Post Views: 2,527
uin-suska.ac.id Hari kedua (02/02/2024) pelaksanaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2024 di UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. Hj. Helmiati, M.Ag (Wakil Rektor I UIN Suska Riau) berpartisipasi aktif pada pelaksanaan AICIS 2024 sebagai pembahas paper yang bertema “Balancing Majoritarianism and Pluralism in Global Context”. Kritikan dan saran dari para pembahas dalam kegiatan AICIS ini menjadi pelengkap dan penyempurna paper yang disajikan para penulis untuk selanjutnya diharapkan publish pada jurnal bereputasi.
Pada kesempatan itu, Prof. Dr. Hj. Helmiati, M.Ag, memberikan masukan terhadap artikel Hero Gefthi Firnando, dosen pada STIE GICI Business School “Religious Pluralism and Global Ethics: Navigating Human Crisis through the Principles of Freedom of Religion and Conscience”. Prof. Helmiati menegaskan bahwa masalah global kontemporer terlalu banyak ragamnya, apakah tidak terlalu berat untuk bisa diselesaikan hanya dengan toleransi agama dan etika global? Karena itu, sebaiknya lebih dispesifikkan lagi permasalahan global seperti apa yang dapat diselesaikan dengan pluralisme agama dan etika global.
Prof. Helmiati juga membahas tiga artikel lainnya yakni “The Challenges of Religious Moderation Within the Perspective of the 2045 Golden Indonesia Vision: A Response to the Tendency of Alienation Behavior”. (Perdana Putra Pangestu , UIN Walisongo Semarang). Prof. Helmiati menilai artikel ini menarik dimana penulis mengasumsikan konsumsi digital yang berlebihan yang difasilitasi oleh internet dan sosial media sebagai penyebab seseorang teralienasi/terasing dari lingkungan sosial. Alienasi kemudian dilihat sebagai tantangan bagi moderasi beragama. Argumen penulis karena melihat salah satu karakteristik moderasi beragama adalah kohesi sosial dan interaksi sosial secara fisik. Prof. Helmiati mempertanyakan apakah konsumsi digital yang difasilitasi oleh internet dan sosial media selalu menyebabkan seseorang teralienasi dari lingkungan sosial? Bukankah hal tersebut relatif, karena tergantung pada tingkat intensitas penggunaan media digital dan content yang mereka akses. Keresahan penulis akan beralasan bila intensitas konsumsi digitalnya berlebihan dan contentnya menggiring pada pesan-pesan yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai moderasi beragama.
Artikel berikutnya yang dibahas adalah yang dipresentasikan oleh Muhammad Ulil Abshor dari Universitas Islam Internasional Indonesia: “Majoritarianism vs. Pluralism: A Socio- Religious Dynamic Pattern among Indonesia’s Religious Communities”. Prof. Helmiati menilai artikel tersebut menarik, mampu mengartikulasikan dengan baik fenomena kontestasi antara kubu majoritarianism dan pluralism dalam menciptakan citra Islam di Indonesia. Mayoritarianism dipresentasikan oleh komunitas Muslim 212, pluralism yang dipresentasikan oleh organisasi Muslim seperti NU dan Muhammadiyah. Muslim Mayoritarianism menjadi tantangan bagi gerakan toleransi, karena selalu merasa terancam oleh wacana-wacana non Islam, sementara Muslim Pluralis mempertahankan pandangan dan sikap egaliter dan toleran. Framing ini melahirkan asumsi tertentu yang mengkondisikan wacana keagamaan dan politik kubu mayoritarism. Artikel lainnya yang diberi masukan adalah yang ditulis oleh Arum Kholifatul Alyyah, dkk. dari UIN Walisongo Semarang “Harmonisasi AntarUmat Beragama: Analisis Modal Sosial Dalam Mewujudkan Kerukunan di Desa Karya Mulya Kota Prabumulih”.
Selain mengkritisi isi paper yang disajikan, Prof. Helmiati juga memberikan masukan terkait teknis penulisan artikel untuk Jurnal Internasional bereputasi. Antara lain terkait urgensi relevansi teknik pengumpulan dan analisis data serta urgensi referensi. Artikel untuk jurnal internasional bereputasi baik yang terindex Scopus maupun Web of Science (WOS) meniscayakan referensi yang ditulis oleh penulis yang berkompeten di bidangnya dalam jumlah yang memadai (biasanya minimal 40) dari artikel jurnal terbaru (5 tahun terakhir). Artikel yang ditulis dengan referensi yang authoritative semacam itu akan membuat kualitas dan kekuatan artikelnya seperti “standing on the shoulder of giant” (berdiri di atas pundak raksasa), menjadi sangat kuat dan tak terbantahkan ujar Prof. Helmiati.