Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau
Zakat menurut bahasa artinya membersihkan diri atau menyucikan diri. Sedangkan pengertian zakat menurut istilah adalah ukuran harta tertentu yang wajib dikeluarkan kepada orang yang memerlukan atau yang berhak menerima dengan beberapa syarat sesuai dengan syariat Islam.
Seorang Muslim yang mampu dalam ekonomi wajib mengeluarkan sebagian hartanya kepada orang-orang yang berhak menerima. Baik melalui panitia zakat maupun didistribusikan secara langsung/sendiri.
Membayar zakat fitrah atau zakat fitri hukumnya wajib bagi umat Muslim. Dari Ibnu Abbas RA: Rasullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.
Dari berbagai literatur yang ada dapat disimpulkan bawah syarat wajib zakat fitrah adalah Islam. Memiliki harta yang berlebih untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya untuk malam siang 1 Syawal. Ada kehidupan pada rentang waktu akhir Ramadan sampai khatib naik mimbar.
Terdapat beberapa waktu dalam membayar zakat fitrah. Yang utama setelah terbenam matahari akhir Ramadan sampai khatib naik mimbar. Jawaz (dibolehkan), sejak awal Ramadan (menurut Imam Syafi’i), tiga atau empat hari menjelang Syawal (menurut Imam Abu Maliki) dan bahkan dapat diberikan sejak awal tahun hijriah jika ada kemaslahatan (menurut Imam Abu Hanifah). Haram, setelah khatib naik mimbar.
Adapun benda yang digunakan dalam berzakat fitrah adalah makanan pokok yang dikonsumsi muzakki. Dengan analogi makanan pokok di zaman Rasulullah yaitu kurma atau gandum (seperti hadis Ibnu Abbas), sesuai fungsi thu’matan (untuk mengenyangkan). Dalam hal ini Imam Syafi’i cenderung berpendapat bahwa yang dikenyangkan itu adalah perut. Sedangkan benda yang dapat mengenyangkan perut adalah makanan pokok.
Boleh menggunakan harga makanan pokok demi kemaslahatan. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa lafaz thu’matan dalam hadits di atas bukan sekadar mengenyangkan perut, tapi pakaian, tempat tinggal dan perut, maka pembayaran zakat dapat diberikan dengan harganya agar si miskin dapat membeli pakaian, menyewa atau beli perumahan (tempat tinggal) dan dapat membeli jenis makanan lain, untuk membuat ia bahagia di Idul Fitri.
Adapun jumlah atau nilai harga zakat fitrah adalah 1 sha’ (seperti hadis dari Ibnu Umar di atas), nilainya dari hari penelitian adalah setara dengan 4 mud, sedangkan 1 mud setara dengan 0.6 kg, maka 1 sha’ adalah 4 mud X 0,6 Kg = 2,4 kg atau digenapkan menjadi 2,5 kg. Sedangkan nilai harganya dapat disurvei dari harga terkini dari makanan pokok yang dikonsumsi, sebagaimana yang selalu dirilis oleh Kementerian Agama.
Sementara sebagian ulama berpendapat zakat profesi tidak didukung oleh adanya dalil yang jelas. Baik berasal dari Alquran maupun sunnah. Bahkan Rasulullah SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masanya. Sementara sekian jenis profesi dan spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi.
Maka bila hari ini ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak ada zakat profesi di dalam syariat Islam bisa diterima. Sebab dasar pengambilan hukumnya memang sudah tepat. Yaitu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dan juga tidak dipraktikkan oleh para shahabat, bahkan oleh para salafus shalih sekalipun.
Hanya saja tentu terlalu terburu-buru memvonis bahwa pelaksanaan zakat profesi merupakan kerjaan bid’ah hanya karena kita tidak menemukan contoh kongkretnya di masa Rasulullah SAW, tentu tidak sesederhana itu masalahnya. Masalahnya adalah apakah bisa disepakati bahwa semua fenomena yang tidak ada di masa Rasulullah SAW itu langsung dengan mudah bisa dijatuhkan ke dalam kategori bid’ah?
Sebab bila memang demikian, maka mengeluarkan zakat dengan beras pun tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan kita semua di negeri ini dan di kebanyakan negeri Muslim umumnya mengeluarkan zakat fitrah dengan beras. Apakah kita ini pasti ahli bid’ah karena tidak berzakat dengan gandum seperti Rasulullah SAW?
Selanjutnya zakat profesi bukanlah hal baru, bahkan para ulama seperti Yusuf al-Qardhawi mengatakan landasan zakat profesi atau penghasilan itu sangat kuat. Yaitu langsung dari Alquran sendiri.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari kasabmu (penghasilanmu) yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu?. (QS al-baqarah : 267)
Maka nash zakat profesi atau zakat penghasilan adalah Alquran sendiri. Seperti istilah kasab yang digunakan oleh Alquran maknanya adalahberprofesi. Selain itu bahwa profesi di masa Rasulullah SAW itu berbeda hakikatnya bukan karena dia berprofesi apa atau berdagang apa, tetapi apakah seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak. Pada hakikatnya adalah memungut harta dari orang kaya untuk diserahkan kepada orang miskin, sebagaimana pesan Rasulullah SAW ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW mengatakan bahwa beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka.
Di masa Rasulullah SAW ada beberapa jenis profesi, namun jika mereka tidak termasuk orang kaya dengan penghasilan yang besar, maka Rasulullah SAW tidak mengambil zakat dari mereka. Lain halnya dengan masa sekarang ini, yang kita sebut sebagai profesional bisa jadi orang yang sangat kaya dan teramat kaya, melebihi kekayaan para petani dan peternak.
Sehingga benarkah Islam tidak mewajibkan zakat orang kaya yang nyata benar kekayaan berlimpah, hanya karena di masa Rasulullah SAW belum ada fenomena itu ?
Tidakkah kita bisa membedakan esensi dari zakat yang utama yaitu mengambil harta dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Ataukah kita terpaku pada fenomena sosial yang ada di masa Madinah saja? Nah, argumentasi seperti itulah yang harus diajukan untuk zakat profesi sekarang ini. Dan bila kita secara tenang memahaminya, argumen itu relatif tidak terlalu salah. Paling tidak kita pun harus sadar bahwa kalau Alquran surat at-Taubah ayat 60 telah menyebutkan dengan detail siapa saja yang berhak menerima zakat, maka untuk ketentuan siapa saja yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Alquran tidak secara spesifik menyebutkannya. Sehingga penentuan siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat bisa atau mungkin saja berkembang sesuai karakter zamannya. Namun intinya adalah orang kaya.
DIposkan oleh Tim LIputan Suska News (Suardi, DOnny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Kamis (30 Juni 2016)
redaksi@uin-suska.ac.id