Marhaban ya Ramadhan. Tulisan ini dengan berbagai pernak-perniknya telah menghiasi tepian jalan di negeri kita. Kata marhaban berasal dari kata rahaba yang berarti tanah lapang (al-Shahih ibn ‘Abbad, al-Muhith fi al-Lughah: 1/222). Seakan-akan orang yang mengucapkan kalimat itu ingin berkata, “Hati kami terasa lapang menyambutmu wahai bulan Ramadan”.
Sungguh ucapan yang ringan di ujung lidah, namun berat dalam praktiknya. Seringkali ucapan-ucapan ini tidak berimbang. Ramadan selalu diposisikan sebagai tamu yang disambut dengan berbagai macam seremonial. Padahal sebenarnya jika kita renungkan lebih dalam, kitalah yang menjadi peserta dalam iven tahunan itu. Namun terkadang kita lebih memosisikan sebagai panitia daripada peserta. Maka untuk tahun ini, katakanlah pada diri kita, “Selamat datang di Bulan Pelatihan”.
Pelatihan adalah suatu proses di mana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi (Mathis RL dan Jackson JH, Manajemen Sumber Daya Manusia). Jika Ramadan dipahami sebagai pelatihan, maka Ramadan bukan tujuan, tapi proses untuk mencapai tujuan. Kesalahan dalam berbuat adalah efek dari kesalahan dalam berpikir yang berawal dari kesalahan memahami teks. Betapa kita telah terjebak dalam kesalahan sistemik. Sehingga membuat kita merasa sudah berjalan, padahal sedang berada di anak tangga yang sama dengan perasaan berbeda, karena kita sedang berjalan di tangga eskalator dari arah yang salah. Masih ingat saat-saat pelatihan, upacara on-time pada pukul enam pagi. Pakaian lengkap dengan topi dan dasi. Tapi setelah pelatihan berakhir, sertifikat telah di tangan, dengan indeks prestasi tertinggi, maka pelatihan pun tak dikenang lagi. Betapa peserta pelatihan telah gagal sebelum pelatihan berakhir. Fenomena masjid-masjid ramai di awal-awal Ramadan, kembali sepi di akhir Ramadan adalah bukti kegagalan para peserta di awal pelatihan.
Pelatihan Emosional
Ketika asupan makanan berkurang, dalam kondisi kekurangan cairan dan emosi sedang tinggi. Rasulullah SAW berpesan, “(Orang yang sedang berpuasa itu), jika ada seseorang yang mengejeknya, atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia menjawab, ‘Saya sedang puasa’.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Bila dalam kondisi tidak normal ia mampu menguasai emosi, maka dalam keadaan normal ia lebih mampu mengatur emosi. Islam tidak menghilangkan marah, tapi menempatkan marah pada posisi yang benar. Ada masanya Rasulullah SAW marah, meskipun itu terhadap orang-orang tersayang, ketika agama Allah SWT dilecehkan. Ketika Usamah ibn Zaid berusaha menawarkan hukuman alternatif terhadap Fathimah binti Aswad, Rasulullah SAW menegur keras, “Apakah engkau menawar hukum Allah? Demi Allah, andai Fatimah puteri Muhammad yang mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pelatihan Empati
Tidak ada kata yang paling tepat untuk mewakili rasa lapar. Karena lapar adalah rasa, dan rasa tidak dapat diungkapkan dengan kata. Semua kata yang berusaha untuk mewakili rasa berakhir dengan dusta. Karena kata terlalu miskin untuk mengungkapkan kekayaan rasa. Allah SWT tidak ingin umat ini menjadi umat yang merasa pintar, tapi menjadi umat yang pintar merasa. Saat siang menjelang, rasa haus dan lapar mulai datang. Bila tiba petang, rasa itu semakin menantang. Masanya untuk merenung, betapa lapar dan haus seorang muslim hanya menjelang azan maghrib tiba berkumandang. Bila azan bergema, lapar itu pun hilang. Tapi bagaimana dengan lapar saudara-saudara yang ditinggal mati keluarga di usia renta dalam kesendirian. Lapar tak berujung, haus tak bertepi. Sulit berpikir tentang lapar saat perut kenyang. Lapar itu sendiri yang mengajak berpikir ketika rasa menyentuh hati. Buah dari rasa tidak hanya memandang orang lain dari luar, tapi jauh lebih dalam, merasakan apa yang dirasakan orang lain. Hampir tak berbatas. Bila sampai ke tingkat itu, orang tidak sedang berada dalam ruang simpati, tapi jauh lebih tinggi, ia sedang berada pada maqam empati. Buktinya, ringan tangan berbagi. Saat itu, nyaris tak dapat dibedakan antara yang memberi dan yang menerima, karena mereka sudah berada pada level satu rasa, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memberi makanan buka puasa kepada orang yang berpuasa, ia mendapat balasan seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi balasan pahala orang yang berpuasa itu”. (HR At-Tirmidzi).
Beraktivitas Walau Lemas
Bila ada yang mampu beraktivitas total dalam keadaan tubuh dan mental yang fit, itu biasa. Namun ketika ada yang sanggup menumpahkan segenap kemampuannya dalam keterbatasan, ia luar biasa. Allah SWT ingin umat ini menjadi umat yang bukan biasa-biasa saja. Karena surga itu luar biasa; tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, tidak pernah terlintas di hati manusia. Tempat yang luar biasa itu tidak akan dimasuki oleh orang-orang yang biasa, tapi akan ditempati orang-orang yang luar biasa. Umat ini adalah umat yang luar biasa. Saat panas gurun pasir menyengat, tiga ratus tiga belas pasukan Rasulullah SAW mampu mengalahkan lebih seribu lima ratus pasukan kafir Quraisy dalam pertempuran sengit di Badr, seratus lima puluh kilometer dari Kota Madinah. Peristiwa besar itu terjadi pada hari Jumat tujuh belas Ramadan tahun kedua Hijrah.
Proses Mencapai Tujuan
Saat penulis berjalan menelusuri pasar Kota Rabat, terlihat sampul majalah bertuliskan “Marhaban ya Syahr an-Nifaq” (Selamat datang bulan kemunafikan). Menantang dan berani, itu kesan pertama yang terlintas saat melihat tulisan ini. Ternyata isinya bercerita tentang dualisme sikap kaum muslimin menyikapi Ramadan. Padahal Allah SWT yang disembah di bulan Ramadan, Allah SWT yang sama di luar Ramadan. Oleh sebab itu Rasulullah SAW mengajarkan kesinambungan amal setelah Ramadan, “Siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian melanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka mendapatkan balasan seperti puasa satu tahun”. (HR Muslim). Ada kontinuitas dalam beramal, karena amal bukan tujuan, tapi bagian dari proses untuk mencapai tujuan.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin, 29 Mei 2017