Post Views: 2,735
Banyak cerita menarik di balik pengelolaan keuangan organisasi mitra pemerintah semisal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga keagamaan lainnya, yang akhirnya berujung pada musibah. Baik berupa temuan yang berujung dengan pengembalian anggaran, bahkan penjara, akibat keteledoran dan penyalahgunaan dana hibah dari pemerintah.
uin-suska.ac.id Seperti yang disampaikan Kepala Biro Kesra Provinsi Riau, H. Zulkifili Syukur, MA, M.Si., saat memberikan sambutan mewakili Gubernur Riau pada acara penyerahan sertifikat penghargaan hasil monitoring dan evaluasi (Monev) MUI Pusat kepada MUI Provinsi Riau sebagai salah satu dari lima terbaik di Indonesia. Acara tersebut berlangsung di aula pascasarjana UIN Suska Riau pada Selasa malam (28/11/2023).
Salah satu cerita mencatat bahwa ketua MUI suatu daerah terpaksa dipenjara karena tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangan negara yang dihibahkan pada mereka. Ironisnya, sang Kiyai mengklaim bahwa pertanggungjawaban keuangan tersebut telah diserahkan kepada Allah SWT. Namun, alasan tersebut tentu tidak dapat membebaskan sang Kiyai dari jeratan hukum.
Senada dengan hal tersebut, Ketua MUI Provinsi Riau, Prof. Dr Ilyas Husti, MA ternyata juga pernah punya pengalaman yang sama di awal kepemimpinannya. Bedanya, tindakan yang dilakukannya lebih atas dasar belas kasihan kepada para ulama. Ia membayarkan honorarium dengan nominal lebih tinggi dari ketentuan seharusnya.
“Waktu itu seharusnya dibayarkan Rp180.000 sesuai ketentuannya, akhirnya dibulatkan menjadi Rp200.000 ribu saja. Ternyata setelah diperiksa, itu menjadi masalah. Terpaksa harus mengembalikan, walau kelebihannya Rp20 ribu saja,” ungkap Prof. Ilyas Husti, yang disambut dengan tawa.
Pengalaman tersebut mendorong MUI Provinsi Riau untuk terus berbenah, belajar dari MUI di berbagai daerah, dan memperhatikan cara pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan perubahan regulasi. Hasilnya, MUI Provinsi Riau mendapatkan pengakuan sebagai lima besar terbaik se-Indonesia melalui penganugerahan piagam dan sertifikat penghargaan dari MUI Pusat.
Menyadari pentingnya pengelolaan keuangan sesuai regulasi yang berlaku, MUI Provinsi Riau tidak hanya berhenti pada penghargaan tersebut. Momen tersebut juga dimanfaatkan untuk menggelar “Bimbingan Teknis Manajemen Organisasi, Kesekretariatan, dan Keuangan MUI” di dua tempat berbeda. Pesertanya melibatkan para pengurus MUI Provinsi dan perwakilan MUI se-Kabupaten Kota di seluruh Riau.
Sesi pertama dilaksanakan di aula pascasarjana Kampus II UIN Suska Riau, Jalan KH Ahmad Dahlan No. 94 Sukajadi, dengan pembicara langsung dari tim MUI Pusat Jakarta. Sesi kedua dilanjutkan di Hotel Evo, Jalan Sudirman Pekanbaru, yang direncanakan hingga hari ini, Kamis (30/11/2023).
Dari seluruh narasumber, terdapat kesepakatan tentang perlunya pengelolaan keuangan yang berorientasi pada dunia akhirat. Seperti yang disampaikan oleh Sekjen MUI Pusat, Buya Amirsyah Tambunan, terdapat tujuh prinsip tata kelola MUI dan organisasi keagamaan lainnya yang harus dijalankan, terutama terkait dana hibah dari pemerintah dan instansi lainnya.
Pertama, kewajaran (fairness) dalam pelaporan aset. Kedua, keterbukaan (transparency). Ketiga, akuntabilitas (accountability) agar segala sesuatu yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan di dunia akhirat. Keempat, pertanggungjawaban (responsibility). Kelima, menjadi pelopor dalam masyarakat untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Keenam, inisiatif. Ketujuh komunikasi (communication) yang mampu mengembangkannya lebih baik dengan pemangku kepentingan (stakeholder) sehingga program kerja dapat dilaksanakan.
Terkait tata kelola, diperlukan tiga pilar; pertama, terus berupaya menjalankan pedoman kebijakan tata kelola yang baik dan benar. Kedua, penting menerapkan standar operating procedure (SOP) dalam pengelolaan. Ketiga, pelaporan keuangan sesuai standar akuntansi.
Hal ini sesuai dengan standar indikator yang ditetapkan. Pertama, eksistensi dan manfaat lembaga yang semakin dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kedua, kredibilitas ditentukan oleh tata kelola yang baik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan, merujuk pada standar ISO 9001:2015. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan untuk meningkatkan dukungan dari para pemangku kepentingan MUI.
Hal ini dianggap penting, sebagaimana diungkapkan oleh pembicara lain, Prof. H. Muhammad Adlin Sila, M.A., Ph.D., bahwa kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan kalah oleh keburukan yang terorganisir.
Lembaga MUI dan keagamaan lainnya memang menjadi wadah ulama pewaris Nabi, di mana pengabdian mereka tidak hanya untuk target tetapi juga untuk umat. Namun, ketika berbicara tentang pengelolaan keuangan, pertanggungjawaban mereka tidak hanya kepada Allah di akhirat, melainkan juga kepada hukum yang berlaku di dunia.
Sementara sistem manajemen ISO 9001:2015 yang diterapkan MUI sejak lima tahun terakhir tidak bertentangan dengan ajaran agama. Pada prinsipnya, sesuatu harus direncanakan, dituliskan, dan dilaksanakan sesuai perencanaan.
Tentunya, hal ini dapat dijadikan rujukan bagi semua lembaga atau organisasi keagamaan. Karena selain pertanggungjawaban kepada Tuhan, kemaslahatan dunia juga perlu menjadi perhatian. Jangan sampai niat baik berbuah keburukan. Wallahualam.
Penulis :
Suardi
(ketua komisi Humas MUI Provinsi Riau, Dosen tetap Prodi Komunikasi UIN Suska Riau)