Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau
SAAT ini, sebagian media sosial sedang gencar mengampanyekan aliran syiah. Lalu mereka tampilkan foto Grand Syaikh al-Azhar Ahmad Muhammad al-Thaib sedang bersalaman dengan presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Pada kesempatan lain, mereka tampilkan pernyataan sebagian ulama al-Azhar yang kelihatan dekat dengan kaum syiah.
Maka, sebagian muslim ahlussunnah, mesti juga memperkenalkan kepada umat Islam di Tanah Air sikap ulama al-Azhar terhadap syiah.
Kedudukan Hadist Nabi
Muslim Ahlussunnah meyakini bahwa hadist Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran. Dan hadist Nabi juga berfungsi sebagai penafsir Alquran. Makanya, mengingkari hadist Nabi bisa dianggap mengingkari Alquran. Kaum syiah juga beriman kepada hadist Nabi. Tapi mereka juga meyakini hadist para Imam Syiah itu adalah firman Allah SWT. Begitu pernyataan ulama Syiah Muhammad Shaleh al-Mazindarany dalam bukunya Syarh al-Kafy (2/271).
Ulama Syiah kontemporer Abdullah Fayyadh dalam bukunya Tarikh al-Imamiyah mengatakan , keyakinan Syiah bahwa para Imam Syiah itu ma’shum (tak pernah melakukan dosa), maka semua hadist para imam itu sahih dari Nabi Muhammad dan tak perlu lagi dikaji sanad (mata rantai perawi) hadist itu.
Cuma masalahnya, kaum syiah hanya menerima hadist riwayat Ahli Bait (keluarga Nabi) saja dan menolak semua hadist riwayat para sahabat nabi. Ini bisa dilihat dari pernyataan ulama syiah Muhammad Al-Husein Alu Kasyif al-Ghitha’ dalam bukunya ashl al-syiah wa ushuluha. Yaitu syiah hanya menerima hadist riwayat ahlu bait, yaitu abu abdullah ja’far al-shadis, dari ayahnya Abu Ja’far Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Abu al-Husein Zainal Abidin, dari Abu Muhammad al-Hasan, dari ayahnya Abu al-Hasan Ali bin Abu Thalib dari Rasulallah SAW.
Al-majlisy dalam bukunya Bihar al-Anwar (2/214) menegaskan larangan menerima riwayat hadist dari Ahlussunnah. Tapi hal itu boleh dilakukan untuk tujuan menguatkan argumentasi penyebaran ajaran syiah.
Masalahnya lagi, para ulama syiah tidak punya ketentuan baku dalam menetapkan sebuah hadist itu sahih atau dhaif (lemah). Seperti kitab Rijal al-Kasysyi dianggap di antara kitab syiah membahas kedudukan rijal-al-Kasysyi (1/365) ini ada pernyataan melaknat Zararah bin A’yun dan menganggapnya lebih jahat dari yahudi dan nasrani.
Namun begitu, hadist riwayat Zararah bin A’yun ada 700 buah dalam kitab al-Kafy, 775 buah dalam kitab Tahzib al-Ahkam, 250 buah dalam kitab al-Istibshar dan 220 buah dalam kitab man la Yasdhuruh al-Faqih.
Kedudukan Imam Syiah
Bagi Syiah, meyakini keyakinan kepemimpinan Ali bin Abu Thalib dan anak cucunya merupakan bagian dari rukun iman. Dan orang yang tidak meyakininya, mereka anggap sebagai non muslim. Bukan saja itu, Syiah juga mengkultuskan para imamnya dan menempatkannya di atas kedudukan para nabi.
Diantaranya, dalam kitab Bihar al-Anwar (26/294) oleh Muhammad Baqir al-Majlisy terdapat 13 hadist menyatakan bahwa para Imam Syiah itu lebih mengetahui dari pada para Nabi, juga ada 16 hadist menyatakan doa para Nabi itu bisa terkabul disebabkan tawassul kepada para Imam Syiah. Juga ada 3 hadist menyatakan bahwa para Imam Syiah itu mampu menghidupkan orang yang telah mati.
Dalam kitab al-Kafy (1/258) oleh al-Kulainy terdapat 5 hadist menyatakan bahwa para Imam Syiah itu mengetahui waktu kematiannya, dan mereka mati sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Pendekatan Sunni-Syiah
Dengan sebagian keyakinan syiah itu, apakah mungkin bisa dilakukan pendekatan atau kesepahaman antara Sunni dan Syiah. Ini pertanyaan besar yang sulit untuk dijawab.
Namun begitu, penulis buku al-Imam al-Shadiq, Syaikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan, pada masa dahulu sudah ada usaha pendekatan Sunni-Syiah yang digagas oleh ulama terkemuka Syiah penulis kitab Tahzib al-Ahkam, yaitu Abu Bakar al-Thusy.
Tapi masalahnya, pendekatan al-Thusy ini dicemari dengan imam Syiah kepada taqiyah (berkata dan berbuat tidak sesuai dengan keyakinan) atau penipuan. Tambah lagi al-Thusy menolak semua riwayat hadist dari ahlussunnah. Bahkan dia juga menolak riwayat hadist dari Zaid bin Ali al-Husein yang merupakan di antara pemimpin besar dari Ahli Bait.
Usaha pendekatan Sunni-Syiah terbesar pada abad 12 pernah dilakukan di Najaf Irak (25 Syawwal 1156) yang digagas oleh ulama terkemuka ahlussunnah Irak, Syaikh Abdullah al-Suwaidy.
Dalam Muktamar Najaf itu dihasilkan kesepakatan larangan mencaci dan mengkafirkan sahabat Nabi. Tapi hasil muktamar itu tidak berjalan pada penerapannya, karena sikap taqiyah yang diperankan Syiah dalam pergaulannya dengan Ahlussunnah.
Kemudian, usaha pendekatan Sunni-Syiah yang besar lagi ialah terbentuknya Jama’ah al-Taqrib Baia al-Mazahib al-Islamiyah yang berpusat di Mesir. Usaha ini digagas oleh orang Iran Muhammad Taqy al-Qunny pada tahun 1364 H.
Usaha al-Qunny ini mendapat sambutan dari para ulama al-Azhar. Lalu Syiah mengadakan pendekatan kepada Grand Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut yang akhirnya mengeluarkan fatwa (1436H) kebolehan mengikut mazhab ja’fari (Syiah Imamiyah Iran).
Dalam bukunya al-Fikr al-Islamy Wa al-Mujtama’at al-Muashirah, Dr. Muhammad al-Bahy mengatakan bahwa fatwa Syaikh Syaltut itu mereka jadikan sebagai dasar penyebaran ajaran Syiah di Mesir. Lalu, para ulama al-Azhhar menolak sikap Syiah itu dan pada akhirnya usaha pendekatan itu pun bubar, kemudian muncul usaha pendekatan Sunni-Syiah secara perorangan. Dari Ahlussunnah, seperti Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Rasyid Ridha, Dyaikh Musthafa al-Siba’iy dan Syaikh Musa Jarullah.
Tapi semua usaha itu tidak berhasil. Dan kegagalan usaha pendekatan Sunni-Syiah itu berpunca pada keyakinan Syiah yang menganggap pendekatan itu sebagai jalan bagi mereka menyebarkan ajaran Syiah dikalangan masyarakat Sunni. Lebih jelas lagi, bisa dibaca dalam buku Mas”alah al-Taqrib Baina Ahl al-Sunnah Wa al-Syiah oleh Dr. Nashir Abdullah al-Qafary.
Sikap Ulama al-Azhar
Menurut sejarahnya, tidak ada akar keberadaan Syiah di Mesir. Sebab, penduduk Mesir berada di bawah kekuasaan khilafah Umawiyyah dan Abbasiyah. Pada masa khalifah Abbasiyah Abu JA’far al-Manshur (136-158H), pernah syiah Ismailiyah hendak menguasai negeri Mesir. Tapi pada akhirnya gagal karena mendapat perlawanan sengit dari penduduk Mesir yang tetap loyal kepada khilafah Abbasiyah. Sejarah terus berjalan, dan pada tahun 567 H, di bawah kekuasaan Shalahuddin al-Ayyubi, penduduk Mesir melakukan pengusiran semua penganut Syiah yang ada di Mesir. Lebih jelas lagi, bisa dilihat dalam buku Mishr Wa al-Syiah Baina Shara’ al-Madhi Wa Khathr al-Mustaqbal oleh Hamdi Ubaid.
Pada masa Grand Syaikh al-Azhar Jad al-Haq Ali Jad al-Haq (1982-1996), para ulama terkemuka al-Azhar mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap Syiah dengan membeberkan kesesatan akidah Syiah. Diantaranya Ketua Komisi Fatwa al-Azzhar, Syaikh Athiah Shaqar. Menteri agama Mesir dan anggota Badan Riset al-Azhaar Syaikh Abdul Mun’im al-Nimir. Dan para guru besar di Al-azhar , seperti Syaikh Muhammad al-Khusu’iy, Syaikh Umar Abdul Aziz Qursyi, Syaikh Musthafa al-Dumairy, dan liannya.
Pada 19 April 20119, Grand Syaikh al-Azhar Muhammad Sayyid Thanthawi pula menghentikan kerjasama antara al-Azhar, Iran dan Hizbullah. Beliau juga melarang al-Azhar meneliti semua buku yang dikasi ulama Syiah Iran kepada al-Azhar.
Pada 24 September 2008, para ulama al-Azhar yang tergabung dalam Jabhah ‘ulama al-Azhar menyatakan, bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah (terutama Syiah Rafidhah, Nushairiyah dan Isma’iliyyah) adalah perbedaan pada pokok agama. Lalu Jabhah ‘Ulama al-Azhar menegaskan, Syiah dan Sunni itu saat ini merupakan dua agama, bukan satu agama. Wallahua’lam.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 4 Desember 2015
redaksi@uin-suska.ac.id