Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
ALKISAH, ada seekor kucing betina yang sedang sakit. Dia punya anak dua ekor, satu putih dan satu lagi hitam. Merasa ajalnya sudah dekat, sang ibu memanggil kedua anaknya untuk diberi nasihat. “Anak-anakku yang ibu sayangi,” katanya memulai pembicaraan. “Mendekatlah kalian kesini, ibu mau bicara”. Dengan perasaan sedih bercampur cemas, si hitam dan si putih segera mendekat kepada ibunya. “Nanti, bila ibu telah mati, kalian tentu akan tinggal di rumah orang. Pesan ibu, tikus satu ekor jangan dihabiskan”. Si hitam yang agak bandel, langsung pergi meninggalkan ibu dan adiknya setelah mendengarkan pesan itu. Dia merasa sudah cukup mengerti dengan pesan ibunya, sehingga tidak perlu lama-lama tinggal disitu menunggu ibunya mati.
Selang beberapa bulan sepeninggal ibunya, si hitam berjumpa dengan si putih di sebuah pasar. Si putih kaget bukan kepalang melihat kakaknya kurus kering dan badannya luka-luka, sementara si putih gemuk dan bersih. Prihatin menengok kakaknya, sang adik langsung bertanya, “kak, kenapa kakak kurus begini? Ada apa dengan kakak?” Dengan raut wajah sedih, sang kakak menjawab “inilah akibat dari pesan ibu kita, kakak jadi menderita seperti ini.” Si adik terkejut mendengar jawaban kakaknya.
“Memangnya kenapa dengan pesan ibu kita Kak?” Si adik bertanya. “Ibu bilang, kalau kalian di rumah orang, tikus seekor jangan dihabiskan,” jawabnya. “Lalu apa yang kakak lakukan ?” si adik bertanya lagi. “Ya, kakak tangkap tikus, lalu kakak makan separuh, dan separuhnya lagi kakak letakkan di tempat tidur majikan agar ia tahu kalau kakak sudah menangkap tikus. Kakak berharap dengan cara seperti itu, majikan kakak akan sayang, karena dianggap rajin bekerja. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kakak dipukuli dan dibuang dari rumah, sehingga hidup terlunta-lunta,” jawabnya. “Ooo begitu. Itulah salahnya kakak, ibu belum selesai bicara, kakak sudah pergi, sehingga kakak salah memaknai kata-kata ibu, “ kata adiknya. “Memangnya apa yang dimaksud oleh ibu?” si kakak kembali bertanya.
“Maksud ibu begini. Bila kita tinggal di rumah orang, kita harus pandai-pandai dengan majikan. Buat ia senang dengan kita dan buat dia merasa terus memerlukan kita, sehingga kita disayang dan diberi makan yang cukup” jawab si adik. “Lalu, bagaimana caranya.” Si kakak terus bertanya. “Bila di rumah ada sepuluh ekor tikus, jangan ditangkap semuanya dalam satu hari. Tapi angsur satu ekor-satu ekor setiap hari, sampai tinggal satu ekor saja. Yang satu ekor itu pelihara baik-baik,” kata si adik. “Maksudnya?”, si kakak bertanya lagi. “Maksudnya, bila terdengar tikus lari-lari di atas loteng, sementara kakak ada di ruang keluarga bersama majikan , kakak pura-pura terkejut di depan majikan, lalu langsung naik ke atas loteng mengejar tikus. Setelah tikusnya dapat kakak tangkap, bawa ke depan majikan kemudian naik lagi ke atas loteng dan tikus itu dilepas kembali. Setelah itu, kakak istirahat saja di sana, seolah-olah sedang memakan tikus. Lakukan itu terus menerus, sehingga majikan kakak merasa tikus masih banyak di rumahnya, dan kakak tetap diperlukan di rumah itu. Yakinlah, dengan cara itu kakak akan disayang oleh majikan kakak,” kata adiknya.
Si hitam termenung mendengar penjelasan adiknya yang sangat cerdik itu, dan menyesal tidak mendengarkan kata-kata ibunya sampai selesai. Lalu ia termenung di sudut pasar memikirkan kata-kata adiknya dan bertekad untuk mempraktikkan di rumah atau di tempat majikan yang baru, agar nasibnya berubah, hidupnya makmur seperti adiknya. Terpikir olehnya betapa cerdiknya akal yang diajarkan oleh sang ibu kepada adiknya, sehingga, seakan-akan mengajarkan bagaimana strategi kerja agar selalu mendapat proyek atau pekerjaan tidak boleh dikerjakan secara sempurna, sehingga setelah pekerjaan selesai, maka habis pula proyek, dan habis pulalah pemasukan.
Tapi, bukankah ajaran seperti itu yang disebut sebagai “cerdik buruk?” Kita mendapat, tapi orang dirugikan. Berbeda dari yang diajarkan oleh agama “kita beruntung, orang mendapat”. Atau , paling tidak, kita beruntung , tetapi orang tidak rugi. Prilaku si kucing putih tidak ubahnya seperti perilaku penjahat krah putih (white collar crime). Penampilannya rapi, bahkan negara yang memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengurus suatu urusan. Si kucing putih laksana si “krah putih”. Bersih kulitnya, bersih pakaiannya, tetapi kotor hatinya. Di hatinya hanya ada kepentingan yang ingin dikejar, walau orang lain, bahkan negara sekalipun harus dirugikan. Proyek harus ada di genggaman tangan setiap tahun, walau cara mendapatkannya harus dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.
Lalu, mungkinkah kebakaran lahan dan asap yang sudah berlangsung selama 18 tahun di Bumi Lancang Kuning , Riau, juga karena ulah si “kucing putih” yang cerdik buruk itu, sehingga terjadi dan terjadi lagi terus menerus, sambung menyambung tanpa henti sampai hutan benar-benar ludes, sampai anak negeri ini benar-benar kehabisan daya untuk mengurus negerinya sendiri di masa datang ?
Entahlah. Kita tidak tahu. Yang kita tahu adalah bahwa kita tidak tahu kenapa kebakaran lahan dan asap ini terus saja berulang setiap tahun, seakan-akan dirancang sebagai sebuah “program tahunan”, yang harus dikerjakan sebagai sebuah pekerjaan rutin yang harus ada. Seakan-akan, kebakaran lahan dan asap harus ada agar ada pula yang harus dikerjakan walau rakyat dan anak-anak bangsa harus menanggung risikonya.
Ya Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu, dan Engkau pula Yang Maha Tahu apakah manusia seperti si kucing putih itu akan dibiarkan terus hidup, sehingga negeri kami akan semakin menderita sebagai azab bagi bangsa yang durhaka, atau akan memberi balasan kepadanya, sesuai kejahatan yang dilakukannya, dan memberikan kembali kenikmatan hidup bagi anak-anak negeri yang telah lama menderita. Ya Allah, kami berserah diri kepada Engkau.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 2 Oktober 2015
redaksi@uin-suska.ac.id