Sekretaris Program Pascasarjana UIN Suska Riau
Krisis lingkungan adalah sesuatu yang nyata dan semakin meningkat. Krisis lingkungan mendapat perhatian dalam agama Islam ini terlihat dalam pernyataan dalam Alquran. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Katakanlah: adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang orang terdahulu. Kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Ar-Rum: 41-42)
Perintah puasa ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan dimaksudkan untuk menjadikan mereka pribadi-pribadi yang luhur dan bertakwa. Perintah puasa bukan merupakan hal yang baru dan khusus bagi umat Rasulullah SAW. Hal ini telah diperintahkan dan telah dilakukan juga oleh umat-umat terdahulu. Makna dari puasa akan membentuk orang-orang yang memiliki kepribadian saling merasakan rasa empati terhadap manusia dan lingkungan tidak mengajarkan hidup serakah dan ekploitasi terhadap alam. Puasa mengajarkan manusia untuk mensucikan diri. Baik rohani maupun jasmani, pengorbanan antara orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dan menumbuhkan semangat kerja sama untuk mengatasi krisis ekologis .
Di samping itu, puasa juga akan melatih seseorang untuk disiplin, qanaah dan sabar dalam menghadapi krisis lingkungan dan permasalahan ekologis. Baik dalam kehidupan pribadi ataupun kemasyarakatan. Pada bulan Ramadan, angka statistik ekploitasi dagradasi lingkungan menurun secara signifikan. Orang yang berpuasa dengan kesabaran akan membuat manusia berusaha dengan keras dan bertambah semangatnya untuk mencapai keberlanjutan lingkungan.
Secara genetik, krisis lingkungan, sebagai akibat pandangan antropocentrik-kapitalistik- hedonis, mencakup krisis air, tanaman, binatang, tanah, dan udara. Hal-hal yang telah disebut itu mengalami krisis karena tercemar oleh tiga teknologi utama. Yakni teknologi industri, teknologi tranportasi, dan teknologi energi. Di samping tentu saja kecerobohan manusia dalam pengelolaan terhadap sumber daya alam itu. Selain itu, krisis lingkungan juga disebabkan pertumbuhan penduduk yang pesat akan diikuti permintaan terhadap ketersediaan sumber daya alam (SDA). Apalagi bila degradasi SDA dan percemaran yang terjadi jauh lebih tinggi dibandingkan laju upaya perbaikannya. Akibat dari percemaran itu telah banyak diungkap dan semuanya mengarah pada degradasi lingkungan secara komprehensif yang pada akhirnya penghancuran terhadap diri manusia itu sendiri.
Parahnya krisis lingkungan (tanah, tanaman, air, udara) dari polusi industri, menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Data dari laporan Asesmen Keempat IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) tentang peningkatan emisi gas rumah kaca global (global greenhouse gas emission) menunjukkan adanya peningkatanya sejak masa pra-industri sebesar 70% . Krisis ekologis sebagai akibat pandangan antropocentrik , mengakibatkan krisis hutan (deforestasi) global adalah 3.952 juta ha, yang menempati sekitar 30 persen luas daratan di bumi antara tahun 2000 dan 2015. Penggundulan hutan terus berlanjut pada kisaran 12,9 juta/tahun. Deforestrasi sebagian besar disebabkan karena pengalihan hutan menjadi pertanian, sawit, akasia, dan lain-lai. Juga karena perluasan permukiman, pembangunan infrastruktur, dan praktik-praktik penebangan liar yang tidak berkelanjutan . Secara ilmiah, hutan memiliki fungsi yang amat penting yang meminjam disebut sebagai the environmental value of forest krisis fungsi hutan sebagai melindungi dan menjaga ekosistem baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. Fungsi lainya adalah sebagai produktivitas komoditi, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), dan menyerap karbon dioksida yang terperangkap dalam atmosfer. Penyusutan hutan secara besar-besaran, karena itu, dapat menyebabkan lingkungan rentan terhadap bencana.
Namun harus ditegaskan bahwa krisis lingkungan bukanlah berdiri sendiri. Krisis lingkungan adalah akibat dari krisis ecoculture, moral dan spiritual manusia karena itu, krisis lingkungan mencakup pula krisis manusia termasuk fisik, psikis, dan nilai-nilai yang menopang pandangan hidupnya yang nilai nilai tersebut syarat kandungan dalam ibadah puasa yang mengajarkan kita hidup sederhana, tawadhu’, amanah bahwa alam adalah titipan Allah SWT kepada umat manusia sebagai khalifah.
Manusia menjadi penghancur dan sekaligus penjaga lingkungan tergantung dari nilai-nilai yang dianutnya. Dari krisis ecoreligius, atau krisis nilai nilai lingkungan yang berbasiskan agama terhadap manusia bisa membawa kepada krisis-krisis lingkungan secara komprehensif. Krisis lingkungan, karena itu, bersifat multidependensi.
Dalam literatur Islam, krisis spiritual dapat disamakan dengan krisis keimanan. Krisis keimanan sama dengan kafir yang secara hafiah berarti cover atau tertutup. Sikap kafir atau tertutup adalah manifestasi dari ketidaksadaran atas Tuhan dan seluruh ciptaan. Sikap kafir (kufr) yang merupakan lawan dari syukur (shukr), karena itu, merupakan bentuk krisis yang diidap manusia karena tanpa rasa syukur manusia cenderung bersifat destruktif terhadap alam dan boros atas sumber daya. Dari garis argumen itu, krisis spiritual dimanivestasikan dalam ecocide, the tragedy of the commons, absenya etika dalam pengelolaan alam, dan tidak memiliki visi keberlanjutan. Karena itu, masuk akal kalau para ecothinker mengusulkan perlunya nilai-nilai agama atau eco-culture keyakinan-keyakinan spiritual, dan kearifan-kearifan tradisi masyarakat sebagai penopang tindakan manusia atas lingkungannya. Selamat menjalan ibadah puasa.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 2 Juni 2017