Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska
Isu sentral di tanah air saat ini masih hangat mengenai pemilihan kepemimpinan dari kalangan nonmuslim. Masalah ini semakin terus panas, mengingat nonmuslim yang maju dalam pertarungan kepemimpinan itu dalam status sebagai terdakwa penistaan agama.
Ini merupakan isu besar yang telah menguras energi mayoritas umat Islam di tanah air. Mengingat, masalah ini berkaitan dengan politik, negara, dan agama.
Tujuan Politik Islam
Sebenarnya, Islam itu tidak bisa dipisah dari politik. Sebab, Islam itu agama yang punya sistem sempurna dalam kehidupan. Bukan saja mengatur syariat ibadah, tapi Islam juga mengatur dasar-dasar negara. Maka, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya al-Thuruq al-Hukmiyyah Fi al-Siyasah al-Syariyyah dengan tegas mengatakan, politik adil itu adalah bagian dari Islam.
Sebab, sistem politik Islam ialah sebuah sistem konfrehensif yang bersumber kepada ketuhanan untuk mengatur urusan hidup manusia dan menjaga agama serta negara di bawah kekuasaan pemimpin Islam. Dan sistem politik Islam itu bertujuan menerapkan syariat Islam, mengembangkan dakwah Islam, dan merealisasikan keagungan Islam. Tujuan mulia itu mesti ditopang dengan keyakinan kepada akidah Islam, kepada hukum Allah SWT, dan kepada sumber asli peraturan Islam. Begitu penegasan Prof Ahmad Ghalus dalam bukunya al-Nizham al-Siyasy Fi al-Islam.
Lebih jelasnya lagi, kata Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, bahwa pembahasan ibadah dalam fiqh juga ada kaitannya dengan politik. Contohnya, suatu yang disepakati dalam Islam, orang yang meninggalkan ibadah salat, atau tidak mau membayar zakat, atau terang-terangan makan di siang Ramadan, semua itu akan kena sanksi hukuman. Bahkan, bisa akan diperangi, jika yang melakukan pelanggaran itu merupakan kekuatan tertentu dalam sebuah negara Islam. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar Shiddiq memerangi sekelompok kekuatan umat Islam yang enggan membayar zakat. Bukan hanya itu, diri seorang muslim itu juga seorang politisi, dan kepedulian seorang muslim terhadap persoalan umat Islam itu juga disebut kepedulian politik.
Bahkan dalam praktiknya, Islam juga menetapkan tanggung jawab politik kepada setiap muslim untuk hidup di sebuah negara dengan mengangkat pemimpin yang menerapkan syariat Islam. Jika seorang muslim tidak melakukan itu, maka dia dianggap mati jahiliyah (HR Imam Muslim).
Maka, hubungan agama dengan politik itu bagaikan hubungan kedokteran dengan manusia. Yaitu pengobatan dan pencegahan, bukan hubungan perlawanan. Buktinya, para Nabi utusan Allah SWT itu merupakan para pimpinan yang mulia. Rasulullah SAW juga pemain politik, dari politik dakwah dan pendidikan hingga politik pembentukan negara.
Negara Penegak Agama
Walaupun Alquran tidak memerintahkan umat Islam mendirikan negara, dan juga tidak termasuk bagian rukun iman, tetapi Alquran memerintah berbagai kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan tanpa ada negara. Di antaranya, seperti pengumpulan zakat dan pendistribusiannya kepada yang berhak menerimanya. Pelaksanaan hukuman qishas (pidana pembunuhan). Penerapan praktik Majlis Syuro. Dan penerapan perintah Alquran mengenai kewajiban taat kepada pemimpin (QS: al-Nisa’: 59).
Maka, keberadaan negara Islam pada masa itu merupakan kewajiban politik dalam menerapkan peraturan zakat yang merupakan bagian dari rukun agama Islam. Bahkan, negara Islam itu sebagai sarana menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh). Begitu penjelasan Prof Muhammad Imarah dalam bukunya Muhammad al-Rasul al-Siyasy.
Lalu, penulis buku Qiraah Siyasiyah Li al-Sirah al-Nabawiyyah Prof Muhammad Rawas Qal’ahji menjelaskan, untuk mencapai tujuan ini, Rasulullah SAW menyusun kekuatan dengan penduduk Madinah, mengadakan Baiat al-Aqabah pertama, kedua, dan ketiga. Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, dan membangun masjid yang juga dijadikan sebagai pusat resmi pemerintahan Islam. Setelah itu, Piagam Madinah ditulis, dan kumandang azan pertama di Masjid Nabawi juga merupakan pengumuman berdirinya Negara Islam Madinah.
Piagam Madinah (Dustur al-Madinah) ditulis secara lengkap oleh Ibnu Ishaq (Ibnu Hisyam:1985). Dan Imam Ahmad meriwayatkan teks Piagam Madinah, sebagaimana terdapat dalam kitab Musnadnya (21/10). Teks lengkap Piagam Madinah ditulis Muhammad Hamidullah dalam bukunya Majmu’ al-Watsa’iq al-Siyasiyyah. Dan kesahihan teks Piagam Madinah telah dikaji oleh guru besar Universitas Islam Madinah, Akram Dhia’ al-Umary, dalam bukunya al-Mujtama’ al-Madany Fi Ahd al-Nubuwwah.
Buktinya, di antara isi Piagam Madinah itu, Pasal 23 penjelasan penetapan kepala negara, yaitu Rasulullah SAW. Dan hukum yang ditegakkan di Negara Islam Madinah itu adalah hukum Islam. Dan Pasal 36 menyatakan bahwa Rasulullah SAW memegang kekuasaan tertinggi di Negara Islam Madinah. Bisa dilihat penjelasannya dalam buku Fi al-Nizam al-Siyasy Li al-Daulah al-Islamiyyah oleh Dr. Muhammad Salim al-Awwa.
Akhirnya, Prof Dhiauddin al-Ris dalam bukunya al-Nazariyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah menegaskan bahwa negara (khilafah atau imamah) itu melanjutkan tugas Rasulullah SAW dalam menjaga agama dan mengatur politik dunia.
Makanya, dalam Islam, agama itu mesti ada dalam negara. Karena, agama tidak akan bisa diterapkan tanpa ada negara. Dan negara pula tidak akan bisa berdiri tanpa ada agama.
Terkadang sebagian faktanya, setiap pemimpin Islam yang tidak mengenal Islam dan tidak menerapkan Islam dalam kepemimpinannya itu akan menjadi musuh Islam itu sendiri, dan mereka akan jadi kaki tangan musuh Islam.
Lanjutannya, negara penegak syariat Allah SWT itu ada disebut khalifah, sebagaimana yang ditujukan kepada Nabi Daud (Shad: 26). Juga ada yang disebut sebagai Imam, sebagaimana ditujukan penyebutan itu kepada Nabi Ibrahim dan sebagian pemimpin Bani Israel (al-Baqarah:124). Ada juga disebut sebagai Raja, sebagaimana dalam sejarah Thalut (al-Baqarah:237).
Perlu dipahami, bahwa khilafah, imamah, dan mulk (raja) dalam Alquran semua itu maksudnya adalah kepemimpinan secara umum, bukan menunjukkan sistem kepemimpinan tertentu. Contohnya, Nabi Daud dalam Alquran disebut sebagai khalifah (Shod: 26) dan Malik (raja) (a-Baqarah:251). Sebagaimana Nabi Ibrahim disebut Imam (al-Baqarah:124), dan beliau menyebutkan keluarganya sebagai raja (mulk) (al-Nisa’:54).
Substansi dasarnya, pemerintahan Islam itu berdiri di atas dua landasan. Pertama, menerapkan syariat Allah SWT. Kedua, syura. Suatu pemerintahan berdiri di atas dua landasan itu, maka sudah bisa disebut pemerintahan atau Negara Islam. Dan pemerintahan seperti itu bisa disebut khilafah, imamah, atau mulk.
Sebagaimana Rasulullah SAW itu sebagai Nabi, karena menerima wahyu. Rasulullah SAW juga sebagai khalifah, karena beliau kepala negara. Dan pemimpin setelah Rasulullah SAW itu disebut khalifah, karena berada setelah (khalf) Rasulullah SAW. Begitu penjelasan al-Syahid Abdul Qadir Audah dalam bukunya al-Islam wa Audha’una al-Siyasiyah.
Tambah lagi, Prof Ahmad al-Raisuny dalam bukunya al-Fikr al-Islamy wa Qadhayana al-Siyasiyah al-Mu’ashirah mengatakan, tidak ada dalam Alquran dan hadis sahih tentang sistem khilafah. Tapi, khilafah itu merupakan percobaan sejarah dan intraksi umat Islam. Sistem politik, keputusan politik, lembaga politik, dan lainnya itu hanya berupa beberapa konsep tuntunan umum yang ada dalam masa pase Khulafa’ Rasyidun. Bahkan nama khilafah dan khalifah itu hanya merupakan nama dari nama-nama bahasa yang terdapat dalam nas yang menyebut pemimpin yang datang saling bergantian, sejak pemimpin pertama (khalaf) setelah ketiadaan Rasulullah SAW. Maka, tiada kemestian menyebut pemimpin Negara Islam itu sebagai khalifah. Dan negara yang dipimpinnya tidak juga mesti disebut negara khilafah.
Hadis riwayat Imam Ahmad menyatakan masa kepemimpinan kenabian. Kemudian kepemimpinan khilafah mengikut sistem Rasulullah SAW. Kemudian kekuasaan zalim. Setelah itu akan muncul khilafah mengikuti sistem Rasulullah SAW.
Hadits ini lemah (dha’if), tapi sebagian ulama menganggapnya hadis hasan, tidak sampai derajat sahih. Hadis ini tidak menerangkan bentuk pemerintahan secara khusus, tapi hanya menerangkan sifat umum sistem kenabian.
Pemimpin Islam
Surah al-Hajj, ayat 41 menyatakan bahwa orang yang diberikan Allah SWT kekuasaan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Itu merupakan bagian tujuan utama sebuah kekuasaan dalam pemerintahan Islam. Untuk mencapai tujuan itu, maka umat Islam wajib memilih pemimpin Islam, dan dilarang memilih pemimpin kafir.
Sebab, ayat 51 Surah al-Ma’idah itu sebagian dalil ulama menegaskan tidak boleh seorang Muslim mengangkat seorang kafir sebagai pemimpin mengurus urusan umat Islam. Begitu penjelasan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuny dalam kitabnya Rawa’i al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam (1/404).
Dalam Surah Ali Imran, ayat 28 dengan tegas Allah SWT melarang umat Islam memilih pemimpin kafir. Jika umat Islam memilih pemimpin kafir, nicaya umat ini tidak memperoleh apapun dari Allah SWT.
Jelasnya lagi, dalam tesis doktoralnya Ahkam al-Zimmiyyin wa al-Musta’minin Fi Dar al-Islam, Dr Abdul Karim Zaidan menjelaskan, jabatan utama dalam Negara Islam hanya boleh diemban oleh umat Islam yang layak mendudukinya. Di antaranya jabatan khalifah (kepemimpinan negara), kepala pimpinan jihad, dan lainnya.
Kemudian, Dr Mahmas al-Jal’ud al-Muwalat wa al-Mu’adat Fi al-Syariah al-Islamiyah (1/28) juga menegaskan, dalam Negara Islam, jabatan kenegaraan hanya diduduki oleh umat Islam. Sebab, nonmuslim itu tidak aman dari sipat khianatnya. Sebagaimana Surah Ali Imran ayat 118 menegaskan larangan menjadikan nonmuslim itu sebagai teman kepercayaan, karena mereka tiada hentinya menimbulkan kemudaratan bagi umat Islam. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi.
Makanya, kata Mahmas al-Jal’ud, para ulama Islam menegaskan, tidak boleh mempergunakan orang kafir dalam suatu jabatan, selagi masih ada umat Islam yang mampu mengembannya. Ini sudah menjadi kesepakatan umat Islam dahulu.
Contohnya, Gubernur Yaman Abu Musa al-Asyary menjadikan seorang nonmuslim (Nasrani) sebagai sekretarisnya. Lalu dia menceritakan hal itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Maka, dengan tegas Khalifah Umar tidak menerimanya. Terus, Khalifah Umar membacakan Ayat 51 Surah al-Ma’idah itu (riwayat Imam Ahmad).
Surah al-Nahal 106
Kadang, ada juga sebagian orang memahami Surah al-Nahal, ayat 106 itu sebagai dalil kebolehan seorang muslim memilih pemimpin kafir, jika hatinya tetap teguh kepada Islam. Ayat itu menyatakan bahwa orang yang kafir kepada Allah SWT setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah SWT). Kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).
Sebenarnya, ayat itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin. Alasannya, sebab turun ayat ini mengenai penangkapan yang dilakukan kaum musyrik Makkah terhadap sahabat Nabi Bilal, Khabbab, dan Ammar bin Yasir. Lalu, Ammar bin Yasir secara taqiyah (mengucapkan di lidah, tidak meyakini di hati) mengikuti kehendak kaum musyrik. Bisa dilihat keterangannya dalam Kitab al-Tafsir al-Munir (7/566) oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaily.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jum’at, 14 April 2017