Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau
BILA bumi telah letih dan menderita tiada tara karena dikuras atau dirambah tanpa iba, maka manusia yang ada di atasnya menjadi dua strata : sang penguras dan perambah yang punya kuasa dan; orang biasa dan jelata yang tidak punya daya selain hanya bisa merasa, namun keduanya sama dalam rasa, sama-sama letih dalam hidupnya. Yang pertama letih dan lelah karena yang dicari tidak kunjung membuat bahagia, sementara yang kedua letih dan lelah melihat perilaku saudaranya yang rakus dan tamak seperti hidup tidak akan berakhir dengan kematian. Bumi letih, bumi lelah, manusia letih, manusia lelah, sementara waktu terus berlalu, masa terus berganti, umurpun semakin tua, yang dicari dan yang dikejar semakin jauh, padahal jalan hidup semakin dekat dengan perhentian.
Pergantian tahun dari angka yang kecil ke angka yang lebih besar dimaknai sebagai tahun baru, padahal sebenarnya adalah semakin usang dan semakin lapuk menuju akhirnya masa. Perjalanan hidup bukan surut ke belakang untuk didaur ulang, tetapi maju ke depan menuju lapuk dan usang di makan usia yang semakin tua. Namun sayang seribu sayang. Hidup yang seharusnya semakin arif dengan bertambah jauhnya berjalan, semakin bijak dengan semakin banyak pengalaman yang dapat dijadikan guru untuk menyauk hikmah dari semua yang dialami, ternyata justru semakin kemaruk dan kasak kusuk, sehingga tidak tahu lagi apa sesungguhnya yang hendak dicari.
Hidup berputar di situ dan ke situ lagi, lalu lemah lunglai dan jatuh terhempas karena kehabisan tenaga memperturutkan hawa dan ambisi yang tidak kunjung berhenti. Bagaikan anak-anak yang bermain di tengah halaman, tidak ada tujuan yang hendak dicapai, tidak ada aturan yang hendak diikuti. Semua berjalan sesuai kehendak hawa nafsu, setelah itu, semua jadi usai dan permainanpun berakhir dengan kematian. Itulah hidup orang yang hanya mengejar kesenangan. Dikira hidup cukup hanya di dunia, padahal ia hanyalah tempat lalu dan persinggahan sementara. Akhiratlah tempat hidup yang sesungguhnya. Disanalah akhir segalanya dan disana juga semuanya akan berlangsung secara kekal dan baqa.
Oleh sebab itu, bila akhirat adalah hidup yang sebenarnya, maka aturan Sang Penguasa Akhirat lah yang seharusnya dituruti dan ditaati ketika hidup di dunia. Dialah Yang Maha Tahu tentang dunia dan tentu Dia jugalah Yang Maha Tahu tentang manusia. KemahatahuanNya tentang dunia dan manusia seharusnya diyakini bahwa hukum yang dibuatnyalah yang maha menjamin keselamatan manusia di dunia untuk selanjutnya dibawa ke akhirat sebagai dunia yang kekal dan baqa itu.
Kini, setelah dunia berusia sekian lama, setelah Negara Indonesia berumur lebih dari tujuh dasa warsa, hukum dari Yang Maha Kuasa seakan dilengahkan dan dipinggirkan. Rekayasa akal-akalan sarat kepentingan seakan mengambil alih semua, menggeser hukum dari Yang Maha Kuasa. Lalu, terjadilah akal-akalan seseorang terhadap seseorang yang lain. Adu akal, adu cerdik dan akhirnya adu tipu dan daya licik melicik , memainkan permainan iblis, makhluk yang dikutuk Allah karena kedurhakaannya kepada Allah.
Artinya, permainan hidup yang dimainkan bukan menurut aturan dan hukum Allah, melainkan aturan dan hukum iblis, karena yang dimainkan adalah permainan “buatan” iblis. Itulah hukum jahiliyyah, hukum yang kuat menerkam yang lemah; yang cerdik menipu yang bodoh; yang kaya “membeli” yang miskin. Maka adalah wajar, bila dunia semakin rusak, bila Indonesia semakin sakit, karena tidak ada iblis yang berniat baik untuk manusia, tidak ada iblis yang berhasrat menolong manusia. Iblis tetap iblis , dimana dan bila pun adanya. Tidak ada tujuan yang hendak digapai olehnya, kecuali menyesatkkan manusia agar bisa menjadi teman di neraka. Itulah sebabnya Allah mengingatkan bahwa “iblis itu adalah musuhmu, maka jadikanlah ia sebagai musuh,” jangan mau berteman, walau sekejap. Bila khilaf atau lupa dan terlanjur ikut dengannya, kembalilah ke posisi semula, di jalan Allah, mengambil posisi sebagai musuhnya, musuh yang sesungguhnya.
Sekarang, mari kita bicara tentang Indonesia secara khusus, dan Riau Khususnya lagi, sebagai negeri yang diwariskan oleh pendahulu setelah mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang telah mencengkram berabad-abad lamanya. Tujuh puluh tahun sudah penjajah pergi, dan selama itu pula kemerdekaan dikumandangkan. Tetapi betulkah negeri ini kini telah benar-benar lepas dari jajahan, sehingga bisa menentukan nasib sendiri seperti orang yang bebas dari rasa takut, rasa khawatir, atau rasa dikekang oleh orang lain? Betulkah nasib anak-anak bangsa telah lebih baik dari masa-masa dulu dijajah oleh kaum kolonial? Adakah negeri ini kini telah lebih aman dibanding dari masa-masa penjajahan itu? Betulkah sumber daya alam yang melimpah telah dirasakan oleh anak-anak bangsa sebagai rahmat yang mengangkat kesejahteraan dan derajat mereka dibanding dulu sebagai bangsa terjajah?
Saya yakin, tidak seorangpun yang berpikir jernih, jujur dan berwawasan akan memberi jawaban “sudah”, untuk pertanyaan tersebut. Negeri ini semakin terkuras, semakin menderita dan semakin sakit. Bangsa ini semakin hari semakin kehilangan harapan, diselimuti rasa cemas dan khawatir. Kecuali segelintir orang tertentu, anak-anak bangsa ini semakin merasa ketidakmenentuan nasibnya dan nasib anak cucunya. Masing-masing orang hanya berpikir untuk menyelamatkan diri dan atau keluarganya sendiri. Ketidakacuhan sosial semakin menjadi-jadi, dan akhirnya memicu kebringasan sosial di hampir seantero negeri.
Lalu, masih belum tiba jugakah masanya untuk menyelidiki dengan hati nurani, kenapa semua ini bisa terjadi seperti ini ? Kenapa negeri orang bertambah baik, minimal tidak semakin sakit seperti kita, tetapi kita menerima nasib seakan-akan ini adalah kehendak dari Ilahi?
Kalau kita memang mau berjujur-jujur dengan diri, berjujur-jujur dengan nurani, mengabaikan ajaran Ilahi adalah sebab dari semua ini. Kitab suci dibaca setiap hari, tetapi isinya tidak dipedomani. Kisah-kisah rasul dan para nabi diceramahkan dan didendangkan dari hari ke hari , tetapi akhlaknya tidak diikuti. Sejarah syuhada dan para pejuang bangsa dibaca dan ditonton di buku dan di televisi, tetapi hidup dan keikhlasan mereka tidak diteladani. Hukum Allah dipermainkan, hukum iblis diturutkan.
Hidup bagaikan sinetron yang ditonton, penuh kepura-puraan, dari elite sampai ke wong cilik. Akibatnya, hidup mengikuti hukum sinetron, yang penting untung besar, tidak peduli orang dirugikan, negeri ini seperti tidak bertuan, lalu semua menjadi tuan. Semua memperturutkan kehendak yang mau ia turutkan: di jalan raya langgar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang taat dianggap salah; di kantor langgar aturan dan disiplin pegawai, siapa yang tidak mau dicurigai dan disisihkan ; di pasar berbuat curang kepada pembeli, berlaku jujur dimusuhi; di dunia politik berbuat bohong dibuntuti, sehingga akhirnya masing-masing memperturutkan keingingan sendiri-sendiri dengan aturan dan hukum sendiri. Ada aturan dan hukum yang dibuat bersama untuk kepentingan bersama, tetapi dilanggar karena bertentangan dengan kepentingan pribadi, pribadi yang menjadi tuan-tuan di negeri yang bertuan tetapi tidak bertuan.
Lalu sampai bilakah kondisi ini akan begini? Apa perlukah dibiarkan berlanjut terus sampai akhirnya negeri ini tenggelam ke dalam perut bumi?
Tidakkah kita mau berkeyakinan bahwa sehebat apapun seseorang, tidak akan ada yang mampu menyelesaikan persoalan manusia dalam arti sesungguhnya, bila ia tidak menyertakan Zat yang benar-benar mengerti tentang manusia itu sendiri di setiap usahanya. Zat itu adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa di atas segalanya, bukan iblis yang selalu menyombongkan diri dengan asal penciptaan yang dianggapnya lebih mulia dari manusia. Janganlah kita beranggapan lebih tahu dan lebih berilmu pula dari ilmunya Allah yang tahu segalanya, sehingga akhirnya menyertai iblis itu dalam kesombongan tersebab ilmu dan kekuasaan yang ada pada diri kita. Tidakkah kita mau ikut kepada para pendiri bangsa, bagaimana mereka menerjemahkan firman Allah untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara seperti tertuang dalam Pancasila, falsafah Negara yang mereka wariskan kepada kita.
Apapun yang akan dilakukan, haruslah didasari oleh tauhid, keyakinan tentang kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah. Apapun yang akan dilakukan harus dilandasi rasa penghargaan yang tinggi terhadap kesamaan dan penghargaan tentang derajat manusia dan kemanusiaan, sebagimana firman Allah bahwa Dia tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan harta, pangkat, suku dan lain sebagainya, kecuali karena ketakwaannya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun yang akan dilakukan, harus mengedepankan persatuan bangsa sebagai pengejawantahan dari firman-Nya agar jangan berpecah belah. Apapun yang akan dilakukan, harus dirembugkan terlebih dahulu melalui musyawarah dalam mufakat, sebagai pengejawantahan dalam segala urusan bersama. Apapun yang akan dilakukan, harus diprioritaskan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi sesama manusia, terutama manusia Indonesia, sebagai pengejawantahan dari firmanNya untuk berlaku adil kepada semua manusia.
Itulah sekelumit bukti betapa pendiri bangsa ini menyertakan Allah dalam merancang negara untuk dijadikan pedoman oleh para pelanjutnya dalam membangun bangsa dan Negara di kemudian hari. Tapi, kenapakah kita tidak mau meniru mereka, lalu bermanuver dengan menggunakan akal-akalan, seperti iblis mengakal-akali kita sebagai manusia yang dianggapnya rendah derajat dari derajat mereka sendiri? Marilah gali wahyu Allah, di kitab suci yang pernah diturunkanNya, terutama di kitab terakhir yang diturunkanNya kepada Nabi terakhir pula. Pahamilah wahyu yang ada didalamnya, kemudian terjemahkanlah ia ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar kesesatan ini tidak semakin jauh seperti diinginkan oleh iblis sang laknatullah. Kalau tidak juga mau, maka hukum siapa lagi yang akan dicari?
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 5 Januari 2016
redaksi@uin-suska.ac.id