Post Views: 26,403
Oleh : AMRIL M
(Guru Besar Pascasarjana UIN SUSKA Riau)
Surah ash-Shafat ayat 99-110 merupakan deskripsi lengkap dan padat tentang ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as, menunaikan perintah Allah swt, kemudian melahirkan apa yang kita kenal saat ini dengan ibadah qurban yang diperintahkan kepada setiap Muslim yang mampu menunaikannya pada hari `Idul Adha atau tiga hari tasyrik yang mengikutinya. Ibadah qurban yang diperintahkan Allah swt ini memang memiliki makna yang sangat dalam dan sakral, yang selanjutnya menjadi instrumen efektif bagi kebaikan keberlangsungan kehidupan umat manusia baik sebagai makhluk individual maupun sosial.
Paling tidak ada dua pelajaran yang amat berharga dan strategis yang mengiringi dari perintah ibadah qurban ini yakni tumbuhnya keceerdasan spiritual-individual dan kecerdasan spiritual-sosial. Dua kecerdasan spiritual ini amat diperlukan bagi kehidupan umat manusia saat ini yang tengah dilanda oleh derasnya dinamika dunia global dan digital yang telah menyeruak secara massif dalam relung-reluh segala aspek kehidupan manusia, sehingga sikap ambivalencies, split-personality, kebimbangan dan kegalauan dan seterusnya, tanpa disadari atau tidak, telah mewarnai sikap dan perilaku keseharian umat manusia di era abad 21 ini . Perilaku seperti ini akan semakin diperparah lagi ketika nilai-nilai etis ke-Illahiyah-an dan kemanusiaan, nilai-nilai budaya luhur dan universal setahap-setahap mulai ditinggalkan, Akibatnya sikap dan perilaku individualistis, egoistis, hedonistis, intoleran dan seumpamanya, marak subur dalam gaya kehidupan individu didalam masyarakat saat ini, bahkan malangnya nyaris diyakini sebagai gaya hidup abad ini.
Kondisi seperti ini bila dilacak sesungguhnya tidak terlepas dari pemanfaatan kecerdasan persepsional dan rasional semata yang sangat terikat oleh ruang dan waktu, kebenaran yang dihasilkannya akan berwatak fragmentaris dan dependentive, dan memutus keterhubungan dengan kebenaran-kebenaran lain yang dihasilkan oleh kecerdasan spiritual yang sarat makna bagi kebahagiaan dan kedamaian kehidupan umat manusia.
Berbeda dengan dua kecerdasan diatas, kecerdasan spiritual-individual dan spiritual -sosial dengan instrument pencarian kebenarannya disebut inteleksi (hati) diyakini oleh sebagian besar sarjana Muslim khususnya bahwa kecerdasan ini mampu menelusuri kebenaran secara komprehensif dan metafisis etis baik ranah humanis, ekologis dan teologis. Hal ini dikarenakan kecerdasan spiritual ini memiliki kemampuan melebihi kemampuan kecerdasan persepsional dan rasional untuk mencari kebenaran, sehingga dengan kemampuan spiritual ini, manusia dapat menjelanjahi dan menyelami pesan-pesan etis agama untuk mewujudkan kualitas kehidupan umat manusia, baik personal, sosial dan ekologial yang lebih baik dan bajik. Selanjutnya kecerdasan spiritual ini memiliki keinginan yang kuat pula untuk mewujudkan semua hasil pencariannya dalam kehidupan sehari-hari. Pencarian kebenaran yang terbaik dari yang baik dan yang terbajik dari yang bajik merupakan karakteristik utama dua kemampuan kecerdasan spiritual manusia ini. Khususnya kemampuan spiritual-individual manusia ini telah dibuktikan oleh Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as seperti diabadikan dalam surah ash-shafat ayat 99-110 di atas.
Ibadah Qurban: Mencerdaskan Kemampuan Spiritual-Individual.
Ibrahim as dan Isma‘il as sebagai pelaku sejarah, sekaligus sebagai simbol manusia yang taat, ikhlas dan bijak dalam menjalani perintah Allah swt, sangat sukses memanfaatkan kemampuan kecerdasan spiritual-invidual ini. Melalui kecerdasan ini, Ibrahim as dan Isma‘il as telah berhasil menunaikan perintah Allah swt melampaui kemampuan kecerdasan persepsional dan rasional manusia.
Nabi Ibrahim as sebagai seorang ayah tentunya secara naluriah tidak akan pernah bersedia melakukan penyembelihan anaknya Ismail as jika dilihat dari sudut kemanusiaan manapun. Bahkan perbuatannya ini akan dicap tidak berprikemanusiaan, pelanggaran berat hak azazi manusia dan melanggar hukum perlindungan anak. Semuanya ini dinilai diluar kelaziman rasio manusia, siapa pun yang hidup di zaman moderen ini. Begitu pula kesediaan Isma‘il as menyerahkan dirinya dengan sepenuh hati sebagai wujud ketaatannya kepada Allah swt dan ayahnya, juga akan dianggap perilaku menyimpang terutama seusia Isma‘il as yang masih remaja, dalam perspektif sains moderen terutama psikologi, merupakan masa pancaroba yang ditandai dengan jiwa pembangkang dan pemberontak. Justru sebaliknya Isma‘il as mampu meredam gejolak kelaziman jiwa anak seusianya itu sekaligus mematahkan grand teori psikologi yang sampai saat ini diakui validitasnya.
Pertanyaan yang menarik perlu dijawab disini adalah apa yang menyebabkan Ibrahim as dan putranya Ismail as mampu melakukan perbuatan di luar rasio dan hukum yang diapresiasi oleh sebagian para ahli bahwa dua instrument ini dapat membawa kehidupan umat manusia menjadi baik dan efektif di era sainstifik dan hukum saat ini.
Pertanyaan seperti ini akan didapatkan jawabannya apabila kita menelusuri kembali apa yang dilakukan Ibrahim as ketika mempelajari suatu realitas, termasuk kebenaran pesan-pesan nilai kebaikan agama. Ibrahim as ketika memahami suatu realitas selalu berupaya mencari kebenaran yang menyeluruh dan terdalam dengan memanfaatkan secara maksimal kemampuan inteleksi-nya (hatinya) mengiringi hasil pencarian kebenaran yang diperoleh melalui kecerdasan persepsional dan rasional dengan masing-masing intrumen pencarian kebenarannya adalah indra dan akal.
Dimaksudkan dengan kecerdasan spiritual dengan instrumennya inteleksi atau intuisi, atau dalam kajian ilmu tasawuf dipahami dengan qalb atau afidah, diyakini memiliki kemampuan untuk menyelami hal-hal pada ranah metafisis, terutama nilai-nilai kebenaran sejatinya yang memang telah Allah swt anugerahkan kepada setiap manusia. Lazimnya kebenaran yang dihasilkan oleh kecerdasan spiritual ini menurut filosof sains adalah hasil kerja sama dengan kecerdasan persepsional dan rasioanal, bahkan hasil pencariannya melebihi dari hasil kebenaran yang didapat oleh kecerdasan persepsioanal dan rasional terutama terkait dengan nilai
Sebagaimana diungkap umumnya oleh para filosof sains saat ini bahwa kecerdasan persepsional yang berbasiskan pada kesadaran empiris, sehingga kecerdasan ini hanya mengkhususkan diri untuk mengeksplorasi fenomena di ranah empiris dan faktual yang fragmentaris serta terikat oleh ruang dan waktu, namun tidak mampu memahami dibalik dunia fisik yang sejatinya sangat sarat dengan nilai kebenaran yang sesungguhnya dari sebuah realitas. Begitu pula kecerdasan rasional yang berbasiskan pada kesadaran logis bahwa aku berbeda dengan yang lainnya, aku berfikir maka aku ada, menjadikan kebenaran yang dihasikannya berwatak antropo-sentris, manusia memiliki posisi yang sangat menentukan, selanjutnya manusia memiliki keniscayaan untuk memanipulasi dan mengkalkulasi realitas di luar dirinya menurut kebenaran logikanya semata. Akibatnya kebenaran yang dihasilkannya sangat subjektif dan dominative serta sangat sulit melakukan dialogis dengan kebenaran yang dihasilkan oleh kecerdasan lain misalnya, sehingga kebenaran yang lebih komprehensif sulit didapatkan. Karenanya perbedaan pendapat sangat rentan dan relativistis tumbuh subur terutama dalam ranah nilai kemanusiaan dan sosial, ditambah lagi sikap dan perilaku praktis ala kemanfaatan sesaat dan singkat akan selalu mewarnai upaya pencarian kebenarannya.
Berbeda dengan dua kecerdasan persepsional dan rasional diatas, maka kecerdasan spiritual individual dan sosial memliki karekternya sendiri. Menyelami secara mendalam nilai-nilai kebaikan dan kebajikan kehidupan yang lebih dari sebelumnya, kemudian merefleksikannya dalam sikap dan perilaku keseharian, merupakan diantara watak kerja kecerdasan spiritual ini. Karenanya nilai-nilai ke-Illahiyah-an dan kemanusiaan, keuniversalan dan keabadian yang tidak tersekat oleh ruang dan waktu, tidak pula tersekat oleh komunal dan strata sosial, satu nilai kebaikan dan kebajikan untuk semua, selalu mencari yang terbaik dari yang baik, apatah lagi yang kurang baik. Semuanya ini merupakan diatara sasaran kerja bagi kecerdasan spiritual, sedemikian rupa kebenaran yang komprehensif dan universal serta terimplementasikan pada setiap sikap dan perilaku keseharian akan selalu terus diperjuangkan oleh kecerdasan spiritual ini.
Meminimalisasi kebenaran yang terbebas dari keraguan dan kebimbangan, Ibrahim as lakukan tidak berhenti pada hasil pencarian dari kecerdasan persepsional dan rasioal saja, tetapi diteruskannya ke kecerdasan spiritual. Upaya Ibrahim as seperti ini misalnya dijumpai pada surah al-An`am ayat 74-79 yang secara implisit menggambarkan bahwa Ibrahim As selain memanfaatkan dua kecerdasan yang pertama, juga memanfaatkan kecerdasan spiritual secara dialogis, kritis dan reflektif terhadap fenomena alam dan realitas lainnya demi mendapatkan kebenaran yang sempurna. Begitu pula pada surah al-Baqarah ayat 260 yang mendeskripsi tentang keinginan Ibrahim As untuk memperkokoh keyakinannya terhadap kebenaran sebuah realitas dan keimanannya terhadap Tuhannya, Ibrahim memaksimalkan kecerdasan spiritualnya setelah sebelumnya memaksimalkan kecerdasan persepsional dan rasional, sebuah ketidak laziman dilakukan oleh para saintis modern umumnya,
Kecerdasan spiritual yang telah dimiliki oleh Ibrahin as melalui penguatan inteleksinya (hatinya) ini, kemudian ditularkannya pula kepada putranya Ismail as melalui dialog kritis dan diiringi pula dengan penuh kesabaran, sedemikian rupa segala kecemasan dan kebimbangan kemanusiaan sebagai manusia sirna demi menjalankan perintah Allah swt. Sedemikian rupa, peristiwa ini menjadi ibadah qurban dalam Islam seperti yang dikenal sampai saat ini.
Kekokohan keimanan Ibrahim as dan Ismail as sesunggunya memberikan pelajaran bahwa pemanfaatan dan pemberdayaan kemampuan inteleksi sebagai instrumen kecerdasan spiritual, kemudian didukungan oleh kecerdasan persepsional dan rasional, merupakan syarat utama untuk mendapatkan dan memperkokoh keimanan dan keikhlasan dalam mengapresiasi dan menunaikan perintah dan larangan agama Islam. Tegasnya tumbuh dan kembangnya keimanan kepada Allah swt dan keikhlasan dalam menunaikan ajaran agama Islam dapat dihasilkan bila terjadi keterjalinkelindanan antara kecerdasan persepsional, rasional dan spiritual yang memang telah Allah swt anugerahkan untuk manusia.
Kecerdasan spiritual-individual ini sesungguhnya dapat bertumbuh dan berkembang jika terus menerus dilakukan dialog kritis dengan kecerdasan spiritual. Misalnya temuan-kebenaran yang dihasilkan oleh kecerdasan persepsional yang berbasis ranah empiris dan saintifis, tersekat oleh ruang dan waktu, factual serta dependentif ini dilakukan dialog kritis dengan nilai-nilai ke-Ilahi-an dan kemanusiaan, keuniversalan dan keabadian sebagai karakteristik kecerdasan spiritual. Begitu pula hasil temuan keceerdasan rasional yang berkarakteristik dominative, subjektif dan relative, terus menerus dilakukan dialog kritis dengan kecerdasan spiritual sebagaimana dilakukan pada kecerdasan persepsioanl. Melalui dialog kritis seperti ini watak kesementaraan dan kedangkalan yang dihasilkan oleh dua kecerdasan yang pertama ini akan tereliminasi sehingga keniscayaan kebenaran nilai yang komprehensif dapat dicapai.
Ibadah qurban sesungguhnya tidak hanya mengikat hubungan manusia dengan Allah swt semata melainkan juga mengikat erat hubungan kemanusiaan sesama manusia. Kualitas hubungan kemanusiaan ini akan terrealisasikan bila kecerdasan spiritual-sosial dalam ibadah qurban ini terus diasah dan ditingkatkan dengan memberikan sembelihan daging qurban kepada sesama tanpa diiringi oleh sikap diskriminasi dan pamrih dengan mengikuti tata cara dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama.
Senyatanya kecerdasan spiritual-sosial bagi seseorang ini setidaknya terlihat jelas dari sikap dan perilaku kesehariannya, misalnya disaat seseorang memiliki kelebihan harta sebagai pengusaha, maka ia akan membangun struktur usaha yang berkeadilan distributive dan produktif, bukan sebaliknya menciptakan struktur usaha yang monopolik dan diskriminatif. Begitu pula jika ia sebagai pemimpin struktural yang memiliki kekuasaan, maka ia akan membangun struktur legislasi dan perundang-undangan yang berkeadilan social dan elegan, sehingga meniscayakan suburnya sikap partisipatif positif dan pro aktif karyawannya untuk membangun dan memelihara kebaikan sosial bersama, demikian seterusnya dalam posisi apapun dan dimanapun. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual ini, akan selalu mengorientasikan kehidupannya demi munculnya perubahan kebajikan social bagi masyarakatnya, bukan sebaliknya hanya demi keuntungan dirinya dan strata sosialnya. Dalam konteks seperti inilah makna kecerdasan spiritual- sosial senyatanya tumbuh dan berkembang dari ibadah qurban ini. Karenanya ibadah qurban tidak lagi sebatas sembelihan seekor binatang qurban yang dagingnya didistribusikan kepada sesama, tetapi lebih dari itu, yakni lahir dan berkembangnya sikap pro aktif yang amat peduli kepada kebaikan dan kebajikan kehidupan sosial masyarakatnya dalam segala aspek kehidupan, baik yang structural maupun kultural yang berkeadilan.
Perilaku kecerdasan spiritual-sosial ini sesungguhnya tidak dapat dipisahkan pula dari tanggungjawab sosial yang telah menjadi bagian yang inheren dalam diri setiap Muslim di tengah masyarakatnya. Upaya ini sesungguhya tidak terlalu sulit diujudkan ketika kita menyadari eksistensi kehidupan hari ini, kemudian membandingkannya dengan eksistensi kehidupan masa lampau. Misalnya saat ini kita memiliki kelebihan harta, bukankah sebelumnya kita pernah berada dalam kekurangan, atau jika saat ini kita memiliki kecerdasan sehingga memiliki keunggulan ilmu pengetahuan, bukankah sebelumnya kita seorang yang tidak berpengetahuan, atau jika saat ini kita seorang pemimpin dan penguasa, bukankah sebelumnya kita adalah rakyat biasa sama seperti lainnya ?. Oleh karena itu jangan melupakan eksistensi masa lalu kita ketika saat ini berada di puncak kehidupan. Justru sebaliknya semua kelebihan yang didapatkan saat ini kita manfaatkan untuk perbaikan dan kebaikan kehidupan sosial masyarakat yang lebih bermartabat menuju ke redhaan Allah SWT.
Dalam perspektif kecerdasan spiritual-individual dan spiritual-sosial, ibadah qurban semestinya tidak lagi dimaknai sebatas penyembelihan seekor binatang kurban semata, pahalanya dengan segala pernak perniknya menjadi milik peserta qurban,selanjutnya daging sembelihannya didistribusikan secara merata ke handai tolan dan tetangga, kemudian dianggap selesai, selanjutnya diulangi kembali pada tahun berikutnya. Tetapi sesungguhnya makna ibadah qurban melebihi dari itu semua, yakni ibadah qurban dapat dijadikan media strategis untuk mengembangkan kecerdasan spiritual sebagai penyangga utama lahirnya keimanan yang kokoh dan keikhlasan menunaikan semua perintah agama Islam dan menjauhi semua larangannya dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Illahiyah-an. Tanpa kecerdasan spiritual-individual dan kecerdasan spiritual-sosial, perintah agama yang dilaksanakan hanya menjadi sikap dan perilaku rutinitas kehidupan beragama semata, nilai-nilai mulia didalam ajaran agama akan kehilang daya rekonstruktifnya untuk kemaslahatan umatnya. Disini lah makna pentingnya pengembangan kecerdasan spiritual-individual dan spiritual-sosial pada ibadah qurban khususnya dan ibadah-ibadah keagamaan Islam lainnya.
Semoga ….Aamiin !!!
Pekanbaru, 28 Juni 2023