Dosen pada Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau
Tersebab Jebat, sejarah Melayu menerima takdir yang memukau. Dari setia tanpa nalar pada baginda sultan, Hang Jebat merangkai logika sehat; “raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Tersebab Jebat, akal budi Melayu menjadi paripurna. Mengisi watak pengalah dengan kata kerja ”lawan”, sebagaimana Islam memuliakan jihad. Hanya dengan keadilan (yang diperoleh dengan perlawanan), kezaliman pergi sejauh-jauhnya. Dengan spirit lawan pula, Riau “merdeka” dari Sumatera Tengah, dan Afrizal Cik dapat mengisahkan pengusiran Belanda di Selat Panjang dalam buku “Tanah Jantan yang Melawan” .
Kini, dimanakah Hang Jebat itu bersembunyi, ketika PLTA Koto Panjang dikebiri “hal vital”nya; kawasan penyerap air (catchman area) di hulu sana? Kemanakah Hang Jebat itu pergi, tatkala hutan yang meminjam Tenas Effendy —sebagai simbol marwah— itu diluluh-lantakkan kaum neo imperialis berjubah devisa negara?
Maka jerit panjang saudara-saudara kita yang dilanda banjir bandang Sungai Kampar itu hanya dijawab dengan mi instan, boat karet, pelambung, jalur evakuasi serta konferensi pers para penggawa negeri yang suka menyebar senyum misteri. Saya sempat dibuat terkagum, dengan seorang juru bicara Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Riau yang jago menguraikan tahapan penanganan pasca-bencana. Tetapi yang sungguh-sungguh Riau perlukan adalah sebuah perencanaan radikal pra bencana; restorasi ekosistem hulu PLTA Koto Panjang, rehabilitasi gambut yang semaput, dan lawanlah para perenggut keperawanan ekologis.
Feeling telah bermainnya kaum “imperalis internal” (memakai istilah Mansoer Faqih) yang dibiayai kapitalis ini tampak pada tulisan Tri Annisa Fajri yang berjudul “Habis Banjir, Waspada Kekeringan”. Pada alenia ke-6, Tri menulis; “banjir yang sangat besar tersebut bukan disebabkan oleh faktor alam atau fisik melainkan karena tindakan manusia. Barangkali bukan rahasia umum lagi, jika kawasan lindung yang ada di hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Koto Panjang sudah diubah dengan sengaja untuk area penggunaan lain (APL). Akan tetapi, mengapa tindakan mempermainkan hukum ini begitu mudah dilakukan oleh oknum-oknum “sakti “ tersebut?
Sesat Gambut
Bagi logika polos Hang Tuah, hegemoni raja yang mengarus jeramkan isu gambut harus ditelan mentah mentah. Isu gambut, dipoles begitu rupa bak syair —gurindam peluluh hati, membuat lupa dan lena orang Riau akan persoalan akar, yaitu pemusnahan ekosistem dan hak ulayat adat berpuluh tahun lamanya. Hutan tropika basah yang bermastautin dilahan gambut Riau itulah yang dimusnahkan oleh para pendatang imperialis yang “digendong” aktor negara sehingga gambut berkecai-kecai jelmalah kabut.
Hang Jebat kontemporer agaknya sempat diperankan Tabrani Rab sejak era 80-an menulis dan mengekspos ambrukisasi lingkungan Riau dalam berjilid-jilid bukunya. Walaupun, di ujung jalan Tabrani berbalik “meng-Hang Tuah” dengan menjadi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) ketika putik “Riau Merdeka” mulai bersemi jadi bunga. Di saat sang tokoh kontroversial mulai renta, estafet Hang Jebat hendak dilanjutkan oleh kaum muda yang tergabung dalam Scale Up, Jikalahari, Walhi dan para aktivis lingkungan. Sayangnya, para kaum muda itu, tak mampu “mengaruk” laksana Jebat memporak-porandakan istana sultan. Gerakan mereka terputus-putus (diskontinuitas) sangat dibatasi oleh apa yang hanya disetujui dalam program yang diskenariokan.
Koordinasi ke publik dan massifikasi lintas stakeholder menjadi lamban, karena itu aspek ideologi harus kencang ditiupkan. Bahkan, ketika penguasa menghegemonikan wacana gambut —untuk menutupi kehancuran lingkungan— sejak bencana asap 2015, para anak-anak muda itu seolah lupa “karya besar” dan kerja panjang advokasi kejahatan kehutanan awal 90-an itu. Mereka larut pula dalam sesat fikir gambut, berharap ke istana dan Kementerian LHK melakukan perubahan, membuat program berkisar gambut juga, tersihir oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) noeliberal pro investor yang baru dibentuk Presiden Jokowi.
Jebat Ekologis
PLTA Koto Panjang yang malfungsi, lenyap hutan berganti banjir di Kampar dan Rokan Hulu serta paradoks ekologis yang terpampang di musim hujan ini, sungguh menanti ”Hang Jebat ekologis” yang mumpuni.
Wajar seorang kawan mengeluh. Dalam krisis ekologi yang makin menggila, orang Melayu —termasuk pemimpin Melayu- masih mengandalkan pantun, berpuisi dan berkutat pada karya seni pragmatis-individualis— yang menurutnya kering dari aksi pembelaan. Yang diinginkannya adalah formulasi kebudayaan dan gerakan neo-Melayu ber-spirit Jebat untuk mempertahankan hutan-tanah (bukan gambut) yang tersisa, agar anak kemanakan dan kampung halaman tak poranda dilabrak bencana.
Penulis dapat mengerti pemikirannya, karena tetua Melayu mengatakan hutan tanah adalah simbol marwah dan tuah. Lengkapnya, hutan dibagi tiga fungsi. Pertama, hutan sebagai simbol falsafah. Kedua, hutan sebagai simbol marwah. Ketiga, hutan sebagai sumber nafkah. Sumberdaya alam dan lingkungan, terlebih utama tidaklah dipandang sebagai sumber nafkah yang mengharuskan peranggahan (over-eksploitasi) sampai petaka menjelma. Tetapi dibelai dengan kasih sayang, dihayati sepenuh hati, karena dari alam tersusun falsafah hidup mendalam, tunjuk ajar supaya bumi tidak karam. Wajar bila dalam suatu riwayat sejarah yang penulis lupa naskahnya, Raja Ali Haji selalu pergi ke tepi hutan atau menyusuri sungai untuk menangguk inspirasi sebelum mengarang.
Jika demikian hal ikhwalnya, melestarikan hutan telah bermakna lebih dari sekadar persoalan nafkah-ekonomi; kebun getah, kebun sagu, ganti rugi, Pembangkit Listrik, pola kemitraan atau mempertahankan biodiversitas tanah redang (gambut) dari penjarahan sistematis kaum neokapitalis lokal. Bagi the true Malay sang Hang Jebat Ekologis, membela hutan tanah berarti sebuah perlawanan budaya sarat keagungan; mengangkat jati diri, pengumuman cara berada (becoming) puak Melayu kepada dunia; sebuah pertaruhan eksistensial.
Pola pikir yang berakar pada falsafah budaya penting untuk memberi perspektif segar jika ingin memperbaiki rona lingkungan secara mendasar. Apabila sensitifitas Hang Jebat yang berani dan berkelebat cepat, belum tumbuh dari kalangan pejabat tatkala hujan makin lebat, alamat banjir dan asap akan istiqamah menyapa provinsi “berkuah” yang telah hilang tuah dan marwah. Siapakah yang sudi menjadi Hang Jebat from Koto Panjangi al Kampari bin Rohuli yang sedang ditunggu dan dicari? Saya kira Tri Annisa Fajri, Adnan Kasry atau Elviriadi hanya sanggup menulis rajah luka ekologi yang kian mengusik hati. Ketajaman pedang hanya dimiliki pemimpin yang bijak bestari.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Kamis (18 Februari 2016)
redaksi@uin-suska.ac.id