Guru besar Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
Di antara strategi ampuh yang digunakan oleh kaum penjajah dulu untuk melanggengkan kekuasaannya adalah menjalankan politik adu domba di kalangan sesama bangsa Indonesia. Satu suku diadu dengan suku yang lain. Kaum bangsawan diadu dengan rakyat kecil. Petani kaya diadu dengan petani miskin. Umat satu agama diadu dengan umat agama lain. Bahkan, secara internal, penganut satu mazhab diadu dengan penganut mazhab lain dalam agama yang sama. Kaum tua diadu dengan kaum muda. Kaum adat diadu dengan ulama, dan lain sebagainya. Akibatnya di antara sesama anak bangsa saling curiga mencurigai. Tidak ada rasa percaya antara satu sama lain. Persatuan sesama anak bangsa dibuat hancur sedemikan rupa, sehingga mereka lebih percaya kepada sang penjajah yang nota bene adalah pendatang dibanding kepada saudaranya sendiri yang sebangsa dan setanah air. Menurut orang yang pernah mengalaminya, taktik dan suasana seperti itu dulu juga pernah dilakukan oleh orang-orang komunis sebagai persiapan merebut kekuasaan di Indonesia menjelang pemberontakan Gestapu pada tahun 1965.
Banyak yang berkata bahwa suasana sekarang mirip sekali dengan suasana di saat menjelang pemberontakan yang menelan korban para jendral TNI itu. Hampir tidak ada lagi komponen bangsa yang tidak berkonflik, internal maupun eksternal. Seolah-olah semua mau hidup sendiri-sendiri dan menang sendiri-sendiri pula tanpa peduli kepada kepentingan bangsa dan negara. Semua sudah beradu-adu, berantuk-antuk, bahkan sudah saling “terkam,” sehingga kenyamanan hidup sudah tidak dirasakan lagi.
Kalau dulu, yang menjadi pengadu adalah kaum penjajah, dan di masa Orde lama adalah komunis, maka siapa yang mengadu kita sekarang setelah lebih dari 71 tahun kolonial pergi, setelah lebih 51 tahun partai komunis dilarang, dan setelah hampir 19 tahun reformasi digulirkan di Indonesia?
Langkah pertama yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan di atas adalah penyatuan persepsi. Apakah kita sepakat untuk berkata bahwa sekarang, bangsa Indonesia sedang diadudomba orang atau tidak? Bila persepsi ini sudah disepakati baru melangkah ke langkah ke dua untuk menentukan siapa yag sedang mengadudomba kita. Namun bila kita tidak sepakat untuk berkata seperti itu, maka di situlah peluang untuk para penghasut masuk dan melancarkan misinya mengadudomba dengan perencanaan yang matang dan sungguh-sungguh.
Kembali ke pertanyaan di atas, siapakah yang mengadu domba kita?
Melihat kepada gejala yang ada, dan berbekalkan kepada pengamalan sejarah yang pernah terjadi, berkemungkinan besar, pengadudomba itu masih pihak yang dulu juga. Bedanya, bila dulu ada Belanda, Inggris, atau Jepang yang secara nyata masuk dan menjajah langsung secafa pisik, maka kini mereka mungkin tidak lagi sebagai bangsa atau negara, tetapi sebagai idiologi kapitalisme. Begitu juga kaum komunis. Bila dulu mereka menampakkan diri sebagai partai, tapi kini , karena telah dinyatakan sebagai partai terlarang, sama dengan kaum kapitalis, mereka telah memulai lagi agenda jangka panjang dengan cara mengadu domba semua komponen bangsa yang tidak sepaham dengan mereka.
Pertanyaannya adalah, kenapa mereka mau mengadudomba, dan kenapa mereka tidak pernah mau berhenti melakukan perbuatan itu?
Seperti diketahui, kapitalisme dan komunisme adalah dua paham yang bertolak belakang dalam memandang kepemilikan. Komunisme tidak mengakui kepemilikan pribadi, sementara kapitalisme sebaliknya. Kapitalisme merupakan perwujudan dari perusahaan swasta dan individualisme, sementara komunisme didasarkan pada keyakinan bahwa keuntungan individu harus scarified untuk mencapai keuntungan kolektif. Kapitallisme mempromosikan kepemilikan pribadi, sementara komunisme sebaliknya. Dua paham ini sama sama berebut menguasai dunia tanpa henti, dan menjadikan negara-negara yang lemah secara idiologi dan pendidikan sebagai ladang buruan yang tidak henti-hentinya untuk diperebutkan. Pada prinsipnya, mereka sama-sama bertujuan untuk berkuasa di negara itu, de jure atau pun defacto.
Persoalannya adalah, tentu tidak dengan semudah itu mereka dapat merebut kuasaan. Karena, tidaklah suatu bangsa akan membiarkan dirinya dikuasai begitu saja oleh orang lain, apalagi yang prinsip hidupnya berbeda jauh dengan mereka. Pasti akan ada perlawanan, secara bersama sekaligus, atau berangsur-angsur oleh unsur-unsur tertentu yang ada di dalam bangsa atau negara bersangkutan, seperti organisasi-organisasi keagamaan, kepemudaan, kedaerahan, suku, partai, dan lain sebagainya yang semuanya menjadi musuh dari dua idiologi di atas. Organisasi atau kelompok-kelompok tersebut akan menjadi sandungan utama dalam mencapai keinginan mereka, sehingga harus dihadapi dan dicarikan cara yang efektif agar dapat dilumpuhkan satu persatu. Diperlukan upaya khusus yang efektif tanpa harus mengeluarkan energi yang berlebihan untuk menghadapi semua pihak yang menentang. Mereka sangat sadar bahwa semua kelompok itu tidak mungkin dilumpuhkan dalam waktu bersamaan, tapi harus dipilih dan dipilah satu persatu terlebih dahulu. Kelompok yang dianggap paling kuat dan berbahaya dipilih sebagai musuh utama yang harus dilumpuhkan terlebih dahulu sebelum semuanya dibuat bertekuk lutut. Untuk itu, menentukan satu kelompok yang dianggap paling kuat dan berbahaya dan dianggap musuh paling berat adalah langkah pertama yang dilakukan. Setelah itu, langkah berikutnya adalah menyusun skenario untuk memberi stigma negatif agar musuh utama itu dipandang oleh kelompok-kelompok lain sebagai musuh bersama yang harus dilawan dan dikeroyok secara bersama pula. Bila tahapan ini berhasil, maka sasaran berikutnya adalah musuh-musuh kecil yang sebelumnya dirangkul itu dilumpuhkan pula satu persatu. Hal inilah nampaknya yang sedang dilakukan di Indonesia hari ini.
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas dan telah membuktikan dirinya sebagai satu dari dua pilar utama penyangga revolusi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedang diposisikan pada posisi itu. Gencarnya fitnah dan adanya kesan pembiaran tumbuhnya berbagai aliran di tubuh umat ini akhir-akhir ini semakin memperkuat munculya dugaan tersebut. Ulama sebagai pemimpin umat disudutkan dan difitnah. Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk untuk dan sebagai wadah bertemunya para pemimpin umat untuk membicarakan bebagai persoalan yang terjadi, diobok-obok dan dilecehkan. Akibatnya, antara sesama ulama saling menyalahkan, antara sesama organaisasi saling serang, akhirnya sesama umat saling bermusuhan, walau berada dalam satu masjid sekalipun. Mereka hanya rukun di belakang imam ketika salat berjamaah, tetapi saling ejek dan curiga setelah salat berjamaah. Rukun ketika berdiri, rukuk dan sujud, bertengkar dan berpecah belah setelah salam, seolah-olah salat yang dilakukan hanya sebuah kepuara-kepuraan, bukan kesungguhan yang harus dipraktikkan di luar salat. Tapi, itulah yang sangat diinginkan oleh si pengadudomba, dan itu pulalah yang tidak disadari oleh sebagian besar umat yang sangat awam dalam beragama.
Tetapi, apakah sesungguhnya yang menjadi target utama dari perilaku adu domba antara sesama umat Islam itu?
Agaknya semua bisa membaca bahwa mengadudomba sesama umat Islam, lalu menjadi lumpuh, bukan sasaran utama. Itu hanyalah sasaran antara. Sasaran utamanya adalah menguasa negara dan membuat rakyat Indonesia takluk di bawah kekuasaannya. Membuat umat Islam lumpuh berarti membuat tiang utama negeri ini rapuh dan rubuh, lalu penguasaan terhadap tanah dan tumpah darah Indonesia hanya menunggu waktu. Keinginan itu akan semakin mudah terwujud bila TNI sebagai tiang berikutnya mampu dibujuk dan dirayu. Dan, bila itu memang terjadi, maka tenggelam lah negara ini seperti yang dulu pernah dikhawatirkan oleh Muhammad Hatta. Dengan kata lain, mereka begitu bersyahwat melumpuhkan umat Islam bukan karena Islamnya, tetapi karena satu dari dua tiang utama negeri (di samping TNI) adalah umat Islam. Melumpuhkan umat Islam, berati separo dari kekuatan bangsa ini lumpuh. Bagi mereka, pekerjaan ini dipandang bukan sebagai hal berat, karena kebanyakan umat Islam Indonesia saat ini lemah dalam keilmuan dan wawasan, sehingga mudah dibodoh-bodohi.
Lalu, bagaimana? Apakah keinginan seperti itu akan dibiarkan saja, dan pasrah kepada nasib?
Dalam Surat al-Anfal ayat 45-46, secara jelas Allah mengingatkan, “wahai orang yang beriman, bila kamu bertemu musuh, maka perteguhlah hatimu dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Patuhilah Allah dan Rasul, dan jangan kalian berpecahbelah, karena itu akan membuat kalian gentar dan kekuatan kalian akan hilang, tetapi bersabarlah, karena Allah senantiasa bersama orang yanjg sabar.” Ayat ini mengingatkan agar terus bergerak dan menggalang kesatuan secara konsisten, bukan hanya pasrah menunggu nasib.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 7 Februari 2017