Khairunnas Rajab Guru Besar Psikologi Agama UIN Suska Riau
Mahabbah, hubbah, dan al-hub Ilahi bermakna cinta, bersangatan cinta, terlalu mencintai, pilihan, fokus yang dicinta, tidak berselang dan tidak berpaling kepada cinta yang lain. Mahabbah merupakan kata-kata yang seringkali dihubungkan dengan para sufi, salikin, dan para mutaqarib yang selalu ingin dekat dengan Tuhan, yaitu Allah SWT. Para sufi yang dekat dengan Tuhan adalah orang yang cintanya kepada Allah SWT melebihi kecintaan kepada selain-Nya. Terminologi mahabbah dapat dikembangkan pemaknaannya sebagai upaya, proses, prosedur yang ditempuh para salikin untuk dekat dengan sesuatu yang teramat dicintai, mencurahkan perhatian, menghabiskan waktu, merasa asyik dengan idaman hati, tidak mau berpisah sedetikpun dengan kekasih, dan yang terpenting tidak mau berpaling dari yang dicintainya, yaitu Sang Kekasih Allah SWT. Mahabbah adalah prinsipil yang menghubungkan antara hamba dengan Tuhannya, sehingga ia patuh, tunduk, membenci sikap yang menghalangi cintanya, dan sepi hatinya dari sesuatu selain Allah SWT. Istilah Mahabbah termaktub di dalam Alquran yang bermaksud: Katakanlah: jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran 3: 31), Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. (Al-Maidah 5:54).
Hubb Ilahi (cinta kepada Tuhan) mendorong dan memotivasi individu untuk beramal dan berkorban untuk meraih cinta, dan selalu dalam keasyikan (asyiq-masyuq) bercinta dengan Tuhannya, sehingga membuatnya lupa pada yang lainnya. Seorang salik yang asyik dalam cinta Ilahi, senantiasa memperoleh kebahagiaan, ketenangan dan kemenangan. Dalam klinik sufi, mahabbah adalah tenaga inovatif dan progresif, yang dapat berfungsi takhalliyah al-nafs, tahalliyah al-nafs, dan tajalliyah al-nafs. Takhalliyah al-nafs dapat dimaknai penyucian pikiran, perasaan, qalbu, perbuatan, tindakan, dan perilaku dari sesuatu yang dapat merugikan jasmani dan rohani.
Takhalliyah al-nafs merupakan tahapan awal yang mengantarkan seorang salik tertuju pada pengendalian psikologis atau jiwa pada taubat sebenar; taubatan nasuha. Takhalliyah al-nafs berfungsi nihilitas; pengosongan diri dari rasa cinta kepada selain Allah, serta menumbuhkan rasa cinta melalui ketaatan, kesalehan, peribadatan, dan zikrullah yang banyak. Penguatan dalam takhalliyah al-nafs menghilangkan pengaruh yang dapat membuat individu kehilangan ataupun sepi dari kecintaannya kepada Tuhan Yang Maha Memiliki cinta yaitu Allah SWT. Tahalliyah al-nafs adalah tahapan kedua setelah seorang salik menempuh takhalliyah al-nafs, seperti maqam taubat. Seorang salik menyesali perbuatan, tindakan, dan perilaku maksiat yang dikerjakan pada masa lalu, untuk kemudian melakukan perimbangan ketaatan, kesalehan, dan peribadatan yang menutupi dosa dan nista yang menumpuk sebelumnya. Tahalliyah al-nafs mengurai penyesalan dengan taubat, untuk seterusnya menyifati diri dengan ikhlas, syukur, takwa, tawakal, qana’ah, dan tawadhu’. Tahalliyah al-nafs berfungsi peningkatan dan pengembangan komponen ketaatan, kesalehan, dan peribadatan terus menerus yang diperbuat sang ”pemabuk cinta”. ”Pemabuk cinta” adalah orang yang tidak peduli dengan cinta yang lain. Cintanya terfokus kepada Sang Maha Pemilik Cinta yang tidak dapat dipengaruhi oleh elemen mana pun. Cintanya hanya satu kecintaan yaitu cinta melebihi segalanya.
Tajalliyah al-nafs adalah tahapan akhir, setelah melalui tahapan takhalliyah al-nafs dan tahalliyah al-nafs. Tahapan tajalliyah al-nafs merupakan kesempurnaan ketaatan, kesalehan, dan peribadatan dari sifatiyah yang melekat pada diri seorang salik. Sifatiyah yang melekat pada seorang salik seperti, berlaku ikhlas, bersyukur, bertakwa, bertawakal, ber-qana’ah, dan ber-tawadhu’ berimplementasi spiritualitas yang tinggi dan memperoleh anugerah tazkiyah al-nafs. Sedangkan fungsi tajalliyah al-nafs adalah momentum yang ditunggu dan dinanti-nantikan oleh segenap salik yaitu anugerah spiritual yang tiada terduga dengan kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang. Salik yang memperoleh anugerah tajalliyah al-nafs hanya orang-orang yang menjadi pilihan Tuhan, orang-orang dimuliakan, dan orang-orang yang sudah sampai pada tahap hubban lillah, yaitu Allah SWT.
Mahabbah adalah terminologi yang selaras dengan kemampuan individu mempertahankan diri dari godaan-godaan nafsu yang memberikan tawaran untuk memperoleh kesenangan, hedonistik, dan maslahat-maslahat sesaat. Kemampuan salik berkomitmen dan teguh memegang prinsip cinta dengan selalu konsisten pada janji setia, menjadikannya mudah memperoleh takhalliyah al-nafs, tahalliyah al-nafs, dan tajalliyah al-nafs. Dalam psikoterapi Islam takhalliyah al-nafs, tahalliyah al-nafs, dan tajalliyah al-nafs dapat di-similar-kan dengan model preventisasi, kuratisasi, dan rekonstruksi diri. Prevenstisasi adalah model pencegahan yang diterapkan terapis, supaya pasien mental tidak melakukan kesalahan, dosa, dan maksiat. Preventisasi merupakan pola pengendalian diri, untuk tidak terjebak pada perbuatan, tindakan, dan perilaku yang dapat merugikan jasmani dan rohani. Kuratisasi adalah penguatan dan peningkatan aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam diri secara nyata. Nilai-nilai kebaikan yang dimanifestasikan individu dapat meningkatkan kesehatan mental dan menumbuhkembangkan kepribadian. Rekonstruksi adalah model pembinaan dan rehabilitasi pasien, agar senantiasa berada dalam kesehatan mental dan berkepribadian yang utuh. Pendekatan rekonstruktif meliputi pembinaan mental dengan memperkuat dan memperteguh perilaku secara kontinu dan terus menerus.
Psikoterapi mahabbah adalah formulasi yang dirumuskan seorang salik untuk merawatpulihkan kesehatan mental dan kepribadian yang utuh dan kaffah. Sekalipun seorang salik belum menyebutnya sebagai model psikoterapi, namun realitasnya para pengikut salik yang mengamalkan maqam mahabbah telah merasakan hidup dalam kedamaian, ketenangan, ketenteraman, kesehatan mental, dan berkepribadian paripurna. Mahabbah memiliki muatan yang sederhana untuk dimanifestasikan ke bentuk konkret perjalanan menuju Tuhan. Seorang salik hanya memerlukan waktu sejenak untuk berzikir yang kontinu; seorang salik hanya perlu metodologi untuk internalisasi dan penguatan kejiwaan yang menjaminnya berada dalam koridor ketaatan, kesalehan, dan peribadatan yang sesuai dengan titah Allah SWT dan Rasul-Nya, memenuhi syarat syar’i, dan ditunaikan dengan ikhlas lillahita’ala. Mahabbah adalah rekonstruksi kepribadian, merawatpulih mental, dan formula kesehatan jiwa yang terintegrasi antara psikologi dengan spiritual. Mahabbah merupakan rumpun qalbu yang menyiratkan makna-makna yang hanya dipahami para salikin.
Mahabbah adalah penghalang cinta yang lain memasuki relung hati seorang salik, di mana qalbu-nya menutupi dan mengunci mati tawaran cinta selain Dia yaitu Allah SWT. Karakter cinta yang dimiliki seorang salik dapat dideskripsikan dalam riwayat cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Bagi Rabi’ah cinta seorang tampan tidak berarti apa pun, karena hatinya sudah tertutup tanpa kecuali, sehingga iapun wafat dalam kesetiaan dan cinta yang tulus kepada Tuhannya Allah Ta’ala.
Goresan hati untuk selalu dekat dengan Tuhan tidak diperoleh dengan mudah, tanpa keikhlasan, ketulusan, dan konsistensi yang kuat meraih anugerah mahabbatullah. Mahabbatullah menyiratkan simpul-simpul kesadaran, motivasi, dan sugesti diri berada dalam batasan-batasan cinta yang dititahkan syariat. Kesadaran para salikin di bawah pantauan dan naungan ruh Ketuhanan, mempererat tautan-tautan yang belum bersinergi, dan menghubungkan rangkaian-rangkaian yang terabaikan menjadi cinta sejati; al-hubb Ilahi. Motivasi yang muncul dari proses kesadaran dan keinginan ber-taqarrub Ila Allah, menghimpun segenap perasaan dan pikiran yang melebur dalam kesatuan cinta suci yang tidak dapat dipalingkan dari selain-Nya. Cinta suci merupakan manifestasi konsistensi, kontinuitas, loyalitas, dan kesetiaan yang teruji, serta terlepas dari ujian, cobaan, dan rintangan yang berwujud nyata maupun abstrak. Sugesti adalah model internalitas yang tumbuh dan berkembang menjadi benih-benih cinta kasih sejati, sehingga berimplementasi pada kesadaran yang penuh makna, hikmah-hikmah serta mengucurkan cinta yang tidak berbelah bagi; fokus pada satu tujuan cinta yaitu Allah SWT.
Hidup yang penuh makna yang terlahir dari kesadaran akan kesetiaan, loyal, dan tulus adalah anugerah yang tiada tara; wujud nyata kepedulian dan balasan cinta dari Sang Maha Cinta; yaitu Allah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kehidupan bermakna hanya dapat diperoleh dengan kesadaran, motivasi, dan sugesti bahwa nilai-nilai kerohanian adalah kerangka prinsipil yang menghubungkan semua elemen diri; baik akal, nafsu, emosi, dan qalbu menjadi sebuah sistem yang utuh. Akal menjadi bagian kesadaran yang berfungsi sebagai alat berpikir mengenai logika, rasional, dan masuk akal. Akal mendorong individu untuk melakukan sesuatu yang logis, rasional, dan masuk akal. Akal menolak perbuatan, tindakan, dan perilaku yang tidak logis. Pada prinsipnya perbuatan, tindakan, dan perilaku yang logis merupakan implementasi dorongan sadar yang dimiliki individu. Akal adalah alat yang menolak semua perbuatan, tindakan, perilaku yang bertentangan dengan regulasi, aturan, agama, norma, dan etika. Sekali pun apa yang ditelurkan akal tidak selalu disenangi dan berkesan baik bagi dirinya, orang lain, dan alam sekitar. Oleh sebab itu akal perlu bimbingan qalbu yang menetralisir dan penengah agar perbuatan, tindakan, dan perilaku dapat dipandang baik, berimplementasi positif, dan bermanfaat bagi maslahat-maslahat yang menjadi hajat orang banyak.
Qalbu adalah bagian terpenting dari struktur kepribadian kemanusiaan. Qalbu bukan saja penetral dan penengah antara akal dan nafsu yang selalu bertentangan dan konfrontatif, bahkan qalbu adalah elemen yang menyatukan dan mengurai benang merah kusut yang muncul disebabkan persaingan struktur akal dan nafsu. Nafsu memiliki sifat buruk yang mendorong mudharat-mudharat fragmatik dan hedonik yang ingin selalu senang, menang, dan kenyang. Sebagai ilustrasi: orang perlu makan, minum, rumah, pakaian, dan oksigen, tetapi untuk memenuhi kebutuhan tersebut; individu perlu berbuat dan bekerja sehingga menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh makan, minum, rumah, pakaian, dan oksigen. Orang bekerja untuk memperoleh hasil yang dapat digunakan untuk makan, minum, memiliki rumah, pakaian, dan oksigen adalah logis, rasional, dan masuk akal. Namun apabila makanan, minuman, rumah, pakaian, dan oksigen diperoleh secara tidak baik dan haram, maka qalbu memainkan perannya sebagai pendamai; penyelesaian konflik yang tarik ulur antara akal dan nafsu. Qalbu memberikan penawaran kepada keduanya; akal dan nafsu bahwa setiap individu perlu makan, minum, rumah, pakaian, dan oksigen adalah benar, individu perlu bekerja adalah logis, tetapi apabila makan, minum, rumah, dan pakaian diperoleh secara tidak benar, dapat menimbulkan konfrontasi di dalam diri, orang lain, dan alam sekitar. Oleh karena itu qalbu memberikan solusi, agar individu makan, minum, memiliki rumah, pakaian, dan memperoleh oksigen dengan jalan yang benar, halal, dan baik. Dengan demikian perselisihan yang dialami akal dan nafsu diselesaikan dengan tuntas oleh qalbu.
Apabila akal, nafsu, dan qalbu bersinergi, maka kesadaran, motivasi, dan sugesti untuk meraih kebermaknaan hidup dapat diperoleh dengan sempurna. Melalui kesadaran, motivasi, dan sugesti kebermaknaan hidup berprospek menuju maslahat-maslahat dan kebaikan secara totalitas. Apabila akal, nafsu, dan qalbu bersepadu, maka kesadaran, motivasi, dan sugesti mampu menjadi penguatan mahabbatullah, di mana seorang salik dekat dengan Tuhan, berada dalam ketaatan, kesalehan, dan peribadatan, untuk kemudian memperoleh anugerah spiritual yang tiada hingga, berupa ketenangan, ketenteraman, kedamaian, kesehatan mental, dan berkepribadian yang paripurna. Realitas ini menunjukkan bahwa mahabbah tidak dapat dipungkiri adalah model psikoterapi Islam dalam kesehatan mental dan menumbuhkembangkan kepribadian paripurna.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 4 Agustus 2017