Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau
MELAYU dan pujangga dipagar alam rimba raya. Dunia bahasa, dunia kreatif, perenungan kontemplatif, bersambung rasa dalam adat, merajut budaya bersendi akal mulia. Rimba dengan pelbagai fauna dan flora, sungai dan suak, ceruk dan rantau, mengilhamkan imaji Melayu yang sasa. Sebuah impian puak yang rindu ketentraman, kebajikan dan pembagian ruang hidup dengan seksama. Imajinasi Melayu bukan resep untuk menjadi ras arya yang perkasa, rasa superior dan ego puak yang berhasrat menguasai benda dan pusaka. Rimba adalah perlambang idealisme Melayu, keinginan untuk berpangku-pangku dengan hewan, bersatu dengan tumbuhan dan ekologi ciptaan Tuhan. Rimba kemudian merecup dalam berpusu-pusu pantun dan ungkapan, riuh rendah dalam kehalusan prosa, menyuarakan suara hati yang bersambut kicau burung di kala pagi. “Di atas pulau gambut ini, peluh kita pernah tumpah, dibawa anak sungai yang menjalar di akar-akar bakau. Sampan tua yang mengapung, di atas harapan dan doa, kita dayung menuju muara. Tempat ikan-ikan mengaji laut dengan siripnya….”
Kerapatan hutan nibung, tidak saja menjadi sumber katahanan pangan pribumi, tetapi telah jadi benteng Tuanku Tambusai dan Raja Haji Fisabilillah berlawan dengan penjajah Belanda. Harimau jadi kawan seperjuangan. Beruk dan kancil jadi tamsilan. Gambut jadi markaz keriangan hewan melata yang menghias senja, tempat jejak kaki budak-budak berlari telanjang dada, menanti matahari hilang ke peraduannya. Dari alam, kata Aldo Leopold, seorang pengasas ekosentrisme, masyarakat membentuk budaya. Budaya yang segan silu penuh cinta, budaya terbuka, sikap harmoni yang tiada tara laksana siulan daun keladi di malam gulita. Kecik tapak tangan, nyiru kami tadahkan,” demikian ungkapan Melayu yang terkenal itu.
Kesucian dan cinta pada alam buana, ternodai zaman yang kian menggila. Para penderhaka yang datang ke tanah Melayu, suka membuat gaduh sehingga kampung dan hutan laksana diaruk garuda. Para pujangga resah, tak mereda walau sudah mengusap dada. Syahdan, meluncurlah kalimat indah pengganti geramnya; “Hanya solilokui. Belajar mendengkur tanpa suara. Daun-daun bergesek telah melahirkan gema yang lain.” Bukan gaung keresahan, tapi dendang luka yang diam-diam bergoyang dalam jiwa, Bolehkah? Lalu kota minyak yang kurus itu, kampung sialang yang pupus, dusun hutan yang hangus, pulau ikan yang mampus, atau pelosok tanah air yang diberangus, apakah mungkin ditumpuk dalam kardus dan dihanyutkan ke seberang tempat dulu kita pernah dikhianati?
Kemurkaan para pujangga Riau, rupanya telah menjadi semacam prediksi akan nasib bumi Melayu menjelang “mati”. Jalur lintas alam Melayu, terhadang traktor dan alat berat yang menyebabkan anak kemenakan melarat. Kampung sialang penyimpan madu orang Petalangan dan Talang Mamak segera pupus, memadamkan api intelektual Tenas Effendy yang telah lama memeluk resam para bung di Petalangan, Kerajaan Pelalawan. Dusun hutan yang hangus pertanda kebakaran lahan dan hutan (Karhutla) yang menghebohkan Presiden Jokowi dan Menteri Siti Nurbaya akan terus menjadi takdir abadi negeri Lancang Kuning berlayar karam. Agaknya, ”Datuk Meringgih” ala penderhaka tanah Melayu tetap akan menjadikan Riau sebagai anak pingit bin “Siti Nurbaya” dalam kungkungan cukongisme lingkungan hidup.
Dekonstruksi De-Rida
Dalam perang ekonomi budaya semacam itu, seorang Rida K Liamsi menampakkan kekhawatirannya akan eksistensi kebudayaan Melayu hari esok. Firasat itu ia tuangkan dalam tulisan “Pancang-pancang Pemikiran Kebudayan Memasuki MEA” yang dimuat harian Riau Pos. Rida secara terus terang, merisaukan akan keindependesian berkarya seniman Riau apabila tidak mempunyai kemandirian ekonomi. Ia khawatir seniman akan kandas ketika bergantung pada ketiak orang lain, pemerintah, berselingkuh dengan kaum kapitalis atas nama kemajuan atau berubah menjadi pengikut mahzab seniman borju yang gila harta. Ia mengingatkan bahwa “punat” kebudayaan Melayu terletak pada idealisme dan panggilan hati, bukan pada materi. Seniman harus menggali sumber-sumber kekuatan kepujanggaannya. Ia mempelajari para pendahulunya yang terilham dari rimba alam semesta sebagai ruh kreativitas yang menghidupkan jiwanya, karena dengan perenungan itu ia akan merasakan kebesaran Tuhan, apa misi hidupnya, dan apa peranannya dalam kehidupan. Perenungan ini melahirkan sikap kritis dan karya-karya yang bertenaga, sebagaimana WS Rendra, Idrus Tin Tin, Mas Pram (Pramoedya Ananta Tur) atau puisi-puisi Marhalim Zaini di awal reformasi dulu.
Rida disentakkan oleh Mahathir dalam “Dilema Melayu”. Orang melayu termasuk seniman, setia pada tradisi, dan karena itu akan gagap (terkikis) bila diajak ke kemajuan industrialis yang menempatkan supremasi modal’. Berguru pada Derida, seorang filsuf prancis yang terkenal dengan jargon dekonstruksinya, kita memerlukan upaya dekonstruksi terhadap Rida (De-Rida), agar mampu mengelaborasi api kebudayaan dari pancang-pancang pemikirannya itu.
Agaknya Rida hendak berpesan, berkesenian bukanlah untuk seni itu sendiri, tetapi untuk perjuangan kemanusiaan dan perjuangan kemelayuan. Ia adalah historis empiris, bukan a-historis borjuis atau terhumban dari pusaran perjuangan Melayu yang hakiki. Membuat sorak sorai kesusastraan yang terus dirayakan dalam gemuruh cita-cita modal dan kemoderenan kelas, niscaya hambar bila tak bersentuhan dengan kampung yang tergadai dan marwah yang berkecai.
Akhirnya, bung Marhalim pun berduka; “Mungkin air merah dari akar gambut yang memandikan ingatan kita, tentang Sakai yang telanjang disesai suku kota, tentang Duano yang memancing biota di antara arus angin yang bersilangan di laut jiwa, atau tentang kita, para peragu yang kehilangan muara, tersesat di dunia sisa, jadi perlambang bagi pabrik benda-benda, dan tak bisa lagi selain menikmati derai tawa hampa, di sekujur badan penuh rajah peta luka…
Diposkan oleh Tim LIputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Sabtu, 26 Desember 2015
redaksi@uin-suska.ac.id