Bertemu dengan bulan Muharram adalah kebahagiaan tersendiribagi orang beriman. karena bulan ini kesempatan emas untukmendulang kebaikan dan amal shaleh. semangat ini tergambardalam kehidupan generasi awal. Seperti Umar, Aisyah, Abu Tholhah dan yang lainnya. Berkata Abu Usman An nahdi; “Adalah kebiasaan para salaf mengagungkan tiga waktu darisepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulanRamadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluhhari pertama bulan Muharram”.
Semangat dan kesungguhan generasi awal beribadah dalambulan Muharram bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupanmereka, karena mereka sangat faham bahwa bulan Muharram adalah bulan yang agung lagi mulia, bulan yang Allah sandarkankepada diriNya (syahrullah), bahkan saking terhormatnya bulanini sehingga disebut dengan Syahrullah Al Asham (bulan Allah yang sunyi) karena tidak boleh sedikitpun riak dan konflik di bulan ini.
Di antara kemuliaan bulan Muharram ia termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci) sebagaimana firman Allah swt suratAttaubah, ayat 36. “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisiAllah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktuDia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulanharam. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” dinamakanbulan haram karena bulan ini dimuliakan oleh bangsa arab sejakzaman jahiliyah sampai Islam datang. Adapun empat bulanharam tersebut, telah dijelaskan Nabi saw dalam sabdanya. dariAbu Bakrah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam bersabda: “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adadua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari & Muslim).
Berikut ini adalah amalan sunnah dan hukum yang harusdiperhatikan pada bulan Muharram, sehingga ibadah yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam:
Pertama: Melakukan puasa sunnah khususnya tanggal 9 dan 10 Muharram.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadan adalahpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim) Imam Nawawi berkata: hadis ini penegasan bahwa sebaik-baik bulanuntuk berpuasa adalah bulan Muharram.
Abu Qotadah Al Anshori berkata: Nabi saw ditanya mengenaipuasa asyura’? beliau menjawab: puasa Asyura’ menghapusdosa setahun yang lalu (HR. Muslim)
Dari Ibn Abbas, beliau berkata: “Saya tidak pernah melihatNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untukpuasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnyakecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadan.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Ibnu Rajab berkata: di antara ulama yang menganjurkanberpuasa pada tanggal 9 dan 10 muharram sekaligus adalahImam Assyafii, Imam Ahmad. Adapun Imam Abu Hanifahmenanggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada harikesepuluh saja.
Syaikh Bin Baz berkata: Yang lebih baik adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karenamengingat hadis Ibnu Masud, dan jika berpuasa pada harikesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9,10 dan 11) adalah baik, semua bertujuan untuk menyelisihi kaumyahudi.
Kedua: Menjauhkan diri dari perbuatan zholim di bulan ini
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisiAllah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktuDia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulanharam. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlahmenzholimi diri dalam bulan yang empat itu” [QS. At-Taubah: 36]
Para ulama menjelaskan maksud larangan berbuat zholim pada ayat tersebut adalah dengan tidak melakukan peperangan dan menumpahkan darah, ada juga sebagian berpendapat bahwamaksudnya tidak berbuat dosa dan kemaksiatan secara umum.
Di bulan mulia ini, hendaklah berhati-hati dari berbuat zholim, baik menzholimi diri sendiri maupun menzholimi orang lain. Karena kezholiman itu kegelapan di hari kiamat. Nabi saw bersabda: “Tahukah kalian dengan kezaliman, karenasesungguhnya kezaliman itu merupakan kegelapan-kegelapanpada hari kiamat” (HR. Muslim)
Ketiga: Hadis daif berkaitan keutamaan bulan Muharram
Terdapat beberapa hadis daif terkait keutamaan bulanMuharram, diantaranya:
Keempat: Menghindari perkara bi’dah dalam keyakinandan amalan di bulan Muharram.
Ada sebagian yang meyakini bahwa bulan muharram bulan sial, maka diajak untuk tidak melakukan aktifitas dan kegiatanapapun, jika ada yang melakukannya dianggap akan membawakepada kecelakaan dan kerugian. Tentunya keyakinan seperti iniadalah sebuah kesyitikan, karena meyakini terhadap sialnyasesuatu tampa ada dalil termasuk perkara thiyarah. Dan thiyarohitu adalah perbutan syirik berdasarkan hadis nabi saw: thiyarohitu syirik, thiyaroh itu syirik (HR. Abu Daud)
Menjadikan hari Asyura’ hari istimewa untuk anak yatim. Tersebar di masyarakat anjuran menyantuni anak yatim di haritersebut. Dalam kitab tanbihul ghofilin terdapat sebuah hadis, barangakali ini yang melandasi keyakinannya: “Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hariAsyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkatderajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satuderajat.”
Para ulama menghukumi hadis di atas dengan hadis palsu. Karena dalam jalur sanadnya terdapat perawi yang bernama: habib bin abi habib. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmadbahwa beliau pernah berdusta. Dan ulama lain juga senada yang perkataan Imam Ahmad.
Penjelasan di atas sama sekali tidak melarang siapapun yang ingin menyantuni dan berbuat baik kepada anak yatim, karenamenyantuni mereka adalah amalan mulia. Nabi bersabda: “Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jariini ketika di surga.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau memisahkannya sedikit. (HR. Bukhari).
Dalam hadis ini nabi menjelaskan keutamaan menyantuni anakyatim secara umum, tampa menyebutkan waktu khusus. Artinyamenyantuninya berlaku kapan dan dimana saja. Dalam hal initerdapat kaedah yang mesti kita fahami. “Semua bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syariat berdasarkandalil umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlakini dengan waktu, tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimanaakan muncul sangkaan bahwa batasan ini merupakan bagianajaran syariat, sementara dalil umum tidak menunjukkan hal inimaka batasan ini termasuk bentuk bid’ah.” (Qowa’id Ma’rifatilBida’). Wallahu a’lam bisshowaf.
Penulis : Dr. Hidayatullah Ismail, Lc, MA (Dosen Pascasarjana UIN Suska, Prodi Hukum Keluarga S3)