Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Suska Riau Pekanbaru
Bersempena dengan hari ulang tahun (HUT) ke-72 Kemerdekan Republik Indonesia, kita perlu merenung ulang kembali sejarah terbentuknya negara dan bangsa Indonesia ini. Negara ini dulu dibentuk didasari oleh dua persamaan; yaitu persamaan nasib dan keinginan, sama-sama menderita dijajah Belanda dan persamaan cita-cita untuk hidup bersatu, berdaulat, adil dan makmur, walaupun letak wilayahnya terpisah-pisah dan warga negaranya berbeda suku, bahasa, agama dan budaya.
Betapa tidak enaknya dijajah Belanda yang mereka rasakan pada saat itu dapat dibaca dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia pertama sampai ketiga; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan…”. “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan berbangsa yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Dari sejarah terbentuknya negara Indonesia juga dapat diketahui bahwa negara ini adalah “Negara Bangsa”, tipe negara bangsa dapat dibedakan dengan tipe negara etnik, negara kota, negara imperium, negara kaisar. Negara bangsa adalah negara yang menyatukan wilayah-wilayah beserta masyarakatnya yang berbeda-beda ke dalam satu wilayah pemerintahan baru, dilandasi dan diikat oleh semangat kebangsaan atau nasionalisme. Jadi, bagi negara bangsa, nasionalisme menjadi ideologi pemersatu bagi bangsa tersebut sekaligus perekat anggota masyarakat, dalam menciptakan loyalitas dan kesetiaan pada identitas negara.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa negara Indonesia yang didirikan ini haruslah berada di atas semua kelompok yang beragam, terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan daerah yang tersebar di seluruh wilayah nusantara disemangati oleh hidup bersatu karena ada persamaan nasib dan persamaan cita-cita. Jika tidak, maka dia akan keluar dari ”fitrahnya” sewaktu dilahirkan dulu.
Merebut kemerdekaan dulu sama beratnya dengan mempertahankan kemerdekaan sekarang. Mereka yang ikut dulu dalam perang melawan penjajah Belanda telah rela mengorbankan jiwa dan raganya bagi sebuah kemerdekaan yang ingin mereka dapatkan. Maka generasi kita kini mempunyai tugas yang sama beratnya dengan mereka dulu yaitu mempertahankan kemerdekaan, mengawalnya agar tidak keluar dari fitrahnya sewaktu dilahirkan dulu yaitu negara Indonesia yang didirikan ini haruslah berada di atas semua kelompok yang beragam. Oleh sebab itu, yang perlu disadari oleh seluruh anak bangsa Indonesia kini dari seluruh elemen masyarakat mulai dari para penyelenggara negara sampai rakyat jelata bahwa negara ini didirikan adalah bukan untuk suku tertentu, agama tertentu, wilayah tertentu atau golongan tertentu. Tidak boleh ada pilih kasih.
Tetapi negara seperti Indonesia, sangat rentan terjadi konflik; antar-agama, antar-suku, antara wilayah yang basah dan wilayah yang kering, penyebabnya, karena hanya dipersamakan oleh nasib dan cita-cita, sementara yang lainnya tersebut, semuanya berbeda. Sebab itu, tidak boleh ada anak kandung dan anak tiri supaya tidak terjadi konflik.
Karena semuanya berbeda maka alat perekatnya pun hanya satu yaitu semangat kebangsaan atau rasa nasionalisme. Maka dalam rangka menjaga dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan negara Repulik Indonesia ini ke depan perlu dilakukan usaha-usaha nyata, antara lain, penanaman semangat kebangsaan atau rasa nasionalisme kepada semua anak bangsa terutama generasi muda, sangat mutlak diperlukan dan jangan sampai terlambat.
Sebenarnya, pemerintah sudah melakukan penanaman semangat kebangsaan dan pembinaan rasa nasionalisme terhadap generasi muda, khususnya mahasiswa, melalui pendidikan dengan dikeluarkannya UU No.20/2003 tentang; Sisdiknas, Pasal 37 ayat 1 yang menyatakan “Kurikulum Perguruan Tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia”. Maka seluruh perguruan tinggi di Indonesia wajib memuat mata kuliah pendidikan kewarganegaraan bagi mahasiswa. Hal tersebut dilakukan dalam rangka penanaman rasa nasionalisme kepada mahasiswa.
Perlu disadari pula bahwa para pendiri negara Indonesia ini dulu sudah merumuskan ideologi yang cocok untuk bangsa dan negara Indonesia yang berbeda agama, suku dan wilayahnya adalah Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa bagi warganya yang berbeda-beda tersebut, tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara sudah final, tinggal bagaimana kita lagi mengisinya.
Selanjutnya, perlu adanya pencerahan dari para tokoh agama kepada masyarakat. Tindakan radikal dan intoleran akan menimbulkan konflik padahal konflik menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelangsungan bangsa ini. Pencegahan terhadap bibit-bibit timbulnya konflik perlu diantisipasi secara dini baik yang bersumber dari konflik antara agama, antara suku, antara wilayah maupun pemerataan pembangunan.
Dari segi ekonomi, pemerataan pembangunan (keadilan) menjadi suatu keniscayaan yang mesti dilakukan pemerintah. Sebab pembangunan yang tidak merata dan tidak seimbang antara pusat dan daerah, antara Indonesia bagian Timur dan bagian Barat, orang yang tinggal di pusat yang telah menikmati kemerdekaan, dengan mereka yang tinggal di daerah yang belum menikmati kemerdekaan. Ini akan menjadi bibit konflik dan berdampak bagi terjadinya krisis nasionalisme dan menjadi bibit ancaman bagi keutuhan negara Indonesia yang perlu menjadi perhatian dari semua pihak.
Dulu penjajah Belanda menciptakan konflik dalam diri bangsa Indonesia, yaitu dengan politik pecah-belah yang terkenal dengan politik devide et impera, artinya politik belah bambu, karena pada saat membelah bambu satu sisi bambu diangkat ke atas sementara sisi lain diinjak ke bawah. Maka setiap ada perjuangan melawan ”penjajahan”, di situ selalu ada pahlawan, tetapi juga selalu ada pengkhianat. Begitu juga saat ini, agaknya.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 15 Agustus 2017