Riau sebagai provinsi kaya ternyata menumbuhkan praktek subur prilaku koruptif dikalangan penguasa negeri melayu ini. Dua puluh lima orang penjabat Riau harus menjadi pasien kantor pemberantasan ruswah tersebab prilaku menyimpang korupsi sehingga gubernur hattrick korupsi terlanjur tersemat untuk negeri lancang kuning. KPK harus berkantor di Riau menjadi salah satu upaya mengikis budaya korupsi di bumi Melayu.
Perjalanan Panjang Evolusi Korupsi
Kita runut kebelakang, korupsi bukanlah wabah baru dalam kehidupan manusia dalam kontek berbangsa dan bernegara. Sejarawan Onghokham, berpendapat bahwa korupsi itu telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok. Bahkan, bukti konkrit yang dikemukakan Eep Saefulloh Fatah, mengenai penemuan tindakan-tindakan koruptif di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun 1200 SM, kiranya dapat menjadi penegas apa yang diyakini Onghokham tersebut.
Korupsi yang kita pahami hari ini berasal dari bahasa Latin “corrumpere”, yang dimaknai dengan menyuap, rusak atau mengotori. Lebih dari pendapat Onghokham, Dua ribu tahun silam, Kautilya, perdana menteri seorang raja di India, menulis buku Arthashastra yang mengupas lengkap prilaku koruptif. Bahkan, Tujuh abad lalu, Dante Alighieri (1265-1321) dalam salah satu karyanya, Inferno, juga berbicara prilaku ruswah. Kemudian Machiavelli menyebut korupsi sebagai “proses pembusukan moral” dan William Shakespeare pun juga berbicara dengan nada yang sama, tercatat tiga karya agungnya Measure for Measure, The Tragedy of King Richard the Second, dan Macbeth juga mengupas prilaku koruptif.
Belajar Dari Hongkong dan Singapura
Berbicara korupsi sesungguhnya Hongkong lebih parah diandingkan Indonesia. Untuk seorang bidan saja kalau tidak dikasih uang sogokan terlebih dahulu mereka tidak akan mau memasangkan jarum infus kepada pasiennya, begitulah saking parahnya korupsi di Hongkong. Namun sekarang mereka sudah jauh lebih bersih dari Indonesia dalam hal korupsi karena ada niat baik dari penyelenggara negara untuk membebaskan Hongkong dari korupsi.
Lain Hongkong, beda lagi dengan Singapura. Negeri kecil di semenanjung selat malaka juga memiliki sisi kelam jejak koruptor sebagai pos perdagangan perusahaan India Timur. Singapura didirikan oleh Sir Thomas Stamford Bingley Raffles tahun 1819. Penduduk asli kota itu adalah masyarakat Melayu dan pada pertengahan abad ke-19 barulah bermunculan para imigran dari Tiongkok yang bekerja di sektor perkebunan karet dan kemudian terjun di bidang pertanian dan peternakan.
Pada masa itu, Singapura sudah menjadi kunci penting jalur perdagangan obat bius antara India dan Tiongkok. Singapura, di masa itu, menjadi ladang subur tindak kriminal dan korupsi. Otoritas kolonial Inggris melakukan operasi bersih-bersih; dan menemukan bahwa sejumlah perwira tinggi polisi terlibat korupsi dan melindungi tindak kriminal. Berangkat dari kondisi Singapura yang memprihatinkan, pemerintah kolonial membentuk Biro Investigasi Praktik Korupsi dan akhirnya Singapura merdeka (31 Agustus 1963), perdana menteri baru, Lee Kuan Yew, dengan tegas mengatakan, dirinya sudah “muak” karena kemerosotan moral dan korupsi. Ia bersumpah akan membersihkan Singapura dari korupsi, suap-menyuap, dan sejenisnya. (Kompas/10/4/16)
Menarik memang artikel berjudul Teh Cheang Wan yang terbit di Koran Kompas (10/4). Dalam artikel tersebut, Patrick Radden Keefe, dalam “Corruption and Revolt, Does tolerating graft undermine national security?” (The New Yorker, 19 Januari 2015), menulis, Lee membuat legislasi anti korupsi baru dan memberikan kekuasaan nyata pada biro anti korupsi. Ia juga menaikkan gaji pegawai negeri. Kebijakan ini diambil agar pegawai negeri tidak menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk keuntungan diri. Lee Kuan Yew juga membuat ketentuan, orang-orang yang tertangkap menyuap, menyogok, menerima suap, sogokan, dan korupsi harus dihukum berat.
Pada tahun 1986, Menteri Pembangunan Nasional Singapura yang juga seorang arsitek, Teh Cheang Wan, ketahuan menerima komisi dari dua pengembang real estate. Sebelum Lee Kuan Yew bertindak, Teh Cheang Wan sudah mengambil langkah terakhir: bunuh diri. Teh Cheang Wan meninggalkan secarik kertas yang ditujukan kepada Lee Kuan Yew, bertuliskan, “Inilah langkah yang paling benar, bahwa saya harus menebus dengan hukuman paling berat karena kesalahan saya”.
Yang dilakukan Lee Kuan Yew terlihat sekarang. Singapura menempati urutan kedelapan (Indeks Persepsi Korupsi 2015, Transparency International). Negeri kecil itu lebih bersih dibandingkan dengan Jerman, yang bersama Luksemburg dan Inggris menempati urutan ke-10, dan Kanada urutan ke-9. Dari 167 negara dalam daftar itu, Indonesia menempati peringkat ke-88-sekelompok dengan Albania, Mesir, Maroko, Peru, dan Maroko. Negara ASEAN lainnya, misalnya, Malaysia (34), Filipina (95), dan Thailand (76). Peringkat paling buncit adalah Somalia.
Semiotika Para Koruptor
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Konsep tanda ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara yang ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna.
Belajar dari jejak langkah semangat pendiri bangsa Singapura tersebut untuk membersihkan negaranya dari praktek suap, akhirnya Lee Kuan Yew pun bermain simbol, lambang dan tanda. Para anggota kabinetnya, ketika diambil sumpah sebagai menteri, semua mengenakan pakaian warna putih. Itu sebagai lambang, sebagai simbol kemurnian intensi mereka dan semangat untuk mengelola negara dengan konsep clean goverment dari praktrek suap yang sudah menjadi penyakit akut pada masa itu.
Semangat Lee Kuan Yew yang bermain simbol dan lambang dengan cara mengenakan pakaian warna putih ketika pengambilan sumpah para penjabat dan menteri yang dimaknai sebagai lambang dan simbol kemurnian dan kejujuran mereka dalam menjalan tugas negara dengan pendekatan nihil korupsi menjadi tren gaya berpakaian penjabat Indonesia masa kini. Pemangku kekuasaan baik nasional maupun di Riau hampir semuanya menggunakan baju putih untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka bekerja jujur, jauh dari praktek suap dan prilaku yang merugikan negara. Tapi sebaliknya, banyak pejabat Indonesia menggunakan baju putih yang hanya sibuk berpenampilan bersih seperti nabi padahal mereka hidup dari hasil korupsi. Itulah realitas negeri yang dirundung oleh masalah korupsi. Singkatnya, di negeri ini, tidak ada seorang pun koruptor-entah menerima suap, komisi, atau mengambil uang negara berani mempertanggungjawabkan kelakuan kotornya, sesuai dengan arti kata corrumpere layaknya Teh Cheang Wan sang arsitek dan menteri Pembangunan nasional Singapura yang bunuh diri karena korupsi. Di negeri ini, banyak kita lihat di layar televisi dan media massa para koruptor berbaju putih, ketawa-ketiwi, tersenyum, dan melambaikan tangan tanpa ada beban moral atas prilaku korupitfnya. Bahkan lazimnya, para tersangka tampil sebagai individu yang religiusitas. Jarang sekali wajah, penampilan, dan bahasa tubuh mereka memperlihatkan penyesalan atau tertekan. Terbukti mereka masih bisa tersenyum, menjawab pertanyaan wartawan, dan berdandan ala hedonisme. Apa makna semiotika sesungguhnya dari para pemangku negeri ini yang berpakain serbah putih tapi masih rajin korupsi? Atau hanya sebatas pemakaian simbol-simbol dan lambang yang mencitrakan mereka adalah manusia bersih untuk menutup kedok jahat mereka dari perilaku kriminalitas luar biasa bernama korupsi.