Sekretaris Direktur Program Pascasarjana UIN Suska Riau
Perlu waktu puluhan ribu tahun, bagi umat manusia untuk mencapai 1 miliar jiwa pada tahun 1800-an. Sedangkan di sisi lain hanya 13 tahun bagi umat manusia dapat mencapai angka satu miliar sejak 1999. Kabar menggembirakannya adalah bahwa penduduk dunia akan mencapai puncaknya dan stabil sekitar 9 miliar jiwa, yang diperkirakan pada tahun 2045. Namun banyak yang akan terjadi antara sekarang dan tahun 2050 nanti. Akan terjadi perubahan besar dalam bidang sains, teknologi, ekonomi, lingkungan, sosial politik dan keamanan bahkan kehidupan beragama,
Gambaran dunia juga akan berubah karena pesatnya urbanisasi, yang akan bertambah seiring dengan berkembangnya kota-kota besar. Di Indonesia, tercatat 50 persen penduduk baru.
Pada tahun 2025, 65 persen penduduk kita tinggal di kota. Singkatnya, kita sedang menuju jumlah penduduk 9 miliar, seiring dengan keperluan dan sarananya. Itu berarti banyak orang-orang perlu diberi makan. Banyak orang perlu dipikirkan dalam produksi. Banyak negara dengan ekonomi kuat perlu menopang.
Persoalan lainnya ekosistem alam dan kemampuan pertumbuhan hayati kita sedang rusak parah sehingga membahayakan kemampuan bumi untuk mempertahankan kehidupan. Sumber daya alam semakin krisis, dan bencana terjadi di sana-sini, kebakaran hutan, bencana asap, banjir, gunung meletus, tsunami, angin topan, perubahan iklim, elnino dan elnina yang tidak beraturan, terjadi gagal panen, krisis air dan lainnya. Ekosistem alam terancam. Air, tanah, dan udara semakin tercemar. Cadangan air bersih semakin berkurang. Erosi tanah mengarah menjadi padang tandus. Pemanasan global telah terjadi. Dan spesies-spesies lenyap lebih cepat daripada laju kepunahan mereka secara alami. Kita hidup di dunia yang benar-benar bertolak belakang. Ini dunia yang melimpah, namun juga dunia yang semakin tidak merata. Ini dunia yang ditandai dengan berjuta kesempatan, namun juga dunia yang semakin langka. Ini dunia yang saling terkait dengan indah, namun juga dunia yang dibebani dengan rasa semakin gundah-gulana.
Kita melihat meningkatnya kekhawatiran dalam persaingan akan sumber daya, yang sebagian di antaranya telah berubah menjadi sengketa, dan kemungkinan konflik dan kekerasan yang tak berkesudahan. Umat manusia saling bunuh satu sama lain, dan terjadi migrasi besar-besaran seperti di Suriah dan lainnya.
Hal-hal yang fundamental dan membahayakan ini tidak dapat diatasi dengan berharap berlalu dengan sendirinya. Ini tidak dapat diatasi dengan kebijakan pragmatis, eksidentil, tambal-sulam sana-sini. Yang diperlukan adalah rekacipta ulang dan perombakan tatanan sistem pendidikan, termasuk perguruan tinggi (PT). Komponen PT yang bekerja lebih selaras satu sama lain dan lebih khusus untuk mengatasi apa yang pada hakikatnya merupakan masalah global.
Apa yang Harus Dilakukan?
Kita harus dapat mengubah cara pandangan yang antropocentrik kapitalistik kepada ecocentrik-etik-religius, yang telah berlangsung selama sekian dasawarsa dan sekian abad. Dunia tempat kita berada terobsesi mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mengindahkan etika-religius. Dunia tempat menguras sumber daya secara berlebihan dan konsumerisme yang tak terpuaskan. Dunia yang didorong oleh “kerakusan”, bukannya keperluhan.
Jika jalan ini yang kita tempuh, kita hanya akan menemukan lebih banyak persoalan. Jalan ini akan semakin membawa kita menuju kerusakan lingkungan. Hutan semakin gundul.
Pencemaran, kabut asap semakin bertambah. Penyakit ISPA bertambah. Bumi semakin panas, dampaknya makin banyak spesies yang terancam punah, juga manusia dan lingkungan. Makin banyak benturan kepentingan antara manusia dan alam. Dan pada akhirnya, umat manusia makin frustasi dan tidak nyaman. Untuk itu, saudara-saudara yang mengabdikan dirinya sebagai ilmuan mempunyai tanggung jawab moral dan akademis untuk mencari solusinya.
Kita juga dapat menggunakan lebih banyak teknologi. Apakah kita berbicara tentang ketahanan pangan, kekurangan energi atau ketahanan iklim, banyak masalah kita dapat diselesaikan dengan inovasi teknologi. Penulis percaya bahwa, lebih daripada sebelumnya, teknologi akan menjadi penggerak perubahan terbesar pada abad ke-21. Kita gembira karena kini kita melihat tren baru, di mana negara yang mulai maju ekonominya juga menjadi pusat inovasi baru, dan membelanjakan lebih banyak dana untuk penelitian dan pengembangan, secara professional, transparan dan tepat guna. Ini pertanda baik. Hal yang penting adalah, apabila memungkinkan, semua inovasi ini tidak hanya ditemukan, tetapi disebarkan demi kemanfaatan bersama. Pemerintah, universitas, sektor swasta, dan LSM dapat melakukan peran masing-masing untuk mewujudkan hal ini.
Krisis modernisme tidak berhenti pada krisis irasionalitas (krisis moralitas), krisis epistemologis, krisis ekologis, dan krisis kekerasan saja, namun juga krisis eksistensial. Sebaliknya, praksis kemanusiaan umat muslim pun mempunyai masalah yang luar biasa. Praktik pembunuhan para tokoh agama yang berbeda mazhab kerap berlangsung.
Kebobrokan moral dan ke-jumud-an berpikir terjadi pada kalangan urnat Islam. Peradaban baru memerlukan pandangan dunia baru yang lebih sesuai dengan realitas, artinya pengenalan kita terhadap Sang Khalik, pengenalan kita terhadap manusia lebih manusiawi, dan pengenalan kita terhadap alam lebih kosmis-religius.
Krisis peradaban yang ada sekarang telah begitu gawat dan tak akan pergi dengan sendirinya. Semakin banyak orang yang mulai menyadari bahwa percobaan modern untuk hidup tanpa agama telah gagal-total. Ditandai dengan adanya krisis pandangan dunia Barat yang tidak lagi dapat memuaskan kebutuhan spiritual, psikologi, sosial, dan material masyarakat pendukungnya. Peradaban Barat sekarang ini telah menjadi usang dan uzur. Perlu mencari paradigma baru bagi masa depannya, dan menemukan paradigm baru yang lebih mampu memenuhi kebutuhan material dan spiritual umat manusia.
Di balik hiruk-pikuknya kehidupan modern yang serba instan, mewah, glamour, praktis, tekno-mekanis, terpendam ancaman akut yang perlahan, lahan mengguncang dan menggerogoti sendi-sendi peradaban modern. Banyak kaum cendekiawan dan pemikir yang memprihatinkan kehidupan manusia sekarang dan ke depannya. Arnold Toynbee, Mahatma Gandhi, Erich Fromm, Ashley Montagu, Herbert Marcuse, Syed Hossein Nasr, Malik Ben Nabi, Baqir Ash Sadar, Ali Syariaty, Fritjof Capra dan lain-lain adalah contoh beberapa pemikir yang mengkritisi peradaban Barat dan menyuarakan peradaban Islam.
Kerisauan dan kegetiran terhadap peradabah manusia kontemporer juga dirasakan oleh para elite global. Dalam peringatan Hari PBB 24 Oktober 1999 lalu, dibahas bahwa abad ke-21 sebagai abad terkejam sepanjang sejarah manusia. Tiga dari total enam miliar penduduk dunia masih dililit kemiskinan, sebagai ”residu dari ketidakadilan global”. Maka muncul berbagai bencana kemanusiaan dan bencana alam. Untuk itu diperlukan sebuah revolusi budaya dalam pengertian sejati. Keberlangsungan seluruh peradaban kita akan sepenuhnya tergantung apakah kita mampu mengadakan perubahan tersebut atau tidak. Kita memerlukan sebuah paradigma baru, visi baru tentang realitas, perubahan yang mendasar pada pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita anut selama ini.
Mengapa kita memerlukan visi dan paradigma baru? Mengapa dikatakan bahwa peradaban modern telah deadlock dan kita memerlukan peradaban Islam? Apa dan bagaimana paradigma baru tersebut dapat kita ciptakan? Dari mana kita mesti mulai untuk mencanangkan proyek rekonstruksi peradaban baru?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu menengok ke arah terbentuknya peradaban modern dan menganalisis faktor-faktor yang terlibat di dalamnya. Kita juga perlu merefleksikan kondisi kehidupan manusia kontemporer yang telah memasuki abad ke-21 yang kerap dijuluki sebagai abad kecemasan, the age of anxiety.
Dalam hal itu, pelbagai krisis global yang kompleks dan multidimensional yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia modern berawal dari krisis paradigma. Persepsi, pemikiran, visi, ideologi yang dianut manusia modern umumnya terbelenggu oleh Paradigma Cartesian-Newtonian yang mekanistik-reduksionistik-positivistik. Yang pada gilirannya kini telah sampai pada lahirnya generasi yang memiliki pola hidup konsumerisme-materialistik, harus diganti dengan Paradigma Integrasi Ilmu-Agama-Teknologi- Kearifan Lokal.
Kita berada dalam krisis global yang serius. Yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional menyentuh dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia.
”Manusia telah mati”, sebagian di antara mereka mewujudkan diri dalam perilaku sebagai cheerful robot, yaitu manusia yang berusaha melarikan diri dari kegelisahan jiwa dan kecemasan eksistensial mereka dengan menceburkan diri dalam hiburan, kenikmatan sensual (terutama seksual), konsumsi produk-produk mewah, pelesir ke tempat yang menyenangkan, dan beratraksi dengan berbagai permainan. Semuanya dilakukan dengan tidak sadar, dan sepenuhnya tunduk kepada rekayasa psikologis dari para kapitalis pedagang kesenangan.
Sebagian lagi berperilaku seperti zombie, yaitu bangkai hidup yang gentayangan di jalan-jalan mencari mangsa, berdarah dingin tanpa emosi, bertindak anarkis-destruktif. Sebagian lagi, terutama pada kalangan terpelajar, kecemasan eksistensial diatasi dengan mencampakkan eksistensi mereka sendiri, yakni dengan mengambil sikap hidup apatis, serba skeptis, nihilistik, dan jika perlu, bunuh diri.
Krisis eksistensial yang terjadi di dunia kontemporer merupakan manifestasi dari krisis spiritual manusia modern. Ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya, manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya (centre of existence) sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi (periphery of existence). Oleh karenanya, kecemasan eksistensial manusia modern merupakan konsekuensi dari modus eksistensi mereka yang mencampakkan kehidupan spiritual mereka.
Sebuah Renungan
Masyarakat muslim telah ratusan tahun mengalami dua penderitaan akut yang melemahkan dinamika kreatif kaum muslimin, yaitu pertama, adanya intelektualitas sekular dan dogma agama yang tidak tercerahkan. Kaum intelektual sekular, dengan sengaja atau tidak, telah menyiramkan air ke dalam penggilingan musuh masyarakatnya sendiri. Kedua, dampak negatif dogmatis agama kerapkali lebih besar daripada sekularisme, khususnya karena biasanya dogma menggunakan pancaran agama sebagai legitimasi.
Cacat terbesar yang dimiliki kaum muslimin dalam kancah dan peradaban sekarang adalah kekurangan atau kelemahan dalam intelektual-religius. Intelektual religius adalah mereka yang mencintai kemanusiaan, memahami permasalahannya, merasa bertanggung jawab atas nasib mereka dan menghargai kebebasan manusia. Apa pun yang menghalangi langkah pertumbuhan dan evolusi manusia dianggapnya sebagai hal yang menentang kebebasan.
Tugas besar yang terpampang di depan kita adalah merekonstruksi pemahaman agama yang mampu merespons kebutuhan manusia modern. Pada wilayah ini, rekonsiliasi teologi dan antropologi, yang bermuara kepada kajian teosofi dan antroposofi, merupakan tuntutan sejarah.
Paradigma baru memerlukan pandangan-dunia baru yang lebih sesuai dengan realitas, artinya pengenalan kita terhadap Tuhan sesuai ajaran Alquran dan Hadis, pengenalan kita terhadap manusia lebih manusiawi, dan pengenalan kita terhadap alam lebih kosmis. Pengenalan kita terhadap Tuhan adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk mengenal Tuhan sebagaimana seharusnya dengan segenap kesempurnaan-Nya. Begitupun terhadap manusia dan alam. Di sini letak dasar Ontologis-Epistimologis–Axiologis peran Paradigma Integrasi –Inter-koneksi-Ilmu yang harus dibangun dalam pengajaran. Krisis eksistensial yang terjadi di dunia kontemporer merupakan manifestasi dari krisis spiritual manusia modern. Ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya, manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya (centre of existence) sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi (periphery of existence). Oleh karenanya, kecemasan eksistensial manusia modern merupakan konsekuensi alamiah dari modus eksistensi mereka yang mencampakkan kehidupan spiritual mereka.
Banyak orang beragama hidup dalam tempurung pandangan dunia mereka tanpa pernah menengok jendela realitas yang lebih luas, termasuk realitas hakikat kemanusiaannya. Mereka atau mungkin juga sebagian dari kita jarang bertanya mengapa kita yang dipilih Allah sebagai khalifah-Nya dan mengapa pula kita umat manusia yang mendapat amanah serta apa yang dimaksud dengan mengemban amanat Ilahi itu. Menyedihkan lagi, sikap jumud dan eksklusif itu kita legitimasi dengan atas nama agama.
Jangan Terjerembab Fatalistik
Cacat terbesar yang dimiliki kaum muslimin dalam kancah dan peradaban sekarang adalah kekurangan atau kelemahan dalam intelektual-religius. Tugas besar yang terpampang di depan kita adalah merekonstruksi pemahaman agama yang mampu merespons keperluan manusia modern. Pada wilayah ini, rekonsiliasi teologi dan antropologi, yang bermuara kepada kajian teosofi dan antroposofi, merupakan tuntutan sejarah.
Paradigma baru memerlukan pandangan-dunia baru yang lebih sesuai dengan realitas, artinya pengenalan kita terhadap manusia lebih manusiawi, dan pengenalan kita terhadap alam lebih kosmis. Yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk mengenal Tuhan sebagaimana seharusnya dengan segenap kesempurnaan-Nya, bukan sebagaimana yang kita konstruksi semata atas dasar pengalaman subjektif (antropomorfisme-teologis) atau kita yakini secara formal-tekstual.
Begitupun terhadap manusia dan alam. Di sini letak dasar Ontologis-Epistimologis-Aksiologis peran paradigma Integrasi-Inter-koneksi-Ilmu yang harus dibangun.
Agaknya, perlu perubahan paradigma dari antropocentrik positivistik kapitalistik ke ecocentrik-relogio-culture untuk menyelamatkan peradaban umat dari krisis peradaban global.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edis Jumat (20/05/2016)
redaksi@uin-suska.ac.id