Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam UIN Suska Riau
SECARA umum, setiap manusia menyadari bahwa dirinya merupakan ciptaan dan berada di bawah kekuasaan Tuhan. Namun, tanpa disadari terkadang manusia menempatkan dirinya melapaui “Tuhan”. Tatkala Tuhan dengan Rahman dan Rahim-Nya melampaui murka-Nya yang diwujudkan dengan pengampunan terhadap hamba. Apatahlagi tatkala hamba memohon pengampunan dengan ketulusan dan penyesalan yang mendalam. Untuk itu, Tuhan telah mengajarkan kepada manusia untuk sadar atas ketidakmampuan dan sifat ketergantungannya.
Apa yang ditunjukkan Tuhan kepada hamba-Nya yang sombong dan mengambil hak Tuhan, sesungguhnya dapat terlihat pada pengusiran iblis dari surga-Nya disebabkan keengganan iblis mengakui kelebihan Nabi Adam. Kesombongan iblis dipicu oleh keangkuhan atas asal kejadiannya, ketaatan ibadahnya, senioritas penciptaan atas dirinya. Dan ketinggian derajatnya. Akibatnya, iblis diusir dari surga-Nya. Pengusiran tersebut disebabkan iblis mengambil sifat Tuhan dengan kesombongan atas status yang dimilikinya. Akibat dari pengusiran tersebut, iblis memproklamirkan permusuhan, menanam dendam, dan menyemai kebencian mendalam terhadap Nabi Adam. Dendam dan kebencian pada Nabi Adam dan anak cucunya berlangsung sejak iblis diusir sampai hari kiamat.
Dalam konteks di atas, iblis tidak pernah introspeksi atas dirinya dan melihat keunggulan orang lain yang mungkin tak pernah dimilikinya. Secara tidak bijak justru iblis menjadikan Nabi Adam sebagai musuh, bukan merangkul Nabi Adam sebagai kekuatan yang saling melengkapi. Dalam hal ini, iblis menyelesaikan persoalan dengan dendam kesumat. Apakah setiap kebenaran yang muncul harus disikapi dengan kebencian. Sebagaimana kebenaran firman Allah yang disikapi oleh iblis dengan pengingkaran dan kebencian yang mendalam.
Dendam iblis terhadap Nabi Adam dan anak cucunya sedemikian mendalam. Tak terlihat sedikitpun ruang untuk mengurai benang kusut tersebut. Iblis tak sadar bahwa dendam yang dihunus telah menempatkan dirinya di atas Tuhan. Padahal, Iblis tidak memberikan apa-apa kepada Nabi Adam dan keturunannya. Sementara Tuhan yang memenuhi seluruh hajat hidup hambanya melalui nikmat yang diturunkan-Nya tak pernah dendam tatkala hamba mengingkari ajaran-Nya. Padahal, dendam tak akan bisa pernah terselesaikan dengan dendam, kebencian tak akan pernah terselesaikan dengan kebencian, tapi kesemua itu hanya bisa diselesaikan dengan introspeksi diri dan ketulusan hati. Dalam hal ini, Plato pernah berpesan dalam kata filosofi nan bijak, “tatkala anak kecil takut kegelapan akan tetapi justru orang dewasa takut dengan sesuatu yang terang”. Anak kecil takut gelap karena sucinya diri yang tak mengikari kedudukan Tuhan sehingga ia selalu mencari terangnya kebenaran. Namun, orang dewasa takut suasana terang karena ingin menyembunyikan kotornya diri dari pengetahuan orang lain.
Apa yang dipesankan Plato di atas menyadarkan kita kebenaran fenomena kenapa anak kecil takut kegelapan, berbeda dengan orang dewasa yang justru tak bisa tidur tatkala sinar lampu yang terang benderang. Sebuah kebenaran fenomena yang sering tak mampu terbaca secara bijak dan cerdas.
Dendam hanya akan membuahkan kebencian. Padahal, kebencian akan berubah menjadi kecintaan hanya dimiliki oleh hamba Allah yang kuat. Sebaliknya, kebencian akan kekal menjadi kebencian yang berkarat berakar tunggang karena berada pada hamba Allah yang lemah.
Dendam dan kebencian sebagai penyakit psikis, secara psikologis akan memicu timbulnya berbagai penyakit fisik. Di antara penyembab munculnya dendam dan kebencian disebabkan oleh “keserakahan” diri yang terbendung. Tatkala keserakahan tak tercapai, maka munculah dendam dan kebencian. Keserakahan yang muncul dapat berwujud pada materi, jabatan dan kedudukan, kekuasaan, primordialisme, dan sebagainya. Hanya disebabkan oleh perbedaan, acapkali manusia bertindak tidak bijak dan tampil menjadi kekuatan yang melampaui kekuatan Tuhan.
Dendam, kebencian, dan keserakahan pada terminalnya akan berujung pada upaya menyengsarakan orang lain. Kesengsaraan yang ditimbulkan bagai kebakaran di lahan gambut. Ianya bukan hanya tertuju pada personal, akan tetapi menjalar secara masif dalam dimensi yang luas.
Dalam dimensi lain, pelaksanaan supremasi hukum yang tidak kokoh akan menyebabkan ketidakadilan dan kezaliman. Keputusan yang hanya mengacu oleh kepentingan dengan dalil akal yang subyektif akan menyebabkan kesengsaraan. Hukum yang demikian seakan melihat orang lain serba bersalah, dan meletakkan diri sebagai orang yang suci tanpa dosa. Padahal, mungkin diri justru lebih kotor dan salah ketimbang orang yang diputuskan bersalah. Seakan manusia lupa bahwa dirinya hanya sebatas hamba, bukan Tuhan yang Maha Suci dan Maha Benar nan obyektif.
Ruang melihat diri yang terbatas dan melihat orang lain tanpa batas seakan terdinding oleh arogansi yang memuncak. Sikap yang demikian hanya akan membuahkan malapetaka dan kezaliman. Padahal, Tuhan mengajarkan manusia perilaku bijak melalui firman-Nya. Seyogyanya, manusia mampu melihat dirinya dalam ruang yang luas dan orang lain dalam ruang yang sama pula. Hanya dengan demikian, kebajikan akan tertanam dan membuahkan kedamaian, sebagaimana yang diajarkan Tuhan.
Sudah saatnya manusia sadar akan keterbatasan dan kealpaan diri agar muncul kerendahan hati. Dengan kesadaran tersebut, manusia akan sadar bahwa dirinya hanya sebatas wakil Tuhan (khalifah), bukan setara Tuhan apatahlagi berada di atas “Tuhan”. Namun, jika kesadaran diri tertutup oleh kesombongan atas apa yang dimiliki dan berbuat aniaya pada orang lain, berarti manusia berupaya berada pada posisi di atas Tuhan. Ketika ini dilakukan juga, demikian angkuhnya manusia dengan keangkuhan yang dimiliki iblis. Semoga kita terlepas dari kesalahan yang memosisikan diri seakan di atas “Tuhan” dan menjadi hamba yang sadar bahwa diri hanya hamba yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Tuhan dalam peradilan obyektif. Wa Allahua’lam bi al-shawwab.
Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin, 5 Oktober 2015
redaksi@uin-suska.ac.id