Post Views: 83,225
Bicara tentang guru dalam Islam, tentu tidak bisa dipisahkan dari sosok seorang yang beriman dan berilmu, yang berjasa mengantarkan manusia kepada kebaikan. Guru adalah lentera bagi manusia, pilar kokoh suatu bangsa. Tanpa keseriusan perjuangan dan pengorbanan mereka mustahil manusia memperoleh peradaban dan kejayaan ilmu pengetahuan. Jika kita perhatikan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis nabi, kita akan menemukan tingginya kedudukan para guru dan mulianya profesi mereka. Sebagaimana firmanNya dalam surat Al-Mujadalah ayat 11: “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Ibnu Mas’ud berkata: melalui ayat ini Allah memuji kedudukan orang berilmu. Imam Al-qurtubi menyimpulkan bahwa seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pertama karena keimanannya kedua karena keilmuannya.
Penyebutan “iman” dan “ilmu” pada ayat di atas menunjukkan bahwa seorang guru memiliki visi yang sangat mulia dan peran yang sangat utama yaitu mengajarkan kebaikan kepada manusia. Hal ini tergambar dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan di lautan, benar-benar mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (HR. At-Tirmizi). Abdullah ibnu Mubarak berkata: Aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang paling tinggi dan mulia melainkan menyebarkan ilmu agama.
Hadis lain yang senada dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memahami ilmu agama dan mengajarkannya kepada manusia akan selalu dimohonkan ampunan dosa-dosanya oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan” (HR. Abu Daud).
Keistimewaan lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tingginya kedudukan guru dan ilmu dengan menafikan persamaan kedudukan antara mereka dengan yang tidak berilmu. sebagaimana firmanNya “Katakanlah, ‘tidak mungkin disamakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu.” (QS. Az-Zumar: 9). Syaikh Abdurrahman Assa’di mejelaskan bahwa kedudukan mulia seorang guru seiring dengan niat yang tulus dalam menjalankan tugasnya. Dimana Allah akan mengangkat kedudukan mereka di dunia dan di akherat serta membalas setiap kebaikan dengan pahala, hal ini merupakan puncak kemuliaan seorang yang berilmu.
Al-Quran telah memberikan dorongan kepada manusia untuk selalu berusaha belajar ilmu dan semangat untuk menambahnya. Karena ilmu adalah pilar-pilar keimanan, setiap bertambah ilmu seseorang menjadi sebab bertambah keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan persaksian kepada yang berilmu. Dan yang dipersaksikan adalah hal yang berkaitan erat dengan inti keimanan mereka. Yaitu persaksian dari Allah tentang tauhidnya orang-orang yang berilmu. “Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, (memberikan persaksian) bahwa: tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha-bijaksana.” (Ali Imron, ayat 18). Imam Ibnu Kasir menjelaskan: hal ini menunjukkan keistimewaan bagi para ulama karena persaksian mereka disebutkan seiring dengan peraksian Allah dan para malaikatnya yang mulia.
Al-Quran juga menjelaskan bagaimana kita memperlakukan seorang guru, sebagaimana yang tergambar dalam kisah musa Bersama khidir. Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (QS. Alkahfi: 66) ini adalah pertanyaan yang santun yang menunjukkan adab yang mulia kepada guru. Ibnul Jauzi menjelaskan maknanya: Hendaknya engkau mengajariku ilmu agar menjadi petunjuk. Kisah ini adalah anjuran untuk melakukan safar menuntut ilmu, dan dibolehkan belajar kepada yang lebih rendah kedudukannya untuk mendapatkan kemuliaan. Serta kisah ini juga mengajarkan agar beradab dan tawadu’ terhadap sang guru.
Kisah kehidupan para sahabat adalah sebaik-baik contoh bagaimana seorang murid beradab dan memuliakan guru. Abu Said Al-khudri menceritakan: Saat kami sedang duduk di masjid, tiba-tiba datang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia duduk dihadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung, tak satupun dari kami yang berbicara (HR. Bukhari) perhatikanlah, sebuah gambaran adab yang sangat mulia dari murid kepada sang guru.
Ibnu Abbas pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit dan berkata: “beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”. Ar-rabi’ bin Sulaiman juga berkata: “demi Allah saya tidak sanggup minum air sedangkan Imam syafii melihatku karena segan kepadanya”. Imam Syafii bercerita tentang dirinya: “dulu saya membolak balik kertas dihadapan guruku imam Malik dengan sangat pelan agar dia tidak mendengarnya, karena aku sangat menghormatinya”. beginilah seharusnya para murid memuliakan gurunya.
Ahmad Syauqi berkata dalam bait sya’irnya:
Sambutlah sang guru, dan berikan penghormatan untuknya # Hampir saja seorang guru menjadi seorang Rasul (menyamai fungsinya)
Tahukan engkau ada orang yang lebih mulia dan agung dari orang yang membangun dan membina jiwa-jiwa dan akal?
Umar bin Khattab berkata: “Tawadu’lah kalian terhadap orang yang telah mengajarkan kalian”. Karena sifat tawadu’, santun dan merendahkan diri kepada guru adalah kunci ilmu, sebagaimana dalam sebuah syair disebutkan: “ilmu tidak mungkin diperoleh oleh seseorang yang sombong sebagaimana air tidak akan mengalir ketempat yang lebih tinggi.
Sementara dalam hadis nabi, kedudukan para guru dan kemulian profesi mereka terdapat dalam puluhan hadis bahkan mungkin lebih. Seperti: “sesungguhnya para ulama pewaris para nabi” (HR. Abu Daud) betapa tingginya kedudukan mereka sehingga menyandang sebagai pewaris para nabi.
Bahkan kematian mereka dan tersebarnya kebodohan merupakan tanda hari kiamat. “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.(HR. Bukhari)
Di alam barzah mereka juga mendapat pahala yang terus mengalir. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits, “Jika seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga amal: sedekah yang jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak yang selalu mendoakan,” (HR. At-Tirmizi).
Demikianlah kemuliaan dan kedudukan seorang guru dalam kaca mata syariat, semoga setiap kebaikan yang disampaikan dan pengorbanan yang diberikan seorang guru menjadi pahala yang tak terhingga di sisiNya. Barakallahu fiikum wahai para guru..Wallahu a’lam.
Penulis : Dr. Hidayatullah Ismail, Lc,. MA
(Dosen Pascasarjana UIN Suska Riau, Prodi Hukum Keluarga S3)