Rabu (10/6/2015) bunga papan selamat tampak memenuhi laman gedung rektorat UIN Suska Riau. Pagi itu UIN Suska Riau menyelenggarakan Sidang Terbuka Senat, dalam rangka upacara pengukuhan tiga orang guru besar yang digelar di ruang Auditorium lantai V gedung Rektorat UIN Suska Riau. Pengukuhan terasa spesial, karena ke tiganya secara beturut-turut di tetapkan sebagai Profesor (Guru Besar-red) dalam Surat Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia di tahun 2015 ini.
Diawali oleh Prof Dr Raihani, M.Ed, Ph.D, Guru besar dalam bidang Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan ini, ditetapkan sebagai Guru Besar diawal tahun ini tepatnya 9 Januari 2015 lalu, dan terhitung sebagai sebagai Profesor mulai 1 November 2014 lalu. Disusul Prof Dr H Syamruddin M.Ag, Profesor bidang Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin, ditetapkan 23 Maret 2015 lalu, dan mulai terhitung sejak 1 Januari 2015. Terakhir Prof Dr Khairunnas Rajab, M.Ag, Profesor dalam bidang Psikologi Agama Fakultas Tabiyah dan Keguruan UIN Suska Riau ini, ditetapkan 5 Mei dan terhitung sebagai Profesor mulai 1 Maret 2015.
Sejak pukul 08.00 WIB, para anggota senat dengan mengenakkan pakaian toga lengkap telah tampak berkumpul di ruangan Rapat Senat Gedung Rektorat Lantai V. Namun sidang belum dimulai, karena menunggu ketua senat Prof Dr H M Nazir, yang seyogyanya tela tiba dari Jakarta. Akan tetapi karena pesawat yang ditumpanginya harus delay akibat kabut asap, sekitar pukul 9.30 acara pun dimulai dengan pembukaan sidang terbuka senat yang dibuka Sekretaris Senat Universitas Drs H M Yunus, M.Ag.
Selanjutnya pembacaan daftar riwayat hidup para guru besar, yang dibacakan langsung Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Dr. H. Mas’ud Zein, M. Pd dan Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr Wilaela, M. Ag. Dilanjutkan dengan penyampaian pidato para guru besar yang dikukuhkan.
Prof Dr H Raihani, M.Ed, Ph.D dalam pidato pengukuhan berjudul “Pendidikan Multi Kultural Islami; Sebuah tawaran konsep pendidikan untuk generasi religius humanis” menyampaikan, Islam dan multikulturalisme hendaknya dapat terintegrasi dalam pendidikan. Banyak masalah yang menggelayuti dunia pendidikan Islam dalam hal menyikapi keragaman baik budaya ataupun agama. Marketisasi pendidikan dengan ruh neo-liberalisme yang semakin melebarkan jurang ketimpangan sosial antara kaya dan miskin sehingga kelas-kelas sosial semakin tampak bermunculan di masyarakat. Disamping itu, friksi sosial menjadi menjadi penomena biasa dan tak jarang berujung pada kekerasan horizontal.
Oleh karena itu, dalam pidatonya Raihani juga menyampaikan secara ringkas teori-teori multikulturalisme dan religius multiculturalism agar konsep yang sering menjadi kontroversi ini dapat dipahami secara baik. Terakhir Raihani mengajukan sebuah konklusi pertanyaan, “were we born to love or to hate?. Di penghujug pidatonya, Raihani mengungkapkan menjadi Islam tak harus membenci orang lain yang berbeda. Menjadi Islam juga menjadi multicultural-mengakui, menghargai dan hidup damai dalam perbedaan, serta mampu berkontribusi terhadap kokohnya bangunan kebangsaan dan kemasyarakatan yang diidam-idamkan.
Semantara itu Prof Dr H Syamruddin Nasution, M. Ag dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk “Kebangkitan Peradaban Islam di Tangan Para Aktor Pejabat Ilmuan menceritakan bagaimana Umar ibn Khattab (634-644), Alwalid ibn Abd Malik (705-715), Abu Ja’far al-Mansur (754-775), Harun al-Rasyid (786-809), Abdurrahman III al-Nasir (912-961) dan pimpinan Islam lainnya dalam peran mereka sebagai ilmuan dan pejabat.
Dari paparan sejarah kebudayaan Islam dapat diketahui bahwa majunya suatu negara ternyata berada ditangan pejabat negara yang ahli ilmu, paling tidak pecinta ilmu serta yang mempunyai perhatian khusus bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Kedepan ini yang perlu dipikirkan masyarakat, dan pejabat-pejabat kita, ungkap Syamruddin.
Syamruddin juga menyoroti tingkat pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia yang sudah berada pada situasi darurat stadium empat. Karena rangking pendidikan Nasional kita sudah terjun bebas, sampai berada pada posisi terendah di bawah Kamboja.
Pada kesempatan yang sama, Prof Dr Khairunnas Rajab, M.Ag dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk “Sebuah model Psikoterapi Islam dalam Mewujudkan Kesehatan Mental” mengungkapkan, masalah Psikologi yang tak terbantahkan adalah bahwa manusia dengan dimensi fisikal dan psikologikal telah wujud sejak manusia berada di bumi.
Tak pernah dibahas dan dikajinya nya eksistensi manusia secara utuh, menjadikan Psikologi barat tak memiliki jawaban terhadap perilaku manusia. Psikologi hanya menjadi bidang garapan orang-orang yang ingin mempelajari segmen-segmen perilaku manusia yang sempit dan dapat diukur. Namun setakat ini mereka tak mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang “hati” manusia, ungkap Khairunnas.
Pakar psikologi Positivistik modern, misalnya, telah gagal memahami psikologi manusia, mereka menolak status substantif psikologi sebagai sebuah entitas independen. Mereka hanya menterjemahkan kejadian-kejadian fisikal sebagai suatu fenomena yang diciptakan dalam proses neurofsiologi. Realitas ini membuktikan, begitu penting agama dalam memberi peran positif terhadap perilaku individu, sehingga perilaku yang dimaksud menjadi terarah.
Diakhir pidatonya Khairunnas menyampaikan, Psikologi agama adalah tawaran baru bagi pengentasan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan mental. Psikologi agama adalah sebuah model yang dapat dikembangkan menjadi sebuah model psikoterapi Islam yang konfrehensif.
Disamping dikukuhkan sebagai guru besar oleh rektor UIN Suska Riau, Prof Dr H Munzir Hitami, MA, ketiga guru besar juga lantik dan di kukuhkan sebagai anggota senat Universitas oleh sekretaris senat, Drs H M Yunus, M. Ag.
Dipenghujung acara, rektor UIN Suska Riau, Prof Dr H Munzir Hitami, MA dalam sambutannya mengungkapkan, rasa haru dan bangga serta mengucapkan salam tahniah atas pengukuhan tiga orang guru besar baru UIN Suska Riau ini. Dengan bertambahnya profesor, UIN Suska Riau menjadi lebih percaya diri menuju kejayaan untuk berpacu dengan perguruan tinggi lainnya.
Profesor adalah pangkat, jabatan dan prediket tertinggi dalam perjalanan karir seorang dosen atau mahaguru. Namun bukan berarti tugas dan tanggung jawab kita sudah selesai. Untuk itu, tiada lain pekerjaan dan tanggung jawab kita adalah mengembangkan dan menyebarkan ilmu sesuai keahlian kita masing-masing. “Hal itu demi menempa anak-anak didik kita menjadi insan yang berguna” ujar Rektor
Rektor juga menghimbau civitas akademik yang sudah bergelar Doktor, untuk bisa memacu dan mempersiapkan diri menggapai karir tertinggi sebagai Profesor. Begitu juga yang belum bergelar doktor, agar termotivasi untuk melanjutkan pendidikan. Apalagi saat ini telah ada program 5000 doktor dari pemerintah.
Penulis: Suardi
(Tim liputan Suska News: Donny, Azmi, PTIPD)
redaksi@ uin-suska.ac.id