Oleh Zulkifli
Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum
KEMISKINAN merupakan masalah serius yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Kemiskinan yang ada adalah fakta, terlihat jelas dari kacamata dan sudut mana pun, seharusnya mendapat perhatian yang sesuai dengan realitasnya. Lucunya, peradaban Barat, sang pengemban sistem ekonomi kapitalis, memiliki gambaran berbeda tentang kemiskinan. Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi keperluan atas barang dan jasa secara mutlak. Akibatnya, standar kemiskinandi mata para kapitalis tidak memiliki batasan-batasan yang fixed.
Di Amerika Serikat atau di negara-negara Eropa Barat lainnya menganggap bahwa seseorang yang tidak dapat memenuhi keperluan sekundernya sudah dianggap miskin. Pada saat yang sama, di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi keperluan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan tentang kemiskinan itu sesungguhnya sama saja dan di manapun akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahannya. Berbeda halnya dengan pandangan Islam, yang melihat bahwa fakta kemiskinan sebagai perkara yang sama, baik di Eropa, AS maupun di negeri-negeri Islam. Bahkan, pada zaman kapan pun, kemiskinan itu sama saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan cara penyelesaian atas problem kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama, hukum-hukumnya fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya.
Islam memandang bahwa kemiskinanadalah fakta yang dihadapi umat manusia, baik itu muslim maupun bukan muslim. Ia memandang bahwa kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya keperluan- keperluan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan keperluan primer itu berupa tiga hal. Yaitu, sandang, pangan, dan papan. Allah SWT berfirman (QS al-Baqarah: 233) “Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”. Kemudian Allah SWTberfirman dalam (QS ath-Thalaaq: 6) : “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu”.
Dari ayat di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan dan papan) tergolong pada keperluan pokok (primer), yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila keperluan pokok ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran ataukemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah SWT “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (QS al-Baqarah: 268).
Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi keperluan pokoknya, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Tolok ukur kemiskinan dalam Islam memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari tolok ukur lain.
Kemiskinan saat ini memang merupakan suatu kendala dalam masyarakat, ia menjadi masalah sosial, karena ketika kemiskinan mulai bertambahbanyak maka angka kriminalitas akan meningkat. Kemiskinan juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. Penduduk miskin yang terdesak akan mencari lahan-lahan kritis atau lahan-lahan konservasi sebagai tempat pemukiman dan tempat mencari penghidupan. Lahan-lahan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga atau mempunyai fungsi konservasi akan kehilangan fungsi lingkungannya setelah dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman dan alih fungsi hutan. Akibat berikutnya, maka akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan dan menyebabkan tindakan kriminal dengan beragam permasalahan-permasalahan baru.
Di era modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi, sumber-sumber energi seperti minyak dan gas bumi menjadi kebutuhan utama umat manusia, karena kehidupan manusia modern tidak bisa lepas dari teknologi yang penggeraknya minyak dan gas bumi, sehingga negara yang memiliki kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi menjadi sangat superior karena bisa menghasilkan banyak uang dari kekayaannya tersebut, seperti negara-negara Timur Tengah.
Akan tetapi lain halnya dengan Indonesia, bangsa yang yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah ini belum juga bisa diselamatkan dari kemiskinan, defisit anggaran setiap tahunnya terus terjadi. Hal itu menandakan kalau bangsa ini belum bisa lepas dan merdeka dari kemiskinan. Padahal menurut para ahli, khususnya di bidang ekonomi memperhitungkan, dengan kekayaan alam yang tersedia di Indonesia, bisa melepaskan warganya dari belenggu kemiskinan. Busung lapar di Papua, pemadaman listrik bergilir di Sumatera dan kesulitan air di daerah-daerah tidak perlu terjadi, karena bangsa ini pada dasarnya mampu untuk mengatasinya.
Kata kunci dari kegagalan si miskin keluar dari badai kemiskinannya merupakan kegagalan bangsa ini dalam tata kelola kekayaan alamnya. Bahkan disinyalir adanya kesalahan dalam pengelolaannya, sehingga warga bangsa ini tidak bisa menikmati haknya sendiri berupa kekayaan alam yang tidak ternilai. Oleh karena itu perlu dibangun suatu sistem pengelolaan kekayaan alam, agar hutan tidak lagi terbakar, gunung tidak digundulii, air tidak dicemari. Mungkin dilakukan oleh si miskin yang mengais demi sesuap nasi, namun hampir pasti dimotori oleh si kaya yang memperkerjakannya. Sehingga, potensi alam yang ada dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Di sisi lain sebenarnya Islam telah menawarkan beberapa solusi potensial untuk dikembangkan dalam mengatasikemiskinan, di antaranya bagi yang memiliki kelebihan harta diharapkan tidak melupakan infak, sedekah, zakat dan wakaf. Solusi ini sebenarnya adalah kegiatan distribusi kepemilikian agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang yang berpunya saja.
Sedekah dan infak tidak perlu menunggu menjadi orang kaya, wakaf pun tidak perlu menyerahkan harta yang dimilikinya, hanya menyalurkan kemanfaaran dari harta yang dimiliki, atau zakat bagi yang telah terpenuhi syarat-syarat kewajibannya.
Dalam fungsinya sebagai ibadah, bagi kehidupan munfiq, mushaddiq, muzakky dan waqif di hari akhirat karena pahalanya juga akan berfungsi secara sosial. Semua tersebut merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuannya.
Dengan demikian, jika kegiatan di atas dikelola dengan baik maka akan sangat menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Di berbagai negara yang ZIS dan wakaf sudah berkembang dengan baik, menjadi satu pilar ekonomi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan tersebut tidak hanya terjadi pada negara-negara muslim saja tetapi juga pada negara–negara sekuler. Salah satu negara sekuler di kawasan Asia Tenggara yang bagus manajemennya dalam kegiatan keagamaan ini adalah Singapura.
Meskipun Singapura merupakan negara sekuler, namun praktik wakaf dan ZIS sangat berkembang secara baik. The Strait Times dan The Business Time menjelaskan bahwa praktik wakaf berasal dari Timur Tengah, di mana ia dikenal sebagai wakaf. Ini diperkenalkan ke Singapura oleh pedagang Arab hampir 200 tahun yang lalu. Wakaf pertama kali didokumentasikan di Singapura diciptakan pada 1820. Masjid Omar di ujung Havelock Road diwakafkan oleh pengusaha kelahiran Yaman, Syed Omar Ali Aljunied. Masjid ini juga merupakan salah satu yang tertua di Singapura. Menurut Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Sebagian wakaf warga singapura adalah berupa properti, ruko dan hotel dikelola oleh MUIS. Sementara sisanya dikelola yayasan. Penerima manfaat terbesar adalah masjid. 62 persen dari dana wakaf didistribusikan kepada mereka, dan 9 persen untuk madrasah. Penerima manfaat lainnya adalah orang miskin dan yang memerlukan, serta organisasi-organisasi amal. Untuk urusan wakaf produktif, Singapura memiliki kemampuan hebat dalam pengelolaanya.
Alhasil, jadilah ratusan properti wakaf yang tidak hanya produktif, tetapi menjadi sebuah modal sosial yang berharga sebagai sumber pendanaan program-programsosial. Hingga 2010, properti wakaf di Singapura terdiri atas beragam perumahan, perkantoran, pusat bisnis, hingga serviced apartemen. Seluruh properti wakaf dikelola oleh WAREES, perusahaan real estate yang sahamnya 100 persen dimiliki MUIS dari dana wakaf. Sekitar 60 persen surplus dari dana wakaf disalurkan untuk memelihara masjid-masjid di Singapura. Sehingga tidak heran, jika tidak ada kotak amal yang berkeliling saatSalat Jumat seperti di Indonesia.
Jika semua orang telah keluar dari perangkap kemiskinan, maka akan akan ada keseimbangan alam. Tentunya penghuninya akan hidup dengan nyaman, tentunya pesan Islam tetap harus menjadi yang terdepan, infak, sedekah, zakat dan wakaf. Insya Allah.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News: Suardi, Donny, Azmi, PTIPD
Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu, 5 Agustus 2015