uin-suska.ac.id – Dalam mengkaji permasalahan tanah adat tentu kita harus menelusuri asal usul adat itu sendiri. Berbagai penelitian terkait adat di wilayah Riau dan juga Malaysia khusunya di negeri Sembilan berhasil mengungkap, bahwa Kampar sebagai Peradaban Melayu tua yang merupakan asal-usul adat di Riau dan Malaysia, bahkan juga di Singapura dulunya. Hal itu diungkapkan Rektor UIN Suska Riau, Prof DR H Munzir Hitami, MA dalam arahannnya saat membuka Seminar Internasional Tanah Adat, Senin (12/4/2016) lalu.
Bertempat di ruang Auditorium lantai V Gedung Rektorat UIN Suska Riau, digelar Seminar Internasional terkait Tanah Adat. Acara yang merupakan kolaborasi antara Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Suska Riau dengan Fakultas Syari’ah dan Undang-undang Universitas Sains Islam Malaysia (USIM) itu, menghadirkan para narasumber dari kedua Negara. Diantaranya walikota Pekanbaru, Dr H Firdaus, ST, MT, Dr Syahirah Binti Abdul Shukor dan Prof Dr Amir Husin M Nur.
Seperti diungkapkan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Suska Riau, Dr H Akhbarizan, M.Ag, M. Pd, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pertemuan ilmiah akademis antar kedua perguruan tinggi dalam semangat Integrasi Sains dan Islam. Diharapkan, seminar ini akan menghasilkan temuan-temuan baru dan rekomendasi tertentu terkait tanah adat. Ungkap Akhbarizan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Syari’ah dan Undang-undang USIM, Dr H Ahmad Zaki Lc, MA dalam sambutannya menyampaikan, banyak terdapat kesesuaian adat di Malysia dengan Indonesia. Untuk itu seminar ini diharapkan bisa mencari solusi tentang konflik-konflik terkait tanah adat yang terjadi di kedua Negara. Ahmad Zaki juga berharap, ke depan akan ada tindak lanjut lainnya antar kedua perguruan tinggi.
Selain itu Rektor UIN Suska Riau, Prof Dr H Munzir Hitami, MA yang bertindak sebagai pembuka acara juga menyampaikan, Pusat kerajaan Kampar di Muara Takus yang merupakan Peradaban Melayu tua dan sudah ada sejak Sebelum Masehi, sejak dulu menjadikan wilayah Malaysia dan Singapura menjadi tujuan perantauan masyarakat Kampar. Meskipun kini di Kampar sendiri, adat terkesan sudah mulai ditinggalkan masyarakatnya. Ungkap Munzir Hitami yang juga merupakan anak jati Kampar itu.
Dalam pandangan Munzir Hitami, adat sejatinya tidaklah boleh di tinggalkan. Karena merupakan identitas budaya masyarakat disuatu wilayah. Jika ditinggalkan akan berdampak pada tercerabutnya nilai yang menjadi akar dasar budaya diwilayah itu. Adat juga merupkan sistem sosial kebudayaan kedaulatan yang lahir dari rahim budaya tanah air kita.
Ketika Islam masuk, memang terjadi penyesuaian dalam nila-nilai adat. Distulah kemudian dikenal dengan istilah, adat bersandikan sarak, dan sarak bersandikan kitabullah. Intinya, masyarkat tak akan bisa hidup tanpa adat, karena adat sendiri merupakan sistem kehidupan masyarakat. Ungkap Munzir Hitami. Diakhir sambutannya, Munzir Hitami berharap kerjasama antar UIN Suska Riau dan USIM bisa terus berlanjut dalam memberikan manfaat-manfaat baik pada umat.
Senada dengan Rektor UIN Suska Riau, walikota Pekanbaru, Dr H Firdaus, ST, MT dalam pemaparan materinya mengungkapkan, julukan negeri minang untuk wilayah negeri Sembilan Malaysia adalah, nama lain sebutan untuk wilayah Kampar dari bahasa sangsakerta “minanga kampua”. Minanga kampua sendiri artinya persimpangan dua sungai yang kemudian dikenal dengan wilayah Kampar. “berdasarkan beberapa hasil penelitian saya sangat setuju dengan pendapat rector, bahwa Kampar merupan pusat peradaban Melayu Tua” ujar Fairdaus.
Dr H Firdaus ST, MT dalam materinya, juga memaparkan sejarah kesultanan Datuk Perpatih Pinang Sebatang di Kampar 1314 M. Hubungan masyarkat semenanjung, dan hubungan kota Pekanbaru dengan kerajaan Siak, serta kerajaan Riau Lingga. Dalam materinya Walikota Pekanbaru ini juga mengungkap permasalahan tentang pengakuan hak ulayat di Pekanbaru dari salah satu suku.
Sementara itu pemateri lainnya, Prof Dr Amir Husin M Nur dari USIM Malaysia mengungkapkan, permasalahan tanah adat, menjadi salah satu pekerjaan besar yang ditugaskan negeri Sembilan Malaysia untuk dikaji dikalangan akademisi USIM.
Menurut Amir Husin, ada lima hal yang tak bisa dipisahkan dalam mengkaji pelestarian tanah adat. Yakni masalah sosial, kepatuhan pada syari’ah, pemakaian undang-undang, pembangunan dan ekonomi serta perbandingan dengan pengalaman di Negara-negara serumpun.
Penulis: Suardi
(Tim liputan Suska News: Donny, Azmi, PTIPD)