alam Hayati, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena banyaknya undang-undang, maka pelaku karhutla dapat dikenakan pasal berlapis.
Diantara enam provinsi terdampak, Provinsi Kalimantan Tengah memberlakukan Peraturan Gubernur (Pergub) yang diduga melegalkan pembakaran lahan sebagai metode pembukaan perkebunan dan pekarangan. “kami minta Pergub dicabut” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tidak jelas apakah karena pertimbangan ini Kalteng merupakan satu-satu provinsi di Kalimantan yang dikunjung presiden dan rombongannya baru-baru ini.
Sejauh ini pemerintah telah mendaftar 413 perusahaan yang diindikasikan melakukan karhutla seluas 1,7 juta hektare. Perusahaan-perusahaan itu kini melalui proses klarifikasi dan verifikasi menteri. Tapi rakyat tak sabar menunggu lebih lama lagi, Bu Menteri.
Penutup
Tulisan ini ditutup dengan mengungkapkan informasi dari Dr Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Pada Konferensi Pemanasan Global (Global Warming Conference) di Kopenhagen, negara-negara anggota terutama dari Eropa meminta agar Indonesia melestarikan hutannya yang dinilai berfungsi sebagai paru-paru dunia. Ketika diingatkan mereka juga menebang hutan, mereka mengakui bahwa nenek moyang mereka telah salah dan Anda hendaknya tidak membuat kesalahan yang sama, pinta mereka. Kini terserah pada kita apakah kita akan terus membabat dan membakar hutan dengan segala derita yang ditimbulkannya, ataukah kita melestarikannya sambil memanfaatkan sumberdaya alam itu. Ya Rabbabana, berilah kearifan kepada pemimpin-pemimpin kami agar nikmat hutan-Mu itu menyejahterahkan kami. Ya Allah perkenankanlah doa semua hamba-Mu yang terzalimi ini.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 13 November 2015
redaksi@uin-suska.ac.id